purnama29wahyuAvatar border
TS
purnama29wahyu
Sutradara Itu Menghapus Tawa Kita: Review Warkop DKI Reborn


Ketika saya duduk di sekolah film, ada sebuah genre yang selalu dihindari oleh dosen — dosen saya: komedi. Membuat komedi yang lucu itu maha sulit, mungkin lebih sulit dibanding membuat sebuah drama.


Komedi itu banyak variabelnya: selera, trend jaman, dan kondisi sosial penontonnya. Komedi di negara maju seperti skandinavia tentu berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia atau negara — negara Afrika. Apa yang menurut kita lucu kadang tidak lucu dimata orang lain.

Para aktor kelas dunia juga mencoba untuk menghindari genre komedi. Aktor besar Inggris, Michael Caine mengatakan bahwa ia sebisa mungkin menghindari genre komedi karena tingkat kesulitannya. Kekompleksan komedi menjadikannya sebuah hal yang tabu di kalangan akademis, tidak banyak muatan universal yang dapat diajarkan melalui komedi.

Ada studi kasus lain dimana sebuah genre mempunyai kompleksitas yang tinggi: biopik. Tantangan biopik jelas, penonton pasti akan membandingan karakter film dengan tokoh aslinya. Apalagi kalau orangnya masih hidup dan terkenal, aktor akan sebisa mungkin dimirip — miripkan dengan aslinya. Celetukan pertama penonton biasanya adalah, “kok nggak mirip aslinya ya?”

Anggy Umbara, Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro mempunyai beban besar di pundak mereka ketika me-’reborn’ trio legendaris Warkop DKI. Bayangkan: komedi dan biopik.



Dan mereka gagal.

Tunggu, film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (panjang juga ya judulnya) kan mendapat MURI dan menjadi film terlaris Indonesia sepanjang masa?

Okay, saya ulangi.

Dan mereka gagal membuat film yang baik.

Warkop DKI adalah banyak hal bagi penonton Indonesia. Sebuah komedi yang menghibur, kenangan akan masa lalu yang lebih baik, tontonan di kala lebaran, ah entah apa lagi. Ibu saya sering bercerita, ketika saya kecil, masih balita mungkin, saya tertawa terpingkal — pingkal ketika menonton film Warkop DKI hingga berlarian naik turun tangga bioskop.

Agak sulit membayangkan hal itu terjadi ketika menonton Warkop Reborn.

Satu, filmnya tidak lucu sama sekali.

Dua, filmnya tidak pantas disaksikan anak kecil.

Warkop Reborn bukanlah film biopik. Itu jelas. Film ini tidak mengisahkan perjalanan hidup Dono, Kasino, dan Indro dari pelawak kampus hingga menjadi tenar (buku ‘Main — Main Jadi Bukan Main’ dengan apik menceritakan hal itu). Statement dari pembuatnya mengatakan mereka ingin menangkap ‘semangat’ Warkop DKI. Itu menjadi pertanyaan penting, ‘semangat’ apa yang ingin ditampilkan disini? Apa yang mau di-reborn?

Ada sebuah ungkapan, “Ada film yang baik dan ada film dengan niat yang baik” Warkop DKI Reborn rasa — rasanya tidak mempunyai niat baik dalam menyebarkan semangat Warkop DKI.

Abaikan humor yang tidak jelas (cameo Indro sebagai Katy Perry dan Minions), transisi yang mencoba melucu (montage coretan usil di belakang truk), humor politik yang tidak berkonteks (“daripada nangkep Pokemon mending nangkep politikus”) atau durasi yang dipanjang — panjangkan hingga menjadi jokes sendiri (“elo ngabis-ngabisin durasi aja Don”). Ok lah sudah, lelah kalau menjabarkannya satu per satu.

Saya pikir selera humor saya yang buruk. Melihat reaksi penonton, toh mereka tertawa hanya waktu adegan kejar — kejaran saja. Beberapa penonton anak kecil malah tampak bingung sepanjang film.

Warkop DKI mungkin memang identik dengan — dengan cewe — cewe seksi dan humor dewasa, tapi seingat saya tidak sekotor yang diucapkan oleh Vino G. Bastian (Kasino) atau Ence Bagus (Bos), “Jangan pake perasaan, main aman aja”, “Wah, gue belum pernah nyoba yang kayak Rihanna gini nih”, hingga istilah “Jangkrik Boss” itu sendiri.

Banyak bagian tubuh manusia bersilewaran di film ini; belahan dada, paha, bokong wanita, hingga bokong pria yang sengaja ditonjolkan. Ini adalah film pertama saya (selain film horor) dimana saya menutup mata karena tidak tahan dengan apa yang saya lihat.

Terlepas dari persoalan moral, bila di Warkop DKI yang asli tubuh wanita banyak digunakan sebagai plot agar adengan slapstick terjadi (jatuh dari sepeda, menabrak pohon), disini tidak ada alasan yang jelas tubuh wanita harus muncul selain membangunkan penonton dari rasa bosan.

Kalau saya tidak salah, Anggy Umbara adalah seorang pencinta komik. Mungkin ia ingin film — filmnya terlihat seperti komik, tapi apa yang terlihat adalah sebuah pemaksaan visual. Hampir semua filmnya tidak mempunyai plot dan tidak jelas arah kemana film berjalan. Ada sebuah pendapat bila Warkop DKI Reborn menempatkan konteks 80an ke dalam humor masa kini. Bisa ya, bisa juga tidak. Kejanggalan terjadi karena tim penulis menulis dengan gaya banyol stand — up kontemporer yang berkembang di generasi Raditya Dika ke dalam formula slapstick ala Warkop DKI. Cerita (kalaupun ada cerita yang koheren) dan plot (kalaupun itu bisa disebut plot) tampak berdesak — desakan dengan jokes ala viral internet dengan tendensi untuk dipaksakan. Ada yang tahu meme biskuit konghuan?

Ini adalah film kedua Anggy Umbara yang saya tonton. Bila kita melihat filmography beliau, film — film terlaris Anggy selalu berdasarkan nama besar lain: Coboy Junior, Warkop DKI, dan para stand — up comedian di Comic 8. Bila kita mengganti elemen Warkop DKI, apakah film ini masih bisa berdiri sendiri dan selaku ini?

Okay okay, cukup membicarakan keburukan film ini. Mari kita bahas kebaikannya. Sebenernya hanya satu: Abimana Aryasatya. Ketika Vino dan Tora sedang berbicara, Abimana terus bergerak. Ia terus berakting, mencari sesuatu agar Dono tampak hidup. Ketika Vino dan Tora tidak berbicara, mereka tampak janggal dan ingin segera berbicara. Bahkan Abimana sekalipun tidak bisa menyelamatkan film ini dari kebodohan intelektual pembuatnya.

Mungkin saya seorang yang idealis, medium film bioskop harusnya mempunyai misi lebih dibanding menjadi ‘FTV Plus’. Film Warkop Reborn menjadi teramat buruk bukan hanya karena ceritanya yang norak atau pengemasannya yang amburadul, tapi karena film ini tidak mempunyai niatan yang baik untuk menghormati nama Warkop DKI itu sendiri. Tidak ada penghormatan yang bermatabat kepada Indro ataupun aktor senior seperti Henky Solaiman.

Ketika Laskar Pelangi menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, ada rasa bangga. Akhirnya ada film Indonesia bermartabat yang menjadi standar selera penonton Indonesia. Ketika film Warkop DKI Reborn menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, kita jadi bertanya, apa memang selera humor orang Indonesia memang mentok sampai disitu?

Saya banyak mendengar kebanyakan penonton ingin menonton Warkop Reborn karena mereka ingin bernostalgia. Mereka ingin tertawa. Tawa yang bisa ditonton oleh siapa pun, tawa yang sering kita lihat di kala liburan, tawa sebagai fragmen kenangan kita.

Anggy Umbara, para produser, dan tim penulisnya telah menghapus tawa kita. Tidak ada rasa tawa setelah menonton film, hanya ada rasa canggung dan bertanya — tanya, apa yang barusan kita lihat?

[url]https://S E N S O R@adhyatmika/sutradara-itu-menghapus-tawa-kita-review-warkop-dki-reborn-f29076185087#.9pp2oappx[/url]

Ulasan yang berkelas. Hari ini humor itu sudah langka, yang ada kebanyakan adalah konten porno yang dipaksakan untuk ditertawakan. Dan ketiadaan humor inilah yang membuat antar kelompok mudah marah dan saling menyerang.

Sama-sama konyol mending nonton AADC 2, itu masih lebih bagus aktingnya walau ada adegan yang membuat ngowoh, terutama yang masih jomblo. Namun setidaknya, tampangnya Rangga yang begitu tuh bikin para cowok sok merasa cool dan para cewek klepek-klepek.
0
34K
278
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.