diminixAvatar border
TS
diminix
Gold
–I–


Bangi, Januari 2008


Dari mana sebaiknya aku bercerita? Kita mulai saja dari suatu sore di kamar asrama. Namaku Wildan, dan yang sedang bermain Crysis itu adalah teman sekamarku, Bang Azure. Dia memiliki komputer gaming paling canggih se-blok, bahkan mungkin di seluruh universitas. Hujan membasahi jalanan dan pepohonan. Dari lantai lima, sosok-sosok manusia yang baru turun dari bis terlihat memantul seperti bola di meja bilyard. Beberapa pelajar putri tergopoh-gopoh melintasi lapangan voli sambil cekikikan. Aku masih mendengar deru mesin, namun lambat laun teredam oleh derasnya hujan. Langit kala itu berwarna keemasan.
Tidak mungkin ini kejadian biasa, pikirku. Air tergelincir di lapisan kaca jendela, mengaburkan pandangan.
"Bang, cuba tengok sini jap"
"Asal?"
"Baguih betul langitnya. Macam nak tangkap gambar je,"
candaku
Dia lalu ikut berdiri di sebelahku, menatap jauh ke depan
"Eh lawa.... alah, camera rosak pulak"
Duit bukan masalah bagi mahasiswa tingkat dua jurusan Akuntansi ini. Dia punya banyak usaha sampingan; distributor makanan ringan dan fotografer resepsi pernikahan hanyalah dua contoh kecil yang bisa kuingat. Pembawaannya kalem dan bersahaja. Aku mendapat kesan bahwa Bang Azure adalah senior yang amat berpengaruh di Fakulti Ekonomi dan Perniagaan (FEP). Dia lebih jangkung dariku–pasti melebihi 180, sebab tinggiku sekitar 178–dan asal pergi kuliah senang mengenakan kopiah. Rambut gondrongnya disisir rapi dan licin layaknya Vito Corleone muda. Dia bertanggung jawab sebagai pelatih klub basket asrama (kolej) kami, Kolej Helvetica. Selain menggemari olahraga, Bang Azure juga hobi menonton film dan drama.

Udara dingin membuatku lapar. Aku turun ke kafetaria dan memesan nasi goreng Pattani. Sesampainya di kamar, aku mengambil sendok dan menyalakan laptop. Kemudian aku makan sembari menonton Autumn In My Heart. Bang Azure kurang suka melodrama ini, menurutnya My Girl lebih bagus. Bagiku Full House tetap jawaranya. Dalam Autumn Song Hye Kyo, sang aktris utama, masih remaja dan baru debut, namun langsung mencuri perhatian rakyat Korea di tahun 2000. Sebuah pesan singkat masuk dari pacarku. Ah, nanti aja lah.

Aku teringat, uang di dompet tinggal beberapa ringgit lagi. Setelah hujan reda, aku memakai jaket biru bergaris dan celana jins hitam lalu pergi ke graha Antiqua, yakni suatu bangunan lima lantai yang berada di antara Fakulti Sains dan Teknologi (FST) dan Fakulti Sains Sosial dan Kemasyarakatan (FSSK). Antiqua merupakan pusat kegiatan mahasiswa dengan berbagai toko dan kantor-kantor perwakilan organisasi universitas. Kedai fotostat di lantai atas masih buka, tapi kantor pos sudah tutup. Tidak ada antrian sama sekali di mesin ATM. Sayup-sayup terdengar lagu yang diputar dari arah swalayan. Lagu apa ini? Kok enak.

Aku merogoh dompet lalu berjalan seraya mengingat-ingat liriknya. Kasirnya adalah seorang ibu gemuk berjilbab dengan baju kurung warna pastel. Dia sedang berbicara dengan sepasang penjaga yang umurnya kurasa tidak jauh beda denganku. Penjaga wanita memakai kacamata dan raut wajahnya ramah. Jari-jarinya gesit mencatat di kertas pada papan kayu. Temannya, penjaga pria dengan kaus polo membungkuk lalu menggotong tumpukan majalah lama ke gudang. Aku beringsut memberi jalan, wanita tadi menoleh dan kami tersenyum spontan. Aduh, nggak enak pula nggak beli. Aku terdiam sejenak di depan lemari pendingin, kemudian membayar minuman kaleng. Mesti dicari nih band-nya, jarang-jarang lagu Malaysia kayak gini.


Beberapa hari sesudahnya, aku makan siang dengan teman satu jurusanku, Amaranth. Saat itu ramai sekali, jarum jam menunjukkan lewat pukul 1. Untunglah aku masih dapat lele goreng dan perkedel. Porsi nasi Amar tidak sebanyak punyaku, masih kenyang katanya.
"Wil, kau besok kemana?"
"Loh, kan ada kelas ganti jam 10"
"Besok libur lah. Cuti 1 Muharram. Lusa itu"
Ah, iya, baru ingat. Amar terkekeh melihat ekspresiku. Dia menyeruput teh o'ais-nya sedikit.
"Kenapa rupanya?"
"Nggak.... baru cair uang beasiswa aku, pengen jalan-jalan" ujar Amar
"Ajak Ary lah"
"Anak itu ku-SMS tak balas, di bilik pun gak ada. Sibuk kali macamnya"
Baru sekali aku ketemu Arylide. Mengherankan juga, padahal kami satu kolej. Semester genap sudah berjalan kira-kira dua minggu. Semester keduaku dan Amar di negeri jiran. Negara yang masih asing bagiku, dan mungkin bagi Amar juga.

Awan kelabu berbaris perlahan, menutupi kota dengan bayangan dan raungan petir. Amar singgah di kamarku untuk bermain gitar. Aku bercerita soal lagu yang kudengar di Antiqua, dari band Hujan. Judulnya "Pagi Yang Gelap". Cukup mendengar dua-tiga kali dari Myspace, dia sudah bisa memainkannya dengan lancar. Amar memang memiliki jiwa musik yang tinggi. Selain gitar, dia mahir bermain drum, piano, serta alat musik tiup seperti terompet dan saksofon. Dia lebih pendek dariku beberapa senti, tapi rambutnya lebih ikal. Aku ingat, ketika pertama kali kenal dia bertanya, "Udah berapa kali pacaran, Wil?". Dari sisi itu, kami berbeda seratus delapan puluh derajat. Cewek yang menyukai tipe anak badung cocok dengan Amar: pintar, sedikit urakan dan jago olahraga. Namun, kualitas dirinya yang paling membuat aku salut adalah dia mau diajak kemana aja, bahkan terjun ke jurang.

Kain gorden biru di kamar bergerak mengalun terkena hembusan angin. Bang Azure datang dan menawarkan ayam bakar yang dibelinya di Pasar Malam. Nasib baik tak kena hujan, katanya sambil menyimpan kunci motor dan helm di lemari.
"Kitorang baru ja makan Bang"
"Oh, okelah. Itu band yang kamu cakap tu ya, Wildan?"
"Ha-ah, mereka nak perform kat Corsiva. Kalau tak silap 27 haribulan."
"Abang tak berapa layan band-band indie. You know lah, kan
"
Setelah Amar pergi, aku membaca novel The Alchemist sembari tiduran. Bang Azure serius menamatkan misi di Assassin's Creed. Waktu bergulir dengan hati-hati. Dengan iringan detak jam dinding, aku terlelap sampai menjelang Maghrib.


"Sayang, lagi apa? Ntar malem jangan lupa YM-an ya"
Aku masih separuh sadar membaca SMS dari pacarku, Viridian. Dari bawah terdengar teriakan orang bermain futsal. Aku mengambil segelas air putih di meja. Dian kuliah di Yogyakarta, tapi sedang ikut dalam kunjungan kampusnya ke UI. Aku membalas pesan singkatnya lalu mandi. Langit malam itu terlihat cerah. Karena belum begitu lapar, aku main game online sejenak. Pukul delapan lewat aku tiba di kafetaria. Beberapa orang menegurku. Arylide melambaikan tangannya. Aku menulis pesanan lalu menghampiri mereka.
"Widiih, ke mana aja kau Wil?"
"Kau yang kemana aja", timpal Amar
"Diam lah kau, ulo'! Kangen aku sama Wildan", kata Ary menepuk-nepuk lututku
"Lagakmu belajar kelompok.... bilang aja mau perli cewek, si.... siapa namanya?"
"Idih, sotoy kali si Amar inii....betulan sibuk aku, banyak kerjaan"
Aku tertawa melihat Tom and Jerry di depanku ini. Ary lebih tua setahun dariku dan Amar, tapi tingkahnya sungguh kekanak-kanakan. Dia sempat kuliah di Bandung sebelumnya. Tinggalnya pindah-pindah, dari Jakarta, Bogor, menempuh masa SMA di Medan, terus balik lagi ke Jakarta. Perawakannya bongsor dan kulitnya putih. Rambutnya yang lurus memberi kesan sedikit culun. Tetapi, dia mengaku “playboy” sama kami. Ary mempunyai hobi ‘berbaik hati pada semua cewek’, terutama yang tengah "patah hati dan lagi rapuh-rapuhnya setelah putus". Baru saja dia dan dua orang temannya pulang dari fakultas. Mereka berpamitan pada kami karena harus menyiapkan presentasi.
"Tuh liat kawan kau, Ry, rajin.... roommate kau juga.... kau pula malas-malasan"
"Ih, sok bijak kali kawanmu ini Wil. Jijik aku,"
"Oiya, jadi ketemu sama Bang Azure, Ry?" tanyaku
"Belum, segan aku kalo di fakulti. Nanti aja lah di kamarmu. Dia ada sekarang?"
"Nggak, lagi keluar. Mau bisnis apa emang?"
"Bisnis pulsa Wil.... kau nggak mau ikut nih? Biar bertiga kita sama Francis. Si ulo' ini nggak usah diajak", dengusnya ke arah Amar
"Ih, sorry yee.... Males banget gue sama orang nggak jelas kayak elo"

Amar meringis geli akibat dicubit Ary. Namaku dipanggil dari arah dalam. Aku membayar sepiring nasi putih, tom yam, dan milo dingin lalu kembali ke meja. Makan woi, kataku pada mereka. Desis dari panci dan wajan menimbulkan asap tipis. Di sebelah pintu dapur sekumpulan cewek berdiri rapat, bingung mau pesan apa. Salah seorang juru masak menunggu dengan sabar, berdiri agak membungkuk dan bertumpu pada sikunya. Orang-orang hilir mudik sembari sesekali melihat ke arah televisi di tengah ruangan. Para pemuda yang gemar olahraga melangkah mantap, hendak membeli minuman. Mereka mengenakan T-shirt dan celana training panjang. Ada juga yang muncul sebentar, membeli roti kemudian hilang di kegelapan. Di sudut ujung kanan sedang diadakan rapat kecil antar pengurus kolej termasuk ketua-ketua lorong. Denyut kehidupan pelajar tak memudar meski sinar bulan telah berpendar sendu.

Lalu, dia hadir, dan hidupku tidak pernah sama lagi setelahnya. Malam itu dia menginap di kamar salah seorang teman kami, Cerulean atau biasa dipanggil Cher. Cher dan dia sohib satu jurusan. Mereka berjalan dengan menenteng botol minuman kosong. Cher adalah cewek tomboy bermata sipit dan berpenampilan menarik. Awalnya kukira dia tipikal cewek berjilbab yang pemalu dengan logat Melayu Riau-nya yang halus. Ternyata aslinya gahar dan tertawanya menggelegar seperti om-om. Beberapa temanku yang orang Malaysia naksir padanya. Cher menarik kursi ke sebelah Amar dan duduk sambil memelintir tali kunci kamar di lehernya.
"Kok tumben kalian cepat makannya"
"Belum kok, baru aja pesen. Ini bekas punya orang", sahut Ary
"Serius?"
"Iya, Cher.... Ini aku sama Wildan baru pulang dari kelas pengganti", Amar nggak mau kalah
"Ooh.... subjek apa Bang?"
"Penjaskes"
Kami tertawa bersamaan. Namun, tatapanku tak lepas kutujukan pada wanita di samping kiriku, tanpa aku sadari. Setiap kata yang diucapkannya aku cermati, sebagaimana aku merekam gerak-geriknya di memori. Rambutnya tergerai halus di kausnya yang berwarna hitam. Matanya memancarkan keteduhan yang asing namun terasa familiar. Baik baju maupun celana panjang batik cokelat yang dipakainya adalah hasil pinjaman–atau jarahan–dari lemari Cher. Obrolan dilanjutkan hingga jam beroperasi kafe usai. Aku mengamati siluetnya dari kejauhan.

Sudah lima belas menit lewat tengah malam. Kamar hanya diterangi cahaya lampu belajarku. Bang Azure telah terdampar di alam mimpi. Mataku melirik ke arah handphone. Tiba-tiba saja ide untuk menanyakan ID YM-nya menghampiriku. Tak berapa lama datang balasan. Tanganku mengetik lalu lima detik kemudian namanya muncul dari daftar kontak. Wildan, kenapa kau gugup, Anak Muda?!
"Hai"
"Hai....Wildan kok belum tidur?"
Sumpah, detak jam dinding menjadi terdengar tidak beraturan. Seolah-olah aku tertarik ke dimensi berbeda seperti dalam lukisan Dali. Aku mengenang awal pertemuan kami di acara perkumpulan pelajar lima bulan silam. Wildan pendiam banget, katanya. Saat itu sebenarnya kami sudah bertukar nomer telepon, dan kami kerap berpapasan di fakultas. Tapi, terus terang aku merasa agak segan ngobrol dengannya. Kesannya dia terlalu high-class.
"Wildan ini unik, perlu dilestarikan", candanya
Dia mengeluh tentang budaya setempat. Jam tidur yang kacau, assignment yang menumpuk, dan banyak lagi hal-hal yang juga kurasakan. Kebetulan, pacarnya juga berada di Jakarta. Aku layaknya sedang berkomunikasi dengan seseorang dari masa lalu yang baru kembali ke kehidupan nyata.
“Nggak ada yang enak lagu-lagu Malay”
“Aku baru nemu satu”
“Oh ya?”
“Mau denger?”
“Mana, mana?
Aku mengirim file .mp3 dari kotak chatting. Secara bersamaan aku memutar lagu itu dan memakai headphone agar bass-nya ketara.

Pagi yang gelap, kini sudah terang....aku adikmu dan engkau abang
Aku amat merindui kamu


Kemudian, tanpa memikirkan apa-apa mataku menemukan tombol voice call lalu menelpon gadis cantik ini. Dia terdengar sama kagetnya dengan diriku. Bagian yang sama terdengar dari speaker laptopnya.
"Iya ya, lagunya enak"
“Besok mau kemana?”
“Belum tau. Tidur aja mungkin”, balasku
“Hahaha. Sama deh. Lagi males kemana-mana”

Percakapan kami berlangsung sekitar lima belas menit saja. Kelak, bertahun-tahun ke depan kami sering menghabiskan malam berdua, bercerita soal kehidupan. Dia menggenggam tanganku saat kami duduk bersebelahan. Ah, tapi nanti saja itu. Haha.
Malam semakin menua. Pandanganku menerawang ke langit-langit. Dari atas kasur, aku mencoba menjangkau takdirku. Peristiwa yang terjadi, rasanya semua saling berkaitan. Terpisah ribuan tahun cahaya di galaksi yang berbeda-beda. Bagaimana jika aku menarik garis penghubung antara kerlap-kerlip bintang tersebut? Entahlah. Yang jelas, kalian akan mendengar lebih banyak tentang kisahku dengannya. Wildan dan Bianca.
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
895
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.