frezaf09Avatar border
TS
frezaf09
Membongkar Korupsi Proyek Infrastruktur


tirto.id - Damayanti Wisnu Putranti meneteskan air mata saat majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, pada 26 September 2016. Politisi PDIP itu dinyatakan bersalah dan terbukti menerima suap proyek pelebaran jalan Tehoru-Laimu, Maluku, senilai Rp8,1 miliar.

Vonis untuk Damayanti ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta hakim menjatuhi hukuman 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengajukan banding.

“Alasannya, kalau dilihat dari pertimbangan kita sudah banyak masuk ke putusan, itu pertimbangan pertama. Kedua, hukuman pidananya juga sudah dua pertiga, kemudian dendanya juga sudah sesuai jadi itu pertimbangannya,” kata Ketua jaksa penuntut umum KPK dalam perkara Damayanti, Ronald F Worotikan, seperti dikutip Antara.

Dalam vonis tersebut, Damayanti juga mendapat status justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan perkara berdasarkan surat keputusan Pimpinan KPK No.Kep-911/01-55/08/2016 tanggal 19 Agustus 2016.

Permohonan status justice collabrator Damayanti dikabulkan KPK sebagai pintu masuk bagi komisi antirasuah untuk membogkar korupsi dalam proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Melalui kesaksian Damayanti, KPK mengembangkan penyelidikan kasus ini.

Sejauh ini, sejumlah nama telah ditetapkan sebagai tersangka, seperti Andi Taufan Tiro (anggota Komisi V dari fraksi PAN), Amran Hi Mustary (Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional/BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Kementerian PUPR) dan Budi Supriyanto (anggota Komisi V dari Golkar Budi Supriyanto).

Sementara rekan Damayanti, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi, sudah divonis masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Sedangkan penyuap Damayanti, Abdul Khoir (Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama) juga sudah divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.

Seperti diketahui, Abdul Khoir memberikan uang suap kepada Damayanti agar ia mengusulkan kegiatan pelebaran jalan Tehoru-Laimu dan menggerakkan rekannya, Budi Supriyanto untuk mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di wilayah BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sebagai usulan "program aspirasi" anggota Komisi V DPR sehingga masuk ke dalam RAPBN Kementerian PUPR 2016 dan nantinya dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama.
Korupsi Proyek Infrastruktur Masif


Kasus yang menjerat Damayanti dan sejumlah anggota DPR serta pengusaha tersebut hanya satu dari banyak kasus korupsi proyek infrastruktur yang marak terjadi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi yang masuk pada tahap penyidikan pada semester I tahun 2016 jumlahnya mencapai 211 kasus. Kasus ini ditangani oleh tiga institusi yang berbeda, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Berdasarkan data yang dilansir ICW tersebut, dari 211 kasus itu, 63 kasus di antaranya adalah kasus korupsi proyek infrastruktur. Sementara sisanya, yang berjumlah 148 kasus merupakan kasus korupsi non-infrastruktur.

Secara kuantitas, jumlah korupsi infrastruktur memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kasus korupsi non-infrastruktur. Namun, jika dilihat dari kerugian negara yang ditimbulkan, maka kasus korupsi infrastruktur lebih besar, yaitu Rp486,5 miliar, sedangkan kerugian negara akibat korupsi non-infrastruktur kisaran Rp404 miliar.



Masifnya korupsi proyek infrastruktur ini sangat mengkhawatirkan, di tengah keseriusan pemerintah Presiden Joko Widodo yang sedang menggalakkan proyek infrastruktur. Apalagi persoalan yang muncul dalam proyek infrastruktur ini tidak hanya soal korupsi, melainkan juga persoalan lain, seperti pembebasan lahan, penolakan warga, hingga banyaknya proyek mangkrak karena kehabisan dana.

Misalnya, untuk menggenjot sejumlah proyek infrastruktur ini, pemerintah membutuhkan dana tidak kurang dari Rp5.000 triliun. Dana sebesar itu tentu tidak dapat mengandalkan APBN, sehingga pemerintah juga melibatkan pihak swasta nasional dan asing.

Selain itu, pemerintah juga mengandalkan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) untuk terlibat dalam proyek infrastruktur ini. Dalam laporan tahunan IIF tahun 2015 disebutkan bawah komitmen IIF pada pembiayaan infrastruktur ini menunjukkan kenaikan yang signifikan. Misalnya, pada 2012, komitmen IIF pada pembiayaan proyek infrastruktur hanya sekitar Rp500 miliar, naik signifikan menjadi 2,49 triliun pada 2013. Jumlah ini terus naik menjadi Rp2,52 triliun pada 2014, dan menjadi Rp5,58 triliun pada 2015.

Sementara pencairan pinjaman juga menunjukkan kenaikan. Misalnya, pada tahun 2013 pencairan pinjaman untuk proyek infrastruktur baru sekitar Rp995 miliar, naik menjadi 1,77 triliun pada tahun 2014, dan naik menjadi Rp4,23 triliun pada tahun 2015. Kenaikan pencairan pinjaman ini seiring dengan sejumlah proyek infrastruktur yang digenjot di era Presiden Jokowi.

Kementerian PUPR sebagai pelaksana dari sejumlah proyek infrastruktur yang menjadi target pemerintah Presiden Jokowi tentu tidak mau kecolongan, sehingga Kementerian PUPR menempuh sejumlah terobosan, salah satunya melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 14/PRT/M 2016 tentang Pengendalian Gratifikasi di lingkungan kementerian.

Permen tersebut diharapkan menjadi pedoman bagi pegawai kementerian dalam mengendalikan praktik gratifikasi. Misalnya pada Pasal 3 disebutkan bahwa setiap pegawai Kementerian PUPR dilarang menerima dan/atau memberikan gratifikasi dan diancam sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Tak hanya menerbitkan Permen soal gratifikasi. Kementerian PUPR juga menerapkan Whistle Blowing System yang dinilai bermanfaat dalam memperkuat sistem pengendalian internal. Antara lain tersedianya cara penyampaian informasi yang penting dan kritis, tersedianya mekanisme deteksi dini atas kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran, tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal sebelum meluas, mengurangi risiko dampak dari pelanggaran, dan masukan kepada organisasi.

Selain itu, Kementerian PUPR juga mengikuti kebijakan Presiden Jokowi tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Dalam konteks ini, Kementerian PUPR juga akan segera membentuk Saber Pungli sendiri yang akan bekerja efektif mulai tahun ini.

Langkah-langkah tersebut merupakan upaya konkret agar praktik korupsi proyek infrastruktur dapat dihindari. Namun, apakah langkah-langkah tersebut efektif membongkar dan meminimalisir praktik korupsi proyek infrastruktur?

Sumber : Tirto.id
0
2K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.