BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Putusnya harapan mengungkap kasus pembunuhan Munir

Para Aktivis HAM memegang kartu pos bergambar Munir dan menuntut pemerintah membuka hasil temuan TPF, pada 17 November 2016.
Kekecewaan jelas terpancar dari raut wajah Suciwati Munir. Istri mendiang aktivis Hak Asasi Manusia--Munir S. Thalib--itu sedih karena usahanya untuk mencari kebenaran kematian suaminya itu kembali kandas.

Teranyar, Mahkamah Agung (MA)menolak permohonan kasasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) terkait usaha membuka dokumen hasil investigasi kasus kematian Munir.

Meski sudah diputus pada 13 Juni, namun MA baru mengumumkannya di situs resmi belum lama ini. "Buat saya, ini menjadi hal yang menyedihkan," kata Suciwati, seperti dikutip dari Merdeka, saat konferensi pers di kantor KontraS, Rabu kemarin (16/8).

Kasasi tadi merupakan langkah terakhir bagi masyarakat, khususnya Suciwati, untuk mengetahui apa sebenarnya hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) atas kematian Munir. Sebab, TPF sudah memberi hasil temuan tersebut sejak 23 Juni 2005 kepada Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Istana Merdeka.

Namun, semenjak saat itu hingga kini, pemerintah belum juga mengumumkan hasil telusur tersebut. Hingga sekira pertengahan tahun lalu, KontraS dan LBH Jakarta mengajukan pembukaan dokumen tersebut ke Komisi Informasi Pusat (KIP).

Hasilnya, 10 Oktober 2016, KIP memutuskan pemerintah untuk segera membuka hasil temuan TPF itu sebagai bentuk kepatuhan terhadapUU Keterbukaan Informasi Publik. Sayang, pemerintah tak juga membuka karena dokumen tersebut, dan diduga hilang.

Seturut itu, menurut Pratikno, Mensetneg periode sekarang, pemerintah tak memiliki dokumen tersebut. Pemerintah pun membawa putusan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Di tahap ini, pemerintah menang. Majelis hakim PTUN membatalkan putusan KIP karena dianggap bukan dokumen publik.

Sebagai usaha terakhir, KontraS mengajukan kasasi ke MA. Tapi MA pun menolak. "Kami menganggap putusan itu memutus harapan bahwa MA dapat membuka kembali kesempatan mengungkap kasus Munir," kata Suciwati, dikutip dari Katadata.

Menurut Suciwati, putusan MA tersebut menegaskan bahwa kurangnya pemahaman Hakim Agung mengenai pentingnya informasi bagi masyarakat. Hakim, katanya, seakan menganggap wajar tidak adanya catatan dan arsip penyerahan dokumen TPF oleh pemerintah.

"Ketika MA melalui putusannya telah memaklumi kelalaian administratif, tentu ini bisa menjadi preseden," katanya.

Suciwati menilai, SBY maupun Joko "Jokowi" Widodo terkesan saling lempar tanggung jawab atas kasus ini. "Sementara pelaku (utama) pembunuhan Munir masih bebas di luar sana menikmatiimpunitas," ucapnya.

Memang, kasus ini sudah pernah dibawa hingga ke meja hijau. Bahkan, sudah ada pula yang berstatus sebagai terpidana.

Mereka adalah Pollycarpus Budihari Priyanto (vonis 14 tahun tapi kini sudah bebas bersyarat), Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, (divonis setahun), serta Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono sempat diadili tapi divonis bebas.

Baik Pollycarpus maupun Indra, disebut-sebut bukanlah aktor utama kematian Munir. Nama lain yang sering disebut-sebut dalam kasus ini adalah AM Hendropriyono (saat itu Kepala BIN), Ramelgia Anwar (manta Vice President Corporate Security Garuda Indonesia), dan Bambang Irawan (anggota BIN).

Sepanjang hidupnya, Munir memang dikenal getol mengkritik Lembaga Telik Sandi.
Ramai-ramai mengecam
Keberadaan hasil temuan TPF itu memang penting. Baik Pollycarpus, Indra, maupun Muchdi, diseret ke meja hijau karena isi dokumen tersebut. Maka, untuk mengetahui apakah benar nama-nama yang terlibat tak hanya sebatas 3 orang tadi, dibutuhkan dokumen TPF itu.

Sebenarnya, dokumen tersebut sudah tersebar luas di internet. Salah satunya, bisa diunduh melalui Indoleaks. Masalahnya, apa yang tersebar di dunia maya itu tidak memiliki kekuatan hukum.

Kini, putusan penolakan MA tadi banyak dikecam oleh pegiat HAM tanah air. Seperti yang dikutip dari Tirto.id, Kordinator KontraS--Yati Andriyani--menganggap banyak kejanggalan dalam penolakan kasasi tersebut.

Salah satunya adalah, lama resmi MA menyebut permohonan kasasi diputus 13 Juni 2017. Padahal, KontraS mengajukan permohonan pada 27 Februari 2017.Menurut Yati, berdasar Peraturan MA No. 2/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Informasi Publik di Pengadilan, MAwajib memutus permohonan kasasi maksimal 30 hari sejak Majelis Hakimditetapkan.

"Kini, lembaga-lembaga yudikatif justru menjadi sarana impunitas," kata Yati.

Meski ditolak MA, menurut Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, kewajiban pemerintah untuk segera mengumumkan hasil penelusuran TPF Munir tak serta merta hilang. Sebab, sebut Alghifari, ketentuannya sudah tercantum dalam Keputusan Presiden No. 111/2004.Kepress tersebut, menurut dia, menyatakan bahwa pemerintah wajib mengumumkan hasil temuan TPF kasus Munir ke publik.

Sedangkan menurut Haris Azhar, pegiat HAM yang juga mantan Kordinator KontraS, MA harus menjelaskan alasan menolak kasasi. Sebab, menurutnya, harus ada alasan yang kuat untuk menolak kasasi tersebut.

"Misal, (penolakan itu) karena masih ada pengembangan penyidikan atau pencarian fakta. Tapi, kalau hanya memperkuat argumen bahwa dia (Setneg) enggak punya dokumen, berarti ada yang rusak dalam negara ini," katanya, seperti dikutip dari Tempo.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...mbunuhan-munir

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Melahirkan kembali 'Indonesia Raya' tiga stanza

- Bos First Travel lupa ke mana saldo ratusan miliar raib

- Obama kembali jadi raja Twitter

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
16K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.id
icon
13.4KThread730Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.