Ingat, Soeharto Lengser Karena Pangan Mahal
Rabu, 06 Jul 2016 - 19:22:16 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Abdul Wachid mengatakan, melonjaknya harga pangan akhir-akhir ini harus dijadikan bahan evaluasi kinerja para pembantu presiden, terutama kementerian teknis.
Demikian disampaikannya saat menanggapi belum stabilnya harga daging sapi jelang idul fitri. Padahal, kata dia, agenda tahunan puasa, Lebaran idul fitri sudah berjalan tiap tahun.
"Semestinya para menteri harus tanggap persiapannya," tandas Ketum APTRI ini pada TeropongSenayan di Jakarta, Rabu (06/07/2016).
Selama ini, kata dia, pemerintah justru terkesan melakukan pembiaran. "Salah satu contoh harga daging yang kenaikannya sangat tidak wajar," ungkapnya.
Dalam hal ini, menurutnya, Menteri Pertanian tidak punya tanggung jawab masalah ini tentang kesediaan sapi lokal untuk konsumsi daging masyarakat dengan harga wajar.
Menyikapi hal tersebut, tegas dia, salah satu hal yang musti dilakukan yakni mengevaluasi anggaran peternakan di kementerian pertanian. Menurutnya, anggaran untuk hal tersebut belum tepat sasaran dan tidak optimal. "Apakah selama ini bantuan sapi untuk kelompok peternak sudah cukup dan bantuan dimana saja," tanya dia.
Untuk itu, kata dia, dirjen peternakan harus mengevaluasi kembali dan sensus ternak sapi secara Nasional. "Dirjen harus memastikan sudah cukupkah sapi kita untuk konsumsi tiap tahun untuk masyarakat?. Kalau dianggap tidak cukup, pemerintah harus mensuport petani peternak berupa bantuan atau kerjasama," ujar politisi Gerindra ini.
Tak hanya itu, lanjut dia, dalam hal ini Menteri Perdagangan juga wajib melindungi peternak sapi dalam negeri. "Tidak malah import sapi atau impor sapi dengan sekala besar yang bisa berakibat ambruknya peternak sapi lokal, tugas Menteri Perdagangan untuk kebutuhan pangan tidak hanya import saja bisanya, tapi menteri Perdagangan punya pemikiran kapan bisa lakukan ekspor bahan pangan ke luar negeri," sindir dia.
Untuk itu, kata dia, Presiden Jokowi harus berani memberikan ketegasan kepada dua menteri tersebut. "Ingat masalah ketersediaan pangan adalah tanggung jawab Negara bukan tanggung jawab petani peternak atau swasta. Ini pesan Konstitusi, ingat Presiden Soekarno dan Soeharto lengser gara-gara harga pangan mahal," pungkasnya.
http://www.teropongsenayan.com/43984...a-pangan-mahal
Harga Sembako Di Pasar Masih Mahal
13 hours ago
Saat ini sejumlah harga kebutuhan pokok di pasar masih sangat tinggi, sangat di sayangkan kembali karena lebaran sudah berlalu namun harga sembako masih mahal sehingga membuat rakyat menjerit. Harga ayam, bawang merah dan putih masih sangat tinggi di pasaran. Hampir di beberapa daerah di indonesia harga sembako di pasr masih cukup tinggi.
Para pedagang pun tidak bisa berbuat apa apa mengingat harga dari distributor pun masih tinggi. di harapkan pemerintah bisa dengan cepat membantu menstabilkan hal ini. karena kenaikan harga pangan ini sudah berlangsung lama. Berikut adalah harga sembako selama sepekan terakhir
http://komoditi.co.id/harga-sembako-...r-masih-mahal/
Harga Pangan bisa menimbulkan kerusuhan sosial hingga Revolusi, bukan isapan jempol semata!
Quote:
Waspadai Gejolak Sosial dan Politik Akibat Krisis Pangan
Rabu, 24 Juni 2015|10:14:42 WIB
PEKANBARU - Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang berkuasa. Maka salah satu penangkalnya adalah dengan mewujudkan kemandirian pangan seperti yang diterapkan di Kampar, Riau melalui Program Rumah Tangga Mandiri Pangan dan Energi (RTMPE).
"Jika kita terus bergantung dengan hasil pangan impor, maka akan sangat mudah negara ini diatur oleh pihak asing. Program RTMPE dapat melepaskan hal itu," kata Pakar dari LIPI, Darwin, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Untuk itulah, lanjut dia, tidak salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar.
Menurut dia, Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.
"Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang musiman dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan pangan nasional," katanya lagi.
Kalau perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan yang tangguh, demikian Darwin, maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen, khususnya produsen berskala produksi kecil dan konsumen berpendapatan rendah.
Menurut catatan Badan Urusan Logistik (Bulog), karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.
Permasalahan yang muncul lainnya di dalam distribusi. Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau. Namun tidak jarang sarana dan prasaran distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri (kasus pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih mahal daripada dari Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke Medan yang lebih mahal dari pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).
Dari sisi tataniaga, menurut Bulog sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli). Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di atas 50 persen dari jumlah pengeluaran). Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok dari pangan lokal ke bahan pangan impor.
Dengan pertimbangan permasalahan pangan tersebut, menurut Darwin maka kebijaksanaan pangan nasional harus dapat mengakomodasikan dan menyeimbangkan antara aspek penawaran/produksi dan permintaan. Pengelolaan kedua aspek tersebut harus mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tangguh menghadapi segala gejolak. Pengelolaannya harus dilakukan dengan optimal mengingat kedua aspek tersebut dapat tidak sejalan atau bertolak belakang.
Maka dengan adanya Program RTMPE, lanjut dia, jika dijalankan dengan baik dan didukung semua pihak, keberhasilannya akan membantu percepatan ketahanan dan kemandirian pangan. Buku RTMPE juga diharapkan menjadi panduan untuk suksesnya program tersebut di berbagai wilayah, tidak hanya di Kampar.
http://mediacenter.riau.go.id/read/1...akibat-kr.html
FAO: Isu Pangan Picu Kerusuhan
10 April, 2008
NEW DELHI, Rabu (Kompas) – Kerusuhan akibat pangan yang langka dan mahal sudah mendera banyak negara. Kerusuhan serupa itu akan terus menjalar ke berbagai negara, terutama yang miskin. Masalahnya, kelangkaan dan mahalnya harga pangan masih akan terus bertahan hingga waktu yang belum diketahui. Demikian pernyataan Jacques Diouf, Dirjen Food and Agriculture Organisation (FAO), di New Delhi, Rabu (9/4). Dia sedang melakukan kunjungan ke India.Kombinasi harga bahan bakar minyak (BBM) yang mahal, dengan peningkatan permintaan atas pangan dari negara Asia yang makmur, permintaan biji-bijian untuk biofuel, dan cuaca buruk telah meningkatkan harga pangan. Ini memicu kerusuhan terutama di negara-negara miskin.
Pernyataan Diouf itu melengkapi peringatan yang sudah disampaikan sebelumnya oleh Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, dan juga oleh World Food Programme (WFP).
Diouf mengatakan ada risiko berupa meningkatnya ketidakstabilan sosial di negara-negara dengan penduduk, yang lebih dari setengah penghasilan mereka dialokasikan untuk pangan.
Beberapa negara Asia juga rentan dengan kerusuhan. Para pemimpin Asia kini sedang waspada. Asia adalah lokasi untuk dua pertiga dari sekitar 1,2 miliar penduduk termiskin dunia. ”Akan ada kerusuhan. Negara-negara miskin Asia akan mengalami hal itu dengan probabilitas yang lebih tinggi ketimbang Asia yang lebih kaya seperti Malaysia dan Singapura,” kata Ooi Kee Beng, seorang peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (Iseas) di Singapura, Selasa (8/4).
Banglades dan Filipina tergolong yang paling terpukul akibat kenaikan harga beras, yang menjadi pangan utama. ”Naiknya harga pangan telah menjadi masalah serius bagi pemerintahan di Asia yang berkuasa sekarang,” kata Ataur Rahman, pakar politik dari Banglades.
Di sebuah forum Iseas disebutkan, Banglades dan warga miskin Indonesia mengalokasikan 70 persen pendapatan untuk pangan.
Di China, inflasi akibat kenaikan harga pangan juga bisa menimbulkan kerusuhan sosial. ”Ada banyak warga yang memendam marah karena kenaikan harga pangan,” kata Jean-Pierre Cabestan dari Baptist University, Hongkong. Dikatakan, rasa marah ini berpotensi menjadi bibit kerusuhan di masa datang.
Di Vietnam, aksi protes juga berpotensi meningkat. ”Masalahnya, kenaikan harga pangan telah memukul banyak banyak orang,” kata Nguyen Thi Dung, seorang tokoh serikat buruh Vietnam.
Hal ini senada dengan pandangan FAO. ”Persoalannya sangat serius di berbagai negara. Kita sudah melihat kerusuhan di Mesir, Kamerun, Haiti, dan Burkina Faso,” kata Diouf. Sejauh ini, kerusuhan atau protes akibat kelangkaan dan mahalnya pangan sudah terjadi di setidaknya 42 negara.
China sudah memulai
Berdasarkan catatan PBB, harga-harga pangan sudah mulai naik sejak 2002. Sejak itu harga- harga terus naik lebih pesat. Sepanjang tahun 2007 saja, berdasarkan data FAO, indeks harga pangan naik 80 persen dan harga-harga pangan jenis biji-bijian sudah naik 42 persen.
Sebuah badan yang bermarkas di Filipina, International Rice Research Institute (IIRI), Selasa (8/4), menyarankan agar tanaman padi hibrida digencarkan. Hal itu bertujuan meningkatkan produksi pangan dengan tempo yang relatif lebih cepat dan volume yang lebih banyak.
Padi hibrida bisa dikembangkan berdasarkan pengetahuan bioteknologi. ”Kita sudah pernah menghadapi gejolak harga pangan yang naik secara dramatis,” kata Ketua IRRI, Robert Zeigler.
”Karena beras adalah pangan utama untuk kaum papa dunia, maka setiap kenaikan harga akan memukul mereka. Tak diragukan lagi, kita memerlukan teknologi yang meningkatkan produktivitas. Padi hibrida adalah prioritas utama untuk dikembangkan,” kata Zeigler.
Dikatakan, padi hibrida sudah dikembangkan di China. Padi hibrida merupakan pengawinan genetika dari tiga jenis pangan untuk memproduksi padi dengan masa panen lebih cepat dan volume 20 persen lebih banyak dari padi biasa.
http://niasonline.net/2008/04/10/fao...icu-kerusuhan/
IMF: Kenaikan Harga Pangan Bisa Picu Perang
Minggu, 13 April 2008 | 12:40 WIB
WASHINGTON, SABTU - Naiknya harga-harga, terutama pangan, dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan bagi dunia, termasuk risiko perang dan berbagai tindakan perlu diambil untuk mengendalikan inflasi, pimpinan IMF menyatakan Sabtu.
"Harga pangan, jika terus berlangsung seperti sekarang ini ... konsekuensinya akan sangat mengerikan," kata Direktur Pelaksana Dana Monter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn.
"Ratusan ribu orang akan menderita kelaparan ... sehingga mengakibatkan terganggunya kondisi ekonomi," kata Kahn dalam jumpa pers pada penutupan pertemuan musim semi IMF di Washington.
Hasil kemajuan pembangunan yang dicapai dalam lima atau 10 tahun yang lewat dapat "rusak sama sekali", katanya, sambil memperingatkan keresahan sosial bahkan dapat mengobarkan perang.
"Sebagaimana kita ketahui, belajar dari pengalaman masa lalu, berbagai masalah seperti itu sering berakhir dengan perang," ujarnya. Jika dunia ingin menghindari "berbagai konsekuensi mengerikan ini", maka harga-harga yang terus meroket harus ditangani.
Sebanyak 20.000 pekerja melakukan kerusuhan akibat mahalnya harga pangan dan rendahnya upah, Sabtu, dekat ibukota Bangladesh, Dhaka, kata polisi, di tengah meluasnya keresahan global akibat membumbungnya harga pangan.
Di negara-negara berkembang, pemerintah terpaksa meningkatkan subsidi untuk kebutuhan pokok atau bahan bakar atau mengurangi ekspor produksi pertanian.
Pertemuan IMF Sabtu sebagian besar membicarakan berbagai kekhawatiran tentang gejolak pasar keuangan dan masalah inflasi, terutama bagi negara-negara maju, di tengah kecemasan bencana atau momok pada dekade 1970 dan 1980-an dapat kembali terulang.
http://lipsus.kompas.com/ekspedisici...sa.Picu.Perang
Ini Kritik Bank Dunia Terhadap Kebijakan Pemerintah Soal Beras
Rabu, 04/05/2016 19:10 WIB
Jakarta -Tidak sinkronnya antara produksi beras yang diklaim pemerintah surplus, dengan kondisi pasokan beras di lapangan, malah membuat harga beras bergejolak.
Poverty Analyst Bank Dunia, Maria Monica Wihardja mengungkapkan, ada beberapa kebijakan yang dinilai tak manjur dalam mengendalikan harga dan menjaga stok beras di dalam negeri
"Ada dampak psikologis, apalagi di bulan Januari perlu ada stok (Bulog) yang cukup tinggi. Ditambah stok tipis dan pemerintah mengeluarkan sentimen anti impor, maka pedagang sudah tahu bahwa harga akan naik, makanya ditimbun," kata Maria ditemui di acara Ketahanan Pangan Indonesia, Pakarti Center, Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Maria mengungkapkan, persoalan lainnya yakni terlambatnya keputusan impor beras. Menurutnya, selama bisa diatur dengan perencanaan yang baik, beras impor tidak akan merusak harga di tingkat petani. Bahkan, beras bisa disimpan di negara eksportir dan bisa didatangkan kapan saja sesuai kesepakatan.
"Waktu lalu kita telat (impor). Ternyata Filipina sudah pesan dari Thailand dan Vietnam, akhirnya kita tidak bisa capai target impor kita yang 1,5 juta ton. Kita akhirnya harus cari lagi dari India, Pakistan, Myanmar dan lainnya," ungkap Maria.
"Misalkan sudah ada perjanjian yang akan kita impor, ini impor beras tidak harus dikeluarkan langsung dan kita bisa simpan. Pada saat perlu dan produksi rendah bisa kita keluarkan. jadi perhitungannya jauh-jauh hari," tambahnya.
Kebijakan lainnya yang kurang tepat terjadi dalam tata niaga, yakni operasi pasar (OP) beras yang lebih banyak menyasar pedagang perantara, ketimbang menjualnya pada konsumen akhir.
"Sudah begitu OP yang masih banyak problem dalam implementasi. Maka biar pun (OP) tinggi di September, malah didistribusikan di pedagang besar, bukan di masyarakat langsung. Padahal di pedagang bisa saja kemudian mengoplos dan menimbun lagi, masih bayak masalah di pasar," jelasnya.
http://finance.detik.com/read/2016/0...tah-soal-beras
Surplus Beras RI Diragukan Bank Dunia, Menteri Pertanian Berkilah
Senin, 9 Mei 2016 06:25 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Kementerian Pertanian (Kementan) berupaya mendongkrak produksi padi agar mencapai hasil maksimal, bahkan surplus.
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret 2016 merilis angka sementara produksi padi 2015 sebesar 75,36 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 6,37 persen dibandingkan 2014, atau surplus dari target.
Namun, surplus beras ini dipertanyakan oleh analis kemiskinan Bank Dunia, Maria Monica Wihardja. Menurut lembaga tersebut, apabila produksi beras surplus, harga beras seharusnya bisa stabil.
Dia mengungkapkan, ada beberapa kebijakan yang dinilai tak manjur dalam mengendalikan harga dan menjaga stok beras di dalam negeri. "Ada dampak psikologis, apalagi di bulan Januari perlu ada stok (Bulog) yang cukup tinggi. Ditambah stok tipis dan pemerintah mengeluarkan sentimen anti impor, maka pedagang sudah tahu bahwa harga akan naik, makanya ditimbun," kata Maria baru-baru ini.
Maria mengungkapkan, persoalan lainnya yakni terlambatnya keputusan impor beras. Menurutnya, selama bisa diatur dengan perencanaan yang baik, beras impor tidak akan merusak harga di tingkat petani. Bahkan, beras bisa disimpan di negara eksportir dan bisa didatangkan kapan saja sesuai kesepakatan.
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, Suwandi mengatakan, validitas data produksi dapat dicek dari survei Sucofindo dan survei Badan Pusat Statistik (BPS). Yakni stok beras sebanyak 8 hingga 10 juta ton tersebar di Bulog dan masyarakat. Rincian hasil survei tersebut yaitu stok di produsen sebanyak 64 persen hingga 81 persen, di pengilingan dan pedagang 9 persen hingga 24 persen, dan di konsumen 9 persen hingga 11 persen. "Stok beras berfluktuasi antar-ruang dan waktu, terutama saat musim panen dan paceklik, serta antar wilayah 16 provinsi sentra dan non sentra padi," kata Suwandi.
Stok beras di Bulog pada Februari 2016 sebanyak 1,4 juta ton dan April 2016 mendekati 2 juta ton. Suwandi menambahkan, keberadaan stok di produsen pun terkonfirmasi dengan data Sensus Pertanian BPS 2013 yang menyebutkan dari 14,3 juta rumah tangga petani padi, terdapat 37,6 persen petani yang tidak menjual gabah/beras hasil padinya. Gabah maupun beras tersebut biasanya untuk disimpan dan konsumsi sendiri. Adapun 54,9 persen menjual sebagian hasilnya, dan sisanya 7,6 persen menjual seluruh hasil usahanya.
Untuk itu, Suwandi menilai pernyataan Bank Dunia membuat publik menduga-duga. Di antaranya kemungkinan itu pendapat pribadi dan bukan rilis resmi Bank Dunia, karena terlihat analisis dan argumentasinya kurang tepat. Selain itu, tidak mungkin Bank Dunia menyarankan Indonesia impor beras di saat beras mencukupi. "Impor beras hanya akan menguras devisa dan menyengsarakan petani," tegas Suwandi.
http://www.tribunnews.com/bisnis/201...anian-berkilah
------------------------------------
Ingat ... ingat ... orang miskin yang lapar, bisa berbuat nekad, gampar dikompori untuk memberontak, dan mereka adalah bahan bakar yang paling baik untuk melakukan kerusuhan hingga revolosi sosial. Dan, pakar-pakar atau provokator lapangan yang pinter memanfaatkan kondisi seperti itu, siapa lagi kalau bukan orang-orang komunis.