Alkisah ada tiga orang sahabat yang sangat akur. Mereka tinggal berdekatan dan sangat sering membahas hal-hal yang dirasa penting. Membicarakan pemikiran mereka mengenai isu-isu terkini.

Mereka adalah A, B, dan C. Pembicaraan mengenai banyak hal selalu berhasil diselesaikan dan di ambil jalan tengahnya. Hingga suatu saat mereka datang dengan pemikiran mereka yang benar-benar berbeda.

A : “Teman-teman… Kemari, aku punya sebuah informasi sangat penting. Aku baru baca mengenai hal ini. Gila! Kalian harus tahu ini.
Ternyata bumi itu datar. Ini benar-benar berita besar!”

B yang sedang minum tersedak dan mulai mengernyitkan dahinya. Dia merasa tidak tahan mau mengomentari.

B : “Kamu salah A. Kamu tahu tidak bumi kita itu bulat? Kamu baca dimana sih? Buku sesat ya yang kamu pelajari?”

A merasa sangat tersinggung.

A : “Kamu berani bilang keyakinanku sesat?! Dasar k*f*r kamu! Aku sudah tahu dari awal kalau kamu ini pura-pura baik! K*f*r b*n*sa*
kamu!

Orang seperti kamu tidak pantas menikmati surga!”

B : “Atas dasar apa kamu bilang aku seperti itu?! Kamu yang b*got!”

A dan B terus-terusan bergondok-gondokan. Segala kata-kata kasar sudah dimunculkan. Muka mereka merah padam.

C : “Sudah hentikan! Jangan ribut lagi!”

A dan B : “C, menurutmu bumi itu bentuknya apa?! Ayo bilang. Bulat atau datar?!”

C : “Aku tidak mau kita ribut. Ada baiknya kita pergi bertemu si bijak. Aku dengar dia sangat cerdas. Mungkin dia
bisa membantu kita.”

A : “Aku tidak pergi! Dia tidak mengerti keyakinanku! Aku tidak akan pergi ke dia. Pokoknya bumi itu datar! Titik!”

B : “Aku tidak pergi! Aku percaya pada pengetahuanku! Persetan! Paling - paling dia mengoceh tentang percaya pada ini dan itu.
Aku sudah cukup!”

C memandang sedih kedua sahabatnya. Hanya karena percakapan awal yang sederhana, kini mereka bertengkar. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi sendiri. Batin C.

(C pergi menemui si pertapa bijak)

Pertapa : “Ada apa wahai anakku? Persahabatan sedang di ujung tanduk?”

C : “Bagaimana kau bisa tahu pertapa?”

Pertapa : “Aku tahu semuanya.”

C : “Kalau begitu Anda harus mengatakan sesuatu pada sabahat-sahabat ku. Mereka sedang meributkan soal bumi datar atau
bulat.”

Pertapa : “Jadi apakah menurutmu salah satu sahabatmu benar?”

C : “Tidak satu pun Pertapa. Aku punya pemikiran sendiri. Bumi itu lonjong. Tapi aku tidak punya bukti. Dan aku tidak mau
menambah keributan di antara kami.”

Pertapa : “Kau mau tahu apa yang benar?”

C : “Apa itu Pertapa?”

Pertapa : “Bumi itu Bulat pepat lonjong. Tapi kalau menurut kalian datar,bulat dan lonjong juga tidak salah.”

C : “Kenapa bisa tidak salah? Jelas-jelas itu pepat lonjong.”

Pertapa : “Pada masa akan datang akan ada sebuah tiruan bumi yang bentuknya bulat sempurna. Permukaan bumi yang
kita injak dan kita lihat secara kasat mata adalah datar. Dan saat aku bilang bumi itu “bulat pepat lonjong”. Apa kamu
merasa lega?”

C pun tersenyum mengangguk puas.

C : “Apa aku perlu memberitahu kebenaran ini pada mereka?”

Pertapa : “Tidak perlu. Kebenaran selamanya akan tetap benar. Namun penilaian kita terhadap mereka bisa menjadi benar dan salah
karena keyakinan kita.”

C pun paham dan kembali menemui kedua sahabatnya.

A : “Bagaimana? Apa kata pertapa itu?”

B : “Iya. Apa kata dia?”

C : “Kita semua benar.”

A dan B : “Bagaimana bisa?!”

C : “Eh, ayok kita minum es Atong di ujung jalan.”

A : “Wah, itu kan es yang selalu kita minum bersama sejak kecil. B paling sering minum disana.”

B : “Benar juga”

Sesampainya di kedai es Atong.

Atong : “Haiyaaaa….. Sudah lama kalian gak ke sini ah…. Ayo… Ayo… Aku traktir minum es. Udah besar haaa kalian. Kalian harus
selamanya akur yaa. Biar bisa terus sama-sama ke sini haaaa….”