BeritagarID
TS
MOD
BeritagarID
Memiskinkan koruptor melalui denda kerugian sosial

Denda sosial sepertinya bisa menjawab secara lebih rasional tentang cara memiskinkan koruptor.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan gagasan baru dalam pemidanaan koruptor. Lembaga antirasuah itu mendorong koruptor dibebani membayar kerugian biaya sosial.

Biaya sosial, menurut Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, dihitung dari kerugian berwujud dan yang tak berwujud. Contoh konkretnya proyek jembatan yang dikorupsi. Kerugian negara umumnya dihitung, dari berapa banyak dari pagu anggaran yang dikorupsi. Itulah yang harus dikembalikan oleh terpidana korupsi.

Namun, perhitungan kerugian sosial, dihitung di luar kerugian negara. Nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tidak berfungsi, juga akan dihitung sebagai kerugian.

Nah bila biaya sosial korupsi dimasukkan dalam tuntutan, terdakwa korupsi akan dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang lazim selama ini. Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya bisa mencapai 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.

Menurut Rimawan Pradiptyo, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lembaga yang membantu KPK dalam membuat kajian biaya sosial korupsi, biaya tersebut selayaknya dibebankan kepada terpidana. Seberapa pun besarnya, itulah ongkos pengganti kerusakan yang ditimbulkan karena tindakannya.

Selama ini, setiap kali terungkap kasus korupsi besar yang lazim dilakukan dalam penuntutan adalah menyita barang bukti korupsi, mengganti kerugian negara dan menjerat dengan UU Tindak Pidanan Pencucian Uang.

Namun, hal itu sering tidak memuaskan masyarakat. Wacana yang kemudian berkembang adalah bagaimana memiskinkan koruptor.

Denda sosial ini, sepertinya bisa menjawab secara lebih rasional tentang cara memiskinkan koruptor. Selain itu semestinya juga akan membuat orang yang akan korupsi berfikir ulang, karena keuntungan dari korupsi akan jauh lebih rendah dibandingkan biaya sosial yang harus dibayarkan jika ia korupsi.

Gagasan KPK ini layak didukung, sebab bila hukuman denda biaya sosial bisa dilaksanakan, pengembalian kerugian keuangan negara atau pun perekonomian akibat korupsi, akan bisa dicapai. Selain itu, hukuman ini akan menumbuhkan efek jera dan gentar, bagi koruptor, maupun orang yang berniat korupsi.

Masalahnya, bukan hal yang gampang merealisasikan kajian KPK ini ke dalam putusan hakim. Proses agar penerapan denda biaya sosial akibat korupsi ini bisa masuk dalam tuntutan jaksa, harus punya dasar hukum. Nah pembuatan dasar hukum ini juga bukan hal sederhana.

DPR dan Pemerintah sebagai pembuat peraturan bisa saja punya kepentingan yang berbeda. Atau setidaknya, bila salah satu atau keduanya menganggap biaya sosial bukanlah prioritas, maka gagasan KPK ini pun akan menggantung.

Masalah yang lain, sampai saat ini harus diakui belum ada kesamaan visi dalam memaknai korupsi, dari para pihak berkepentingan. Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan bahwa korupsi di Indonesia, masih tetap sebagai kejahatan luar biasa yang harus diperangi bersama.

Menyatukan visi di antara para pemangku kepentingan untuk melakukan pemberantasan korupsi juga sering diingatkan oleh presiden. Namun yang terjadi, beda visi terus saja terjadi.

Contoh paling fenomenal adalah dalam revisi UU KPK. Visi awal mengubah UU tersebut adalah untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Namun yang terjadi malah peran penting KPK dikebiri dalam draf revisi UU KPK beberapa waktu lalu. Akibatnya, presiden mesti meminta DPR untuk menangguhkan pembahasan revisi UU KPK sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Fakta yang lain lagi, aparat hukum sampai saat ini juga terkesan belum kompak dalam mendukung semangat pemberantasan korupsi. Dalam pemberatan hukuman, misalnya. Jaksa masih jarang menggunakan hukuman tambahan dengan pencabutan hak politik dalam tuntutan terhadap pejabat publik yang korupsi. Hanya kasus dan figur tertentu yang dituntut dengan hukuman tambahan ini.

Ekses tidak semua pejabat publik yang korupsi dicabut hak politiknya cukup luas. Ketika mereka selesai menjalani hukuman, kesempatan kembali menduduki jabatan publik, kembali terbuka. Dengan begitu peluang untuk kembali melakukan korupsi pun terbuka juga.

Jaksa dalam pemberantasan korupsi, juga sangat jarang menerapkan tuntutan hukuman maksimal. Padahal sesungguhnya UU Tipikor sebagian besar memberikan ancaman hukuman berat bagi koruptor.

Di UU tersebut, terdapat 12 pasal yang mencantumkan ancaman hukuman pidana penjara serta denda. Setengah dari pasal-pasal itu mengancam pelaku korupsi dengan hukuman penjara maksimal antara 15-20 tahun. Empat pasal di antaranya, bahkan memungkinkan penjara seumur hidup.

Dampak berikutnya dari tidak optimalnya tuntutan jaksa, adalah rendahnya hukuman bagi koruptor. Berkas Korupsi yang dihimpun Beritagar.id, bisa memberi gambaran terhadap hal ini. Vonis yang diterapkan untuk koruptor dari data 300-an kasus yang terkumpul, 84 persen didominasi vonis ringan, atau hukuman penjara di bawah 5 tahun.

Bahkan menurut pengamatan Indonesia Corruption Watch (ICW), hukuman ringan bagi koruptor disebut sebagai tren yang berlanjut. Bila pada tahun 2013, hakim rata-rata memvonis pelaku korupsi dengan hukuman 2 tahun 11 bulan, tahun-tahun berikutnya semakin ringan. Tahun 2016, rata-rata vonis korupsi sudah menjadi 2 tahun 1 bulan.

Rendahnya hukuman bagi koruptor tak cuma berhenti dalam proses peradilan. Dalam proses pemidanaan pun, terpidana korupsi mendapatkan keringanan melalui remisi. Remisi terhadap koruptor, bahkan diduga akan semakin mudah.

Penyebabnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini, tengah mendorong revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/ 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Draf revisi PP No 99/2012 itu menghilangkan syarat penerima remisi harus berstatus justice collaborator atau pelaku kejahatan yang membongkar kejahatan. Dengan hilangnya syarat justice collaborator, semua terpidana korupsi mendapat kemudahan yang sama untuk mendapatkan remisi.

Melihat praktik peradilan terhadap pelaku korupsi yang masih seperti itu, memunculkan dugaan bahwa memperberat ancaman hukuman bagi pelaku korupsi dengan hukuman denda biaya sosial akan tidak efektif.

Katakanlah, denda biaya sosial ini pada akhirnya punya dasar hukum. Namun dalam tuntutan jaksa, pasal itu tidak dimasukkan, terus apa yang bisa dilakukan KPK?



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...erugian-sosial

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Menguak biaya promosi Warkop DKI Reborn

- Saefullah, cawagub DKI yang dinilai Ahok berbahaya

- Beragam serangan Amien Rais ke Ahok

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
28.4K
301
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.id
icon
13.4KThread723Anggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.