rendyprasetyyoAvatar border
TS
rendyprasetyyo
Mars - Short Story




#CERITAKITAUNTUKSELAMANYAemoticon-Malu

Quote:




Jam menunjukkan pukul 17:50 sore. Perpustakaan tua di pinggiran kota itu bersiap untuk tutup. Perpustakaan itu sudah berumur 175 tahun, setidaknya. Bangku-bangku hitam terbuat dari kayu ek yang juga sama tuanya menebarkan bau debu dan lumut yang terkadang menyesakkan hidung. Langit-langit yang tinggi dengan jendela berukir yang indah. Tua, klasik, dan menyimpan banyak cerita tentunya.

"Rhea! Aku pulang duluan ya! Suamiku sakit dan tidak bisa menjemput Karlyndari daycarenya!"suara Mbak Elestia mengagetkan Rhea yang sibuk menumpuk buku-buku yang dikembalikan hari itu dari para pengunjung perpustakaan. Rhea membetulkan posisi kacamata tebal ber-rim hitamnya yang tadi melorot sampai ujung hidungnya...

"Iya, Mbak! Sampai ketemu besok!" sahut Rhea sambil mencari-cari Mbak Elestia, pustakawan senior di perpustakaan itu. Hanya dia, dan Mbak Elestia yang bekerja disana. Dia, asisten. Tidak ada jawaban dari Mbak Elestia, menandakan wanita itu sudah keluar dari gedung perpustakaan itu.

Rhea menghela nafas dalam-dalam. Bau debu menyeruak di rongga hidung gadis itu. Hari Jumat perpustakaan tutup 1 jam lebih cepat. Jam 6. Memberinya sedikit lebih banyak waktu untuk membereskan buku-buku yang dikembalikan hari itu. Ada 15 buku yang ia tata rapi diatas kereta dorong dua tingkatnya.

Yups! Tugas selanjutnya, memasukkan buku-buku itu kembali di rak-raknya sesuai nomor identifikasinya. Ia sudah melakukan ini selama 5 tahun terakhir, jadi ia sudah hafal diluar kepala dimana posisi-posisi rak yang semuanya diberi nomor dan alfabet penanda. 

AA001.a-KZ9469.b sebelah kanan...pikirnya sambil mulai mendorong kereta dorong yang penuh berisi buku.

Roda-roda kereta dorong tua itu berderak menuju lorong-lorong rak. Rhea berhenti di lorong-lorong itu dan memasukkan semua buku-buku yang menjadi bagian lorong itu dengan hati-hati. Sesekali ditariknya kacamatanya yang melorot. Ukhh! Bau debu buku terkadang membuatnya mengernyitkan hidung.

Ahh! Ia teringat sesuatu. Ia berbalik dan berlari menuju counter perpustakaan itu lagi. Dengan cepat dikeluarkannya buku organizer kumalnya. Dibaliknya cepat menuju tanggal hari ini.

Kosong.

Fiuhhhh, bukan hari ini, pikirnya. Janji makan malamnya dengan Tante Naira, tetangganya yang berumur 85 tahun. Minggu depan, jam 18:30, matanya menatap halaman selanjutnya dari buku organizernya itu. Ia sungguh tidak ingin mengecewakan Tante Naira. Keduanya sama-sama sebatang kara. Tante Naira setidaknya masih memiliki anjing Labrador hitamnya, Tomtom. Dirinya? Habis tenggelam dalam buku-buku di perpustakaan ini, sejak 5 tahun lalu.

Lima tahun yang panjang, sejak mamanya meninggal karena ditabrak mobil yang dikemudikan orang mabuk. Dan papanya? Entah dimana...

Rhea menggelengkan kepalanya keras. Ia sungguh tidak ingin terjun bebas ke dalam memori masa lampau yang membuatnya lupa caranya menatap masa depan. Perlahan, Rhea melangkahkan kakinya kembali ke kereta dorongnya di rak AA001.a-KZ9469. 

Hmm...dilihatnya sebuah buku terdampar diatas karpet tua lorong rak itu. Jatuhkah dari kereta dorongnya? Rhea mendekat dan membungkuk memungut buku itu. Sangat tua dengan sampul merah yang kusam. Rhea mengernyitkan dahinya. Ia sungguh tidak ingat akan buku yang satu ini. Mungkin jatuh dari salah satu rak? Pikir gadis itu sambil mengusap sampul buku itu.

Book of War.

Judul buku itu. Rhea mendengus bingung. Siapa penulis buku ini? Ahh, ada tulisan kecil di punggung buku itu.

Et victor Martis ultor.

Rhea mengerti bahasa itu. Latin. Mars, sang penakluk dan pembalas. Kok buku mengenai Mars, sang dewa perang jaman Romawi kuno ada disini? Rhea mengamat-amati buku itu. Tidak ada tanda identifikasi. Bukan buku perpustakaan sini. Jari-jemari lentiknya mulai mengusap-usap sampul buku yang terbuat dari bahan beludru merah yang kusam kumal itu. Buku yang sangat tua, pikir Rhea.

Perlahan, dibukanya halaman pertama buku itu. Hmmm. Kosong. Halaman yang putih bersih. Demikian pula halaman-halamanlainnya yang dibaliknya cepat. Kok?

"Kau menemukan bukuku..." sebuah suara mengagetkan Rhea sehingga buku ditangannya jatuh ke lantai. Rhea cepat menoleh dan menaikkan kacamatanya yang melorot (lagi) ke ujung hidungnya. Seorang pemuda. Tinggi besar. Rambut sebahu, ikal, keemasan, dengan mata biru muda yang sangat dingin. Rhea tergagap. Pemuda itu pastilah tingginya mencapai hampir 190cm atau lebih! Pengunjung last minute ini, pikir Rhea.

"Ohh...iya ini..." Rhea cepat memungut buku yang jatuh ke lantai dan mengangsurkan buku itu dengan tangan kanannya, sambil tangan kirinya membetulkan posisi kacamatanya yang melorot...lagi. Pemuda itu tampan juga, Rhea tidak bisa menyembunyikan fangirl-mode-nya. Matanya berkedip tanpa bisa ia kontrol! Aduh! Kebiasaan buruknya ini kalau melihat cowok cakep.  Matanya seperti kemasukan debu...

"Terima kasih. Aku Mars, dewa perang," sahut pemuda itu sambil menyambut buku bersampul merah yang disodorkan Rhea. Entah mengapa, Rhea tertawa berderai. OK, Mars. Ia tahu, Mars adalah dewa perang. Ia menutup mulutnya sambil satu tangan menghapus airmata yang mengalir karena tawanya yang begitu tak terkontrol.

"Dan aku...aku...hahahaa perkenalkan, aku Rhea, Ratu Para Jomblo..." sahut Rhea di sela tawanya.

Tidak. Pemuda itu tidak tertawa. Rhea tercekat dan berusaha menghentikan tawanya. Pemuda itu tidak terlihat bercanda!

"Maaf...maaf...jawabanmu lucu sekali," tergagap Rhea sambil menghela napas dalam-dalam.

"Aku, Mars. Putra Zeus dan Hera. Saudara dari Athena, dari Gunung Olympus."

"Olympus? Oh. Jauh...jauh ya..." Rhea benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Gunung Olympus?? Beneran ada itu? pikir gadis itu. Mars mendengus. Kesal habis ditertawakan, mungkin. Rhea merasa tengkuknya dingin. Pemuda ini mungkin baru lagi dari panti rehabilitasi para penyandang kelainan jiwa!

Mata biru dingin itu menghujamnya. "Maaf sekali lagi...Mars, ya namamu," bisik Rhea.

Ia takut sekarang. Sendirian di perpustakaan tua yang terlalu miskin untuk menggaji penjaga malam!

"Kau ingin bukti?" tanya pemuda itu. Suaranya terdengar seperti ejekan, dan Rhea mengangkat kepalanya dan menatap mata biru dingin menakutkan itu. Pemuda ini berpakaian rapi, bukan seperti dewa Yunani. Bagaimana mungkin? Orang gila ini!

"Ya."

Mars membuka buku bersampul merah yang berada dalam genggamannya. Matanya lekat menatap Rhea, tatapan yang melemaskan lutut gadis kutubuku itu Halaman yang putih kosong dari buku bersampul merah itu perlahan berganti menjadi sebuah gambaran. Lukisan. Lukisan cat air. Rhea terbelalak melihat lukisan cat air berupa sebuah gunung yang amat tinggi dengan awan keemasan itu tampak semakin nyata, dan perlahan tampak pohon-pohon di sekitar gunung itu bergerak. Ya, bergerak seperti tertiup angin!

"Bagaimana...bagaimana mungkin?!" bisik Rhea dengan mata yang tak bisa ia lepaskan dari halaman yang kini benar-benar hidup itu. Seperti melihat sebuah video! "Olympus." Suara pemuda itu terdengar mantap meyakinkan, ia tahu ia sudah memberikan bukti luar biasa atas klaimnya sebagai Mars. Rhea mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda itu lurus-lurus. Dia benar? Benar-benar? Mars?

"Kau benar-benar Mars? Apa yang kau lakukan disini?" Rhea berbisik karena ia sungguh tidak tahu sekeras apa ia harus bicara pada seorang dewa perang. Seorang dewa perang mungkin sangat sensi orangnya. Mungkin ia terlalu lapar dan mulai berhalusinasi, pikir Rhea.

Mars melangkah mendekat. "Saudara tiriku, Hermes, benar-benar sangat jahil. Dia kalah dalam sebuah permainan tebak-tebakan denganku, dan dia membalas dengan mengambil buku catatan strategi perangku ini, dan melemparnya ke dunia manusia! Akan kupatahkan sayapnya nanti saat kukembali ke Olympus!" dengus Mars.

Hermes, the messenger of the gods, pikir Rhea. Saudara satu ayah lain ibu dengan Mars.

"Oh." Bibir Rhea membulat. "Oh?!" "Ya...oh. Aku, sungguh aku tidak pernah bertemu dewa perang sebelumnya!"

Mars akhirnya tertawa kecil. "Dari Gunung Olympus, kami bisa melihat dunia manusia dengan jelas dan terkadang sedikit bermain-main dengan kalian, dari kejauhan! Namun, ini adalah pertama kalinya bagiku dalam ratusan ribu tahun untuk benar-benar berdiri disini, di tengah para manusia!"

"Sudah banyak yang berubah di dunia kami yang mungil ini sejak ratusan ribu tahun lalu," sahut Rhea sambil tersenyum simpul, perlahan rasa takutnya agak mengendap. Kami berhenti tinggal di gua dan berburu mammoth dan memutuskan untuk belajar membaca, pikir Rhea sambil mendengus pelan.

"Apa itu?!" tanya Mars sambil tangannya berusaha mencabut kacamata Rhea. Rhea menangkis tangan Mars dengan marah.

"Hei! Jangan begitu dong! Ini kacamataku! Jangan kau sentuh!"

Mars terkekeh. "Matamu indah sebenarnya. Kenapa dipakaikan "kacamata"?"

Rhea merasa pipinya panas. Seberapa sering sih seseorang dipuji seorang dewa perang? Pipinya makin panas.. 

"Aku tidak bisa melihat jauh..." jelas Rhea sambil memainkan frame kacamatanya. Kacamata yang menjadi sumber bahan candaan semenjak dia kelas 1 SD! Itu kacamata apa teleskop, Rhea?! Ia benar-benar buta tanpa kacamata tebalnya itu. Mars mengangguk-angguk.

"Kamu cantik..." ucap sang dewa perang sambil tangannya mengelus lembut pipi Rhea...

---------------------------------------------------------------------------


KKRRRRRIIIINGGGGGG....KRRRIINGGGGGGG...

Rhea terlonjak bangun dari tidurnya.

06:00.

ARRGGGHHHHH..

mimpinya begitu indah! Mars!! Memujinya cantik! Rhea membantingkan jam wekernya ke ranjang dan membenamkan kepalanya ke balik selimutnya.

Huh!!

Ia harus bangun. Gilirannya membuka perpustakaan hari ini. Rhea bangun dan beringsut, dilemparkannya pandangannya ke kamar mandinya yang terbuka. Dilihatnya sebuah kertas putih ukuran HVS yang dilipat dua tertempel di kaca kamar mandinya.

Tunggu dulu. Bagaimana mungkin?? Kamar mandinya di seberang ruangan sana. Bagaimana ia bisa melihat dengan jelas ada kertas putih HVS dilipat dua? Rhea meraba-raba wajahnya. Kacamatanya belum bertengger manis di hidungnya. Ia mencari-cari kacamatanya. Tidak ketemu. Duh! Segalanya di ruangannya, sejauh apapun, terlihat sangat jelas sekarang! Rhea berjalan yakin menuju kamar mandinya, dan menyambar kertas putih HVS berlipat dua itu.

Dibukanya dan dibacanya tulisan sangat rapi dengan tinta hitam itu.

Quote:


Mars! Berarti itu bukan sekedar mimpi? Dan ia tahu nama lengkapku! Pikir Rhea. Kepalanya berdenyut Rhea membalik kertas itu mengecek kalau-kalau ada tulisan juga. Kertas putih kosong itu perlahan berganti menjadi sebuah lukisan cat air. Dan lukisan cat air berupa sebuah gunung yang amat tinggi dengan awan keemasan itu tampak semakin nyata, dan perlahan tampak pohon-pohon di sekitar gunung itu bergerak. Dan seorang pemuda berambut keemasan dengan pakaian lengkap kebesaran dewa Yunani tampak berdiri di kaki gunung itu. Melambaikan tangannya.

Mars di Olympus.

A short story from - From my mind to yours with love

emoticon-Recommended Selleremoticon-Recommended Seller emoticon-Recommended Seller emoticon-Recommended Seller emoticon-Recommended Seller
------------------------------------------------------------


Quote:






Diubah oleh rendyprasetyyo 19-04-2018 07:50
RideatInFinem
someshitness
Gimi96
Gimi96 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
5.8K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.