act.idAvatar border
TS
act.id
Mengurai Tanda Tanya tentang Nasib Rohingya

JAKARTA - Akhir tahun 2015 silam, publik di negeri Myanmar bersorak riuh. Tanggal delapan November jadi momentum kebangkitan Myanmar dalam urusan berpolitik dalam negeri. Sorak lantang itu mencuat dalam sebuah perayaan politik demokratis untuk pertama kalinya dalam sejarah Myanmar. Setelah lima dekade berada dalam kontrol junta militer di tampuk kepemimpinan, akhirnya Myanmar sukses menuntaskan prosesi pemilihan umum (pemilu) demokratis untuk pertama kalinya. Pemilu itu pun memilih Htin Kyaw sebagai presiden Myanmar pertama dari kalangan sipil. Untuk diketahui, Htin Kyaw, merupakan sekutu dekat pimpinan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh pemimpin wanita paling berpengaruh di Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Pergantian tampuk kepemimpinan dari junta militer ke kalangan sipil ini pun membawa harapan. Setidaknya, perlahan ada perubahan tentang beragam kebijakan dalam negeri Myanmar, terutama kebijakan yang sempat dirundung isu otoriter. Termasuk kebijakan tentang pengakuan etnis Rohingya yang menyebar di Provinsi Rakhine, sebelah Barat Ibukota Naypyidaw.

Sejak tahun 2012, tindak kekerasan komunal antara etnis Buddhists dan Muslim Rohingya merebak luas di Rakhine, menyisakan catatan kelam tentang lusinan korban jiwa. Sementara ribuan jiwa Rohingya lainnya nekat melarikan diri mengarungi Samudera Hindia sebagai pengungsi, meratap di atas kapal rapuh bermuatan ribuan jiwa sekali angkut.

Kini, mengurai tanya tentang nasib Rohingnya sembari menghitung 100 hari pertama pemilu demokratis di negeri itu, publik internasional terus memberikan tekanan pada pemerintah Myanmar. Pertanyaannya mengerucut pada satu hal, kebijakan seperti apa yang akan diterapkan pemerintahan baru Myanmar terhadap mereka jutaan jiwa warga Rohingya yang terkatung, yang tak dianggap sebagai bagian dari warga negara Myanmar.

Pantauan terkini, meski masih menunggu jawaban jelas dari pemerintah yang berkuasa, Jenderal Senior Myanmar, Min Aung Hlaing menegaskan pernyataan pada media lokal bahwa militer dan pemerintah akan mencoba untuk membangun kembali dua komunitas yang berseteru di Rakhine. Kemudian mendorong penuh keberlanjutan ekonomi di kawasan termiskin di Myanmar tersebut.

“Siapa pun bisa melindungi agama dan budaya masing-masing dengan adil, tanpa sedikitpun melakukan tindakan ekstremis,” kata Min Aung Hlaing dalam sebuah rilisannya pada media setempat.

Mengutip Myanmar Times, jelang 100 hari bergulirnya pemerintahan baru Myanmar, ada kecenderungan dinasti sipil Aung San Suu Kyi merespons tekanan internasional atas isu Rohingya dengan mengeluarkan kebijakan yang seimbang. Berada di batas abu-abu yang terkesan masih belum jelas dan tegas. Artinya, kebijakan regional yang kini diterapkan tak lebih dari memberi tekanan, menegur, dan melarang untuk tidak memulai upaya ekstremis.

Padahal masalah besar yang tersaji di Rakhine lebih dari itu. Sampai hari ini, pemerintahan baru Myanmar sama sekali belum mau mengakui keberadaan Muslim Rohingya sebagai bagian dari warga negara yang sah. Media setempat menyebut sikap pemerintah sedang bermain dalam kehati-hatian, menjaga nasionalisme negara.

Istilah Rohingya pun masih diabaikan, pemerintah Myanmar lebih memilih menyebut Rohingya sebagai “Muslim community in Rakhine state” demi mencegah munculnya ketegangan. Meski kenyataannya, etnis Rohingya sudah menetap di tanah Rakhine sejak berabad silam, lintas generasi setidaknya sejak abad ke 17 lampau.

Catatan perjalanan yang dirilis oleh Tim ACT di Myanmar menyebut kini Provinsi Rakhine dihuni oleh 87 persen populasi agama Buddha, sementara 6 persen menganut kristiani, kemudian 4 persen lainnya adalah Muslim Rohingya, dan sisanya merupakan populasi kepercayaan lain.

Selama isu mendasar tentang pengakuan kewarganegaraan Rohingya belum terselesaikan oleh pemerintah Myanmar, problem pelik tentang kemanusiaan ini tak akan pernah berakhir. Rohingya butuh pengakuan sebagai warga negara, sebab itu adalah syarat utama untuk mendapat akses terhadap pekerjaan, hunian, pendidikan yang layak, dan kesehatan yang terjamin.

Mengutip lagi kabar media lokal Myamnar, Isu yang begulir hari ini pemerintah terpilih hanya akan menerbitkan sebuah ‘greencard’ atau serupa dengan ‘kartu tamu’. Bukan kartu kewarganegaraan bagi minoritas Rohingya. Jika benar demikian, berarti upaya rekonsiliasi damai bagi Rohingya belum akan berakhir dalam waktu dekat. []

Editor: Shulhan Syamsur Rijal
Sumber: Laporan Tim ACT d Myanmar / MMTimes

Ayo Berpartisipasi



0
2K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.