bakashuoAvatar border
TS
bakashuo
[REBORN] Mengenal CSIS, Cabang CIA di Indonesia
Thread ini kelanjutan dari:

http://m.kaskus.co.id/thread/549ce6dcbccb17c02c8b456f/inilah-dalang-kerusuhan-13-14-mei-1998

http://m.kaskus.co.id/thread/556b01c19e740436708b456e/megawati-dan-benny-moerdani-dalang-kudatuli

http://m.kaskus.co.id/thread/55be2904c0cb1713148b4567/mengenang-presiden-jenderal-besar-soeharto

==============================================================

“…Kendati demikian, sebagai pengagum Jenderal Sudirman, sebagai seorang patriot, Moerdani juga tidak bisa tinggal diam ketika Soeharto sudah dipandangnya sebagai telah membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Dengan sikap itulah, saya duga, Moerdani bersedia hadir dalam sebuah diskusi terbatas Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI) di rumah Fahmi Idris pada suatu malam pada paruh pertama 1991.

Bersama Presiden Soeharto, Benny adalah Penasihat YPPI yang didirikan oleh para mantan tokoh demonstrasi 1966 dengan dukungan Ali Moertopo. Hadir di rumah Fahmi [Idris] pada malam itu para pemimpin demonstrasi 1966 seperti Cosmas Batubara, dr. Abdul Ghafur, Firdaus Wajdi, Suryadi [Ketua PDI yang menyerang Kubu Pro Mega tanggal 27 Juli 1996]; Sofjan Wanandi; Husni Thamrin dan sejumlah tokoh. Topik pembicaraan, situasi politik waktu itu…

Moerdani berbicara mengenai Soeharto yang menurut Menhankam itu, ‘Sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu sudah waktunya diganti’…Benny kemudian berbicara mengenai gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto. Firdaus menanggapi, ‘Kalau menggunakan massa, yang pertama dikejar adalah orang Cina dan kemudian kemudian gereja.”

(Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Penerbit Mizan, halaman 316)

Pembicaraan di rumah Fahmi Idris, tokoh senior Golkar yang menyeberang ke kubu Jokowi-JK demi melawan Prabowo adalah bukti paling kuat yang menghubungkan Benny Moerdani dengan berbagai kerusuhan massa yang sangat marak menjelang akhir Orde Baru karena membuka informasi adanya pemikiran Benny Moerdani untuk menjatuhkan Soeharto melalui gerakan massa yang berpotensi mengejar orang Cina dan orang Kristen. Kesaksian Salim Said ini merupakan titik tolak paling penting guna membongkar berbagai kerusuhan yang belum terungkap seperti Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998.

Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Politik Dizalimi (Play Victim) Paling Keji Sepanjang Sejarah Indonesia

Selanjutnya Robert Odjahan Tambunan dalam bukunya Otobiografi Politik RO Tambunan: Membela Demokrasi mengungkap bahwa Megawati bisa mencegah jatuhnya korban dalam Peristiwa 27 Juli 1996 bila menghendaki karena dia sudah tahu beberapa hari sebelumnya dari Benny Moerdani, akan tetapi Megawati ternyata lebih memilih kepentingan politik daripada kemanusiaan (hal. 150); Megawati menyogok Kelompok 124, korban serbuan kantor PDI yang diadili, agar tidak menuntut kelompok TNI (hal. 172); dan Megawati tidak pernah ingin menyelesaikan kasus tersebut antara lain terbukti tahun 2002 memilih gubernur yang terlibat kasus Peristiwa 27 Juli 1996 [Sutiyoso] (hal. 374).

Penuturan Jenderal Saurip bahwa Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kasdam (tangan kanan Pangdam Jaya Sutiyoso) terlibat dalam tragedi 27 Juli 1996 juga layak disimak. Apalagi laporan akhir Komnas HAM mengenai kudatuli memuat pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya yang mana dalam rapat itu SBY memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Tapi SBY pada era kepresidenan Megawati justru dua kali diangkat sebagai menteri, masing-masing (i) Menkopolhukam; dan (ii) Menteri Pertambangan dan Energi.

Bila catatan Salim Said, Laporan Komnas HAM, R.O. Tambunan dihubungkan dengan catatan Rachmawati Soekarnoputri: Membongkar Hubungan Mega dan Orba di Harian Rakyat Merdeka 31 Juli 2002 dan 1 Agustus 2002 maka terbukti bahwa akhirnya Benny Moerdani mulai menjalankan rencana yang dia lontarkan di rumah Fahmi Idris ketika dia bersekongkol dengan Megawati demi menaikan seseorang dari keluarga Soekarno sebagai lawan tanding Soeharto dengan merekayasa Peristiwa 27 Juli 1996. Kutipan dari Catatan Rachmawati Soekarnoputri:

“Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya [Rachmawati] terlebih dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, bagi saya, PDI itu cuma alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba renungkan untuk apa jadi pemimpin boneka?

Orang-orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan Aberson Marie Sihaloho pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya tolak.”

Akhirnya Jenderal Marinir Nono Sampono sebagaimana dicatat Salim Haji Said dalam bukunya Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, halaman 137, mengakui bahwa pada waktu itu Benny Moerdani memang amat mendukung Mega menjadi Ketua PDI. “Kalau tidak sekarang, nanti dia terlalu tua untuk menjadi Presiden.” Nono mengaku terkejut mendengar ucapan Benny yang kemudian menjadi kenyataan ketika Mega menjadi Presiden menggantikan Gus Dur yang dimaksulkan.

Cerita tentang Megawati, PDI dan Moerdani sebenarnya sudah bermula pada 1987, ketika Benny sebagai Pangab dan Pangkopkamtib, membiarkan partai tersebut melakukan kampanye pemilu besar-besaran di Jakarta dengan peserta berpakaian merah sembari membawa gambar-gambar Bung Karno. (Salim Salid, halaman 138).

Dari ketiga catatan di atas kita menemukan nama-nama yang saling terkait dalam Peristiwa 27 Juli 1996, antara lain: Sutiyoso, SBY, Benny Moerdani; Megawati; Dr. Soerjadi; Sofjan Wanandi; dan Aberson Marie Sihaloho, dan ini adalah “eureka moment” yang membongkar persekongkolan jahat karena Aberson Marie adalah orang yang pertama kali menyebar pamflet bahwa Megawati calon pemimpin masa depan sehingga menimbulkan kecurigaan Mabes ABRI (modus Dokumen Ramadi sebelum Malari); sedangkan Dr. Soerjadi adalah Ketum PDI pengganti Megawati pasca Kongres Medan (atas biaya Sofjan Wanandi) yang menyerbu kantor PDI dan selama ini diasumsikan perpanjangan tangan Soeharto ternyata agen ganda didikan Benny Moerdani, dan tentu saja Agum Gumelar (mantan ajudan Ali Moertopo)-Abdullah Mahmud Hendropriyono (murid Benny Moerdani) juga berada di sisi Megawati atas perintah Benny Moerdani sebagaimana ditulis oleh Jusuf Wanandi dari CSIS dalam memoarnya, Shades of Grey (versi Inggris)/Membuka Tabir Orde Baru (versi Bahasa Indonesia).


Fakta di atas menjawab alasan Presiden Megawati menolak menyelidiki Peristiwa 27 Juli 1996 sekalipun harus mengeluarkan kalimat pahit kepada para korban seperti “Siapa suruh kalian mau ikut saya?” dan malah memberi jabatan tinggi kepada SBY yang memimpin rapat Operasi Naga Merah; Sutiyoso komando lapangan penyerbuan Operasi Naga Merah; dan tidak lupa Agum Gumelar dan AM Hendropriyono yang pura-pura melawan koleganya. Sama saja Megawati bunuh diri bila dia sampai menyelidiki kejahatannya sendiri!

Kenyataan bahwa pihak penyerbu markas PDI yang dijaga oleh massa pro-Megawati dan PRD ternyata bersekongkol dengan Megawati semakin diperkuat bila kita menyimak pernyataan Bambang Beathor Suryadi, aktivis PDIP yang dekat dengan almarhum Taufik Kiemas dan pada masa pemerintahan Jokowi-JK bekerja sebagai Direktur Kepala Staf Kepresidenan sebagaimana dikutip dari website Rakyat Merdeka Online berjudul “Beathor: Sutiyoso, Pahlawan Reformasi,” tanggal 12 Juni 2015 sebagai berikut:

“Di dalam sebuah rapat, Sutiyoso dengan tegas mengatakan dirinya siap pasang badan dan bertanggung jawab demi mengakhiri kekuasaan Soeharto…Sampai akhirnya terjadi perpecahan di tubuh PDI yang semakin melambungkan nama Megawati sebagai ikon penantang Soeharto. Ini juga sebabnya Sutiyoso selalu mendapat posisi strategis setiap kali PDIP berkuasa. Saat Mega menjadi Presiden RI, Sutiyoso dipercaya menjadi Gubernur DKI. Sekarang menjadi Kepala BIN. Melihat perannya dalam kronik reformasi, saya kira Sutiyoso pantas disebut sebagai pahlawan reformasi, juga pantas dipercaya menjadi Kepala BIN.”


Dalam sebuah acara televisi swasta tahun 2008, mantan Ketua PDI Soerjadi ternyata mengakui bahwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 tersebut sebenarnya adalah rekayasa dari Megawati Soekarnoputri sendiri. Menurut Soerjadi, kenyataan bahwa angkatan bersenjata tidak melakukan tindakan perlindungan adalah bukti telah terjadi semacam “tau-sama-tau.” Dia mengatakan: “Buktinya orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu diangkat sebagai pejabat dalam masa pemerintahan Megawati. Sutiyoso (saat itu Pangdam Jaya) diberi jabatan sebagai Gubernur DKI”. Sementara Budiman Sujatmiko bertugas memprovokasi massa Pro-Megawati untuk mati-matian membela harga diri (kantor PDI) walaupun dengan taruhan nyawa. Maka terjadilah bentrok berdarah itu (Dian Andika Winda, Perang Sejarah Para Jenderal, halaman 96).

Fakta-fakta dan bukti-bukti di atas semakin membuktikan bahwa dokumen yang ditemukan pasca ledakan di rusun Tanah Tinggi tanggal 18 Januari 1998 yang berisi informasi rencana revolusi dari Benny Moerdani; Megawati; CSIS dan Sofjan-Jusuf Wanandi membiayai gerakan PRD adalah dokumen asli dan otentik serta bukan buatan intelijen untuk mendiskriditkan PRD sebagaimana pembelaan mereka selama ini. Bunyi salah satu dokumen yang berupa email di laptop adalah:

“Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima, sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya.”

(Majalah Gatra edisi 31 Januari 1998)
Apalagi pernyataan “Dewa” tersebut sudah dibenarkan oleh anggota PRD bahwa anak buah Sofjan Wanandi pernah menelpon mereka dan menawarkan bantuan dana sebesar US$ 15,000 yang sudah diambil sebagian sebelum bom meledak (Manuver Politik: Sofjan Wanandi & CSIS, Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia, 1998, hal. 21; Gatra edisi 7 Februari 1998).

Patut dicatat juga bahwa dalam salah satu debat terbukanya dengan Budiman Sudjatmiko yang terjadi pada tanggal 3 Juli 2015, Andi Arief sudah mengakui bahwa ledakan bom rusun tanah tinggi itu adalah pekerjaan PRD dan bukan rekayasa intelijen Orde Baru sebagaimana pembelaan anggota-anggota PRD dan aktivis-aktivis 1998 saat itu.

http://www.merdeka.com/politik/budiman-sudjatmiko-andi-arief-perang-di-twitter.html

Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Gerakan Benny Moerdani Menggulung Soeharto; Prabowo; dan Menaikan Megawati Soekarnoputri Ke Kursi Kepresidenan.

Pernah dengar kisah Kapten Prabowo melawan usaha kelompok Benny Moerdani dan CSIS mendeislamisasi Indonesia? Kisah ini fakta dan sudah banyak buku sejarah yang membahas kisah-kisah saat itu, salah satunya cerita Kopassus masa kepanglimaan Benny. Saat Benny menginspeksi ruang kerja bawahan dia melihat sajadah di kursi dan bertanya “Apa ini?,” jawab sang perwira, “Sajadah untuk shalat, Komandan.” Benny membentak “TNI tidak mengenal ini.” Benny juga sering rapat staf saat menjelang ibadah Jumat sehingga menyulitkan perwira yang mau sholat.

Hartono Mardjono sebagaimana dikutip Republika tanggal 3 Januari 1997 mengatakan bahwa rekrutan perwira Kopassus sangat diskriminatif terhadap yang beragama Islam, misalnya kalau direkrut 20 orang, 18 di antaranya adalah perwira beragama non Islam dan dua dari Islam. Penelitian Salim Said juga menemukan hal yang sama bahwa perwira yang menonjol keislamannya, misalnya mengirim anak ke pesantren kilat pada masa libur atau sering hadiri pengajian diperlakukan diskriminatif dan tidak mendapat kesempatan sekolah karena dianggap fanatik, singkat kata karirnya pasti suram.

Terhadap fenomena ini, Salim Haji Said, dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, halaman 99, menulis:

“Mayor Jenderal TNI Edi Budianto – terakhir Asisten Intel Kepala Staf Umum (KASUM) TNI sebelum meninggal tak lama setelah pensiun – pernah menceritakan kepada saya pengalamannya ketika sebagai perwira pertama berpangkat Kapten berdinas di Bais. Dia pernah ditugaskan mengawasi seorang Kolonel. Perwira menengah senior itu mengirimkan anak gadisnya ke pesantren kilat pada masa libur. “Dicurigai fundamentalis,” kata Budianto.”

Demikian pula Marsekal Madya TNI Ginandjar Kartasasmita, anggota Fraksi ABRI dan Ketua Ad Hoc Badan Pekerja-Majelis Perwakilan Rakyat (BP-MPR) mencatat dalam bukunya Managing Indonesia’s Transformation, pengalamannya dipanggil dan ditegur oleh Benny Moerdani, sebagai berikut:

“Pada suatu hari di tengah-tengah rapat penting Komite Ad Hoc yang saya pimpin, saya dipanggil oleh Jenderal Benny Moerdani, Pangab waktu itu. Atan saya karena saya mewakili ABRI di MPR. Kepada saya dia memprotes dimasukannya kata “pesantren” dalam draft GBHN [Garis-garis Besar Haluan Negara]…Pak Benny menentang dimasukannya pesantren ke dalam GBHN dan menegur saya mengapa saya membiarkannya. Pak Benny juga marah terhadap dimasukannya “iman dan taqwa” yang di Indonesia berarti kepercayaan dan ketaatan kepada Allah yang Maha Kuasa dan satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Dengan memasukan “Pesantren” serta “Iman dan Takwa” ke dalam GBHN, bagi Pak Benny itu sama saja dengan memasukan “Piagam Jakarta” ke dalam GBHN.”

Perhatikan perwira tinggi yang menduduki pos penting ketika Benny Moerdani berkuasa: Sintong Panjaitan; Try Sutrisno; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin; R.S. Warouw; Albert Paruntu; AM Hendropriyono; Agum Gumelar; Sutiyoso; Susilo Bambang Yudhoyono; Luhut Panjaitan; Ryamizard Ryacudu; Jonny Lumintang; Tyasno Sudarto; Albert Inkiriwang; HBL Mantiri; Fachrul Razi; Adolf Rajagukguk; Theo Syafei; Soebagyo HS dll, maka terlihat pola tidak terbantahkan bahwa perwira tinggi pada masa kekuasaan Benny Moerdani adalah non Islam atau Islam abangan (“non-fanatik” atau “non-Islam santri” menurut versi Benny Moerdani). Ketidakadilan inilah yang dilawan Prabowo antara lain bersama BJ Habibie membentuk ICMI yang sempat dilawan habis-habisan oleh kelompok Benny Moerdani. Tidak heran anggota kelompok Benny Moerdani yang masih tersisa membenci Prabowo karena dia menghancurkan cita-cita mendeislamisasi Indonesia.

Kebencian CSIS kepada ICMI dan Islam adalah titik singularitas di mana mereka akhirnya serius bergerak untuk menjatuhkan kekuasan Presiden Soeharto. Hal ini dijelaskan oleh Todung Mulya Lubis dalam buku Sofjan Wanandi, Aktivis Sejati, halaman 393-394 di bawah ini:

“Bersamaan pada waktu itu muncul pula gejala sektarianisme yang antara lain terlihat ketika Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) terbentuk. Pada waktu itulah Gus Dur, Marsilam Simanjuntak, Rachman Tolleng, Bondan Gunawan, Daniel Dakidae dan banyak lagi berkumpul merumuskan penolakan terhadap otoriterisme dan sektarianisme. Forum Demokrasi adalah awal dari perlawanan politik.

Di sini kami juga mulai bersinggungan dengan CSIS dan kelompok Katolik yang juga ikut dalam pendirian Forum Demokrasi. Perlu diketahui bahwa salah satu wakil ketua Forum Demokrasi yang mendampingi Gus Dur adalah Alfons Taryadi dari harian Kompas, yang saya percaya bukanlah representasi dari CSIS. Tetapi pada waktu-waktu itu kontak dengan CSIS mulai terbuka.

Perlu dicatat bahwa di awal tahun 1990-an pamor CSIS mulai redup antara lain karena terjadinya perubahan peta kekuasaan Orde Baru. Meninggalnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, serta tersingkirnya Benny Moerdani, membuat CSIS sedikit agak gamang menghadapi perubahan. Kekhawatiran CSIS akan bahaya sektarianisme membuat orang-orang Katolik melihat Gus Dur sebagai sosok yang menjadi alternatif.

Di sinilah titik temu itu terjadi, “a marriage of convenience”. Dari situ pertemuan tercipta dan pada satu kali saya ikut menghadiri acara di gedung CSIS untuk pertama kali, dan ini membuat media agak heboh karena tiba-tiba saya mampir di gedung CSIS. Saya masih ingat berita yang dimuat di Majalah Tempo yang mencatat dengan jeli peristiwa kedatangan saya dan beberapa aktivis lainnya ke gedung CSIS. Dari situlah saya mulai berdialog, terlibat dan mengenal kelompok CSIS sampai pada satu ketika saya diajak untuk bergabung menjadi anggota Dewan Pembina di CSIS.”

Pararel dengan pernyataan Todung Mulya Lubis di atas, Dr. Wardiman Djojonegoro juga bercerita seputar hadangan beberapa pihak yang menuding ICMI didirikan untuk melestarikan sektarnianisme di Indonesia sehingga menolak pendirian ICMI sebagaimana dikutip dari buku biografi beliau, Sepanjang Jalan Kenangan, Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa, terbitan KPG, halaman 246:

“Berbeda halnya bagi kelompok yang menentang berdirinya ICMI. Seperti yang diberitakan media, mereka umumnya mengkhawatirkan ICMI akan menjadi “alat” penguasa dan dianggap menghidupkan kembali primordialisme dan sikap sectarian. Seorang pengamat dari kalangan Islam juga menolak kehadiran ICMI menunjukan makin dekatnya antara birokrasi dengan Islam. Hal ini bisa dimanfaatkan kalangan tertentu untuk mempertahankan status quo di bidang politik, karena itu ICMI sarat dengan muatan politik.”

Kebencian kelompok Benny Moerdani dan ICMI kepada CSIS semakin tampak dari keterangan Miftah H. Yusuf Pati dalam buku HM Soeharto, Membangun Citra Islam, terbitan AsiaMark halaman 111 - 112 mengenai sikap dan pandangan Benny Moerdani dan CSIS terhadap ICMI”

“Bersamaan dengan itu, muncul pula desas-desus bahwa banyak perwira tinggi militer telah menasihati pemerintah agar tidak membiarkan pembentukan organisasi tersebut [ICMI]. Hingga tengah malam sebelum pembukaan pertemuan itu jaminan security dari Kapolda Jawa Timur belum turun, karena dihalangi orang-orang BAIS anak buah Jenderal LB Moerdani yang menghendaki dibatalkannya acara pertemuan cendikiawan tersebut. Mendapat informasi ini, Habibie sampai berkata, “Saya siap ditembak di tempat jika usaha saya membela Islam dihalang-halangi.” Kemudian Habibie segera menelpon Kapolri Jenderal Sanusi dan akhirnya jaminan security itu turun (halaman 111).

Meskipun izin telah keluar, aparat keamanan tampaknya masih menyimpan kecurigaan terhadap rencana pertemuan tersebut. Tanda-tanda ke arah itu terlihat dari seringnya pihak keamanan setempat mendatangi kampus Unibraw, tempat pertemuan akan dilangsungkan. Perlakuan pihak militer yang mempersulit perizinan dan sejenisnya konon sempat menarik perhatian Presiden Soeharto, sehingga beliau menanyakan soal itu ke Habibie (halaman 111).

Habibie sebagai Ketua Umum ICMI, membutuhkan ABRI yang menentukan jalan politik di Indonesia melalui dwifungsi. Tetapi hampir semua perwira tinggi ABRI takut kepada LB Moerdani yang membenci ICMI. LB Moerdani adalah Ketua Dewan Kurator CSIS di Tanah Abang dan menganggap ICMI sebagai saingannya dalam memberikan masukan masalah kebangsaan kepada Pak Harto. Kebencian LB Moerdani kepada Habibie juga disebabkan karena Habibie tidak mau masuk CSIS. “Hal ini pernah disampaikan Habibie di hadapan perwira muda, antara lain Prabowo Subianto, Kivlan Zen, Ismed Yuzairi, Sjafrie Sjamssoedin, Sunarto dan Ampi Nurkamal di IPTN, Bandung pada 21 Desember 1990, dua minggu setelah berdirinya ICMI (halaman 111).


Kelahiran ICMI memang menimbulkan kontroversi di kalangan petinggi ABRI. Akan tetapi Pangdam Brawijaya Mayjen R. Hartono sangat mendukung. “LB Moerdani tidak suka dengan kelahiran ICMI dan berusaha menggagalkan Munas ICMI, padahal ketika itu ia tidak menjabat sebagai Panglima ABRI,” kata Kivlan Zen…(halaman 112).

Menurut Michael Vatikiotis, pendirian ICMI memang sempat membuat para perwira tinggi militer kalang kabut dan melihat kemungkinan organisasi ini sebagai tawaran untuk memotong klaim mereka atas dukungan rakyat. Seorang jenderal senior Kristen, seperti dikutip Vatikiotis, menyatakan berdirinya organisasi kaum cendikia muslim ini sebagai bencana bagi mereka (halaman 112).”

bersambung....
Diubah oleh bakashuo 20-08-2016 11:04
0
57.8K
118
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.