agninistanAvatar border
TS
agninistan
Cigugur : Nasib Tragis Sunda Wiwitan - Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah
Melongok Komunitas Sunda Wiwitan (1)
Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon
Oleh: Reni Susanti
facebook facebook
Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon
ilustrasi
DISKRIMINASI terhadap kaum penghayat masih terjadi di Indonesia. Salah satunya terhadap Komunitas Sunda Wiwitan. Tak jarang, mereka harus berhadapan dengan perlakuan tak adil sejumlah pejabat negara.

Dari selembar kertas, Ira Indra Wardhana menemukan kebingungan. Bocah berusia 9 tahun itu seolah berhadapan dengan masalah. Dia tak mampu mencerna kalimat pertanyaan yang tertulis di atas kertas tersebut.

Pertanyaan itu berisi lima kolom agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Ira diminta gurunya memilih salah satu. Bukannya menjawab, Ira malah bingung dan tak mampu mengisi.

Dia sadar, lima kolom tersebut bukanlah agamanya. Dia pun memutuskan untuk meminta bantuan sang ayah mengisi kolom agama itu.

Keesokan harinya, sang ayah menemui gurunya. Saat itu, dia meminta guru untuk tidak menyuruh menyuruh anaknya memilih agama lantaran tak akan mengerti dan masih terlalu kecil.

“Bapak saya lalu bertanya, ini sekolah apa? Guru saya menjawab Katolik. Lalu ayah berkata, didik saja anak saya dengan Katolik yang benar, tapi jangan suruh anak saya memilih. Kalau mau ke gereja, silakan pergi ke gereja, tapi jangan dibaptis,” ucap Ira mengenang masa kecilnya.

Ira terbilang berprestasi di SD Yos Sudarso Cigugur Kuningan. Dia memperoleh nilai bagus di mata pelajaran umum maupun agama (Katolik).

“Saya ke gereja. Kalau ada natal saya juara lomba puisi. Ada acara paskah, saya memerankan Yesus yang disalib. Tapi hati saya berkata, saya bukan katolik, saya sunda wiwitan,” tegasnya.

Ira mengungkapkan, pemerintah saat itu tak memberi kesempatan penghayat (sebutan penganut Sunda Wiwitan) seperti dirinya, mempelajari keyakinannya di sekolah. Pemerintah lewat kebijakannya secara tidak langsung memaksa penghayat mempelajari lima agama resmi untuk bisa lulus sekolah.

“Kami tak punya pilihan lain, kalau menolak, nilai agama di rapot kosong. Masa ada nilai yang kosong? Buat kami ini tidak mudah. Untuk memeroleh hak pendidikan, kami dipaksa menjadi bunglon. Kami bisa menjadi muslim, Kristen, Katolik, atau agama lainnya yang diakui negara,” ungkapnya.

Meski begitu, keinginan pindah agama tak pernah terlintas dalam pikirannya. Meski dia mempelajari Katolik dan Islam semasa SD-SMA, keimanannya tetap pada Sunda Wiwitan. Seperti saat dia berniat daftar di jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, 1993 silam.

Saat itu, dia kembali harus mengisi lima kolom agama yang diakui negara. Hatinya bergejolak ketika akan mengisi. Dia merasa pemerintah sudah berlaku tidak adil dan semena-mena pada kaum penghayat. Padahal, Sunda Wiwitan sudah ada sebelum Indonesia ini didirikan. Namun pemerintah dengan seenaknya mengatur, mana agama yang diakui atau tidak.

Kian keras hatinya berteriak, makin tersadar emosi tak akan menyelesaikan sesuatu. “Untuk sebuah perjuangan yang lebih besar, perlu sebuah strategi. Akhirnya, dari hasil diskusi dengan orangtua, saya mengisi kolom Katolik di lembar pendaftaran maupun saat membuat KTP,” terangnya.

Ira memilih Katolik bukan tanpa alasan. Jika saat itu Ira memilih Islam, orang sekitar akan memantau apakah dia salat atau tidak. Tapi dengan memilih Katolik, orang tidak akan memantau Ira pergi ke gereja ataupun tidak.

Toh lama-lama Ira merasa tak nyaman. Di tahun 1998, dia mulai berani istiqamah mengosongkan agama di KTP-nya. Begitu dia menerima kolom agama kosong di KTP, dengan bangga dia menuliskan “Sunda Wiwitan” sebelum dilaminating.

Keputusannya ini bukan tanpa risiko. Karena banyak orang melirik sinis padanya. Ira dianggap kafir, dan kepercayaan yang dianutnya dinilai aliran sesat.

“Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan berbagai diskriminasi. Mulai dari sebutan kafir, aliran sesat, dan cibiran lainnya. Sebagai manusia biasa tentunya saya terkadang down,” terangnya.

Seperti saat hendak bekerja di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung. Ira nyaris tak memeroleh pekerjaan tersebut. Dia dihambat bahkan dipermasalahkan untuk menjadi PNS karena dianggap berbeda.

Namun setelah berjuang bertahun-tahun dibantu guru besar Antropologi, dia berhasil lolos menjadi PNS, meski masih ada orang yang mempermasalahkan hal itu sampai sekarang.

Padahal, kemampuan penghayat Sunda Wiwitan sama dengan penganut agama lainnya. Di antara mereka ada yang sukses memiliki rumah makan. Ada pula yang berhasil menduduki posisi Kabag di pemerintahan kota/kabupaten.

Namun, dari pengalaman selama ini, jabatan Kabag itu hanya akan jadi jabatan tertingginya. Karena, meski kemampuannya mumpuni, agamanya yang dianggap berbeda membuatnya susah untuk naik jabatan.

“Ibu saya penilik kebudayaan di Kabupaten Kuningan. Secara manusiawi punya kemampuan yang sama dengan yang lain, tapi negara tak memberikan ruang lebih jauh. Bahkan ada sejumlah profesi yang belum bisa dimasuki penghayat,” terangnya.

Jika ingin sederhana, kata Ira, gampang saja. Dia tinggal mengisi kolom agama dan tidak akan mengalami berbagai diskriminasi, termasuk berkali-kali putus dengan pacar. Sambil tersenyum Ira menceritakan, saat kuliah di Unpad, dia beberapa kali gagal membina hubungan karena agama yang dianutnya.

Akhirnya, dia pun menikah dengan sesama penghayat. Sedangkan kakak maupun adiknya menikah dengan penganut Kristen dan Hindu sehingga keduanya berpindah keyakinan. Keluarga ataupun lingkungan sekitar tak ada yang mencegahnya.

“Orangtua di Sunda Wiwitan tak pernah memaksa anaknya menikah dengan orang seagama. Itulah mengapa di Cigugur sangat plural. Semua agama hidup rukun berdampingan. Bahkan dalam satu rumah bisa dihuni pemeluk tiga agama bahkan lebih,” sambungnya.

Kini tantangan berat tengah dihadapi Ira yakni bagaimana membekali anaknya menjalani kehidupan. Sebagai penghayat Sunda Wiwitan, anak-anaknya harus siap dengan berbagai diskriminasi yang akan mengadang. Karena mau tak mau harus diakui, hingga kini diskriminasi masih melekat di penghayat Sunda Wiwitan. (gin)

[url]http://m.inilah..com/read/detail/2126681/mereka-dipaksa-menjadi-bunglon[/url]

Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah
Oleh: Reni Susanti
facebook facebook
Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah


Dewi Kanti - istimewa
IRA Indra Wardhana menjadi korban tindakan diskriminatif terhadap kaum penghayat. Dia menganut penghayat Sunda Wiwitan. Banyak pihak yang menganggapnya sesat.

Tak hanya Ira, diskriminasi menjadi makanan sehari-hari penghayat Sunda Wiwitan lainnya. Seperti yang dialami Dewi Kanti Setianingsih (39). Sejak menikah 2002 silam hingga sekarang, dia dan suaminya tak memiliki akta nikah. Alasannya klasik, karena Dewi Kanti penghayat Sunda Wiwitan.

Dampak tak memiliki akta nikah ini sangat luas. Dewi Kanti tak berhak atas berbagai tunjangan seperti tunjangan kesehatan dari kantor suaminya. Meski faktanya sudah menikah, lantaran tak memiliki akta nikah, sang suami dianggap masih bujang sehingga perusahaan tak berkewajiban memberikan tunjangan istri.

Begitu pun saat nanti hamil dan melahirkan, anak yang dikandungnya tak akan mendapatkan akta kelahiran. Imbasnya, merembet pada kehidupan si anak di masa depan.

“Pintu masuk diskriminasi kerap datang dari administrasi sipil. Seperti KTP, akte kelahiran, akte perkimpoian,” ucap Dewi kepada INILAH, belum lama ini.

Kondisi itu, sambung Dewi, seperti rantai kehidupan yang akhirnya tersistematis. Ketika agama tidak dicantumkan dalam KTP, penghayat akan dipersulit dalam urusan administrasi baik di sekolah, perbankan, bahkan dalam pernikahan.

Bagi penghayat yang tidak siap dengan tekanan, mereka digiring masuk agama resmi. Misalnya saat akan menikah, sebagian penghayat berbohong dengan mendaftar sebagai penganut agama yang diakui agar mendapat akta kimpoi. Namun yang bertahan dengan keyakinan semula seperti dirinya, akta perkimpoian hanya angan-angan.

Dewi mengatakan, selama ini dalam aturan berupa SKB Menteri, UU PNPS 1965 tentang Penodaan Agama, dan lainnya tidak secara jelas menyatakan agama yang diakui negara. Seluruh peraturan itu menyebutkan beberapa agama yang dipeluk orang Indonesia.

“Tapi oleh aparatur diterjemahkan, itulah agama yang diakui negara. Di luar itu tak bisa dilayani,” tuturnya.

Hingga kini tak semua penghayat Sunda Wiwitan mengantongi e-KTP. Bahkan ada penghayat yang di-Konghucu-kan dalam e-KTP. Kondisi ini tak hanya terjadi di Cigugur Kuningan, tapi juga di daerah lain. Contohnya yang dialami penghayat Tolotang di Sulawesi Selatan.

“Namanya Djani Karjani seorang seniman. Di kolom agama terpampang Konghucu. Padahal dia jelas-jelas Tolotang,” ucap Dewi.

Tak hanya itu, tahun 2010 lalu saat masih tinggal di Jakarta, dia berniat mengganti KTP. Dalam KTP sebelumnya, kolom agama diisi strip (-). Namun begitu KTP baru jadi, dia pun kaget. Karena di kolom agama dituliskan Islam.

Dia pun kembali mengajukan pembuatan KTP untuk memperbaiki kolom agama. Lagi-lagi aparat menganggap enteng dan menuliskan agama di luar keyakinan Dewi.
“Akhirnya saya menulis surat ke lurah Cilandak Jakarta Barat tertanggal 15 Juni 2010 atas kekeliruan yang dilakukan petugas di sana. Selain surat, saya sertakan bukti hidden camera percakapan saya dengan petugas pembuatan KTP. Setelah itu, baru KTP saya benar, kolom agama dikosongkan. Pokoknya saat itu, dalam empat hari, dicetak 3 KTP atas nama saya,” terangnya.

Kejadian lain yang tak kalah menyedihkan ketika dia kehilangan dompet. Untuk mengurus KTP dan ATM yang raib bersama dompet tersebut, Dewi mendatangi kepolisian hendak membuat surat kehilangan.

Dia pun mulai ditanya identitas diri untuk diisi ke form surat kehilangan yang sudah komputerize. Begitu masuk ke kolom agama, polisi kebingungan.

“Saya jawab, agama saya kepercayaan. Polisi bertanya, apa tuh? Gak ada di kolomnya. Saya meminta untuk dikosongkan, dan polisi berkata kalau dikosongkan, suratnya tak bisa dicetak dan gak bisa dapetin surat kehilangan. Akhirnya, saya bilang, cari kolom agama yang penganutnya sedikit saja. Polisi pun mengisi Konghucu,” sambungnya.

Belum lagi ketika berbicara soal PNS. Dewi bercerita, beberapa tahun lalu adiknya hendak mendaftar PNS secara online. Namun hal itu urung dilakukan karena dalam form itu hanya tercantum agama yang diakui negara.

Sebenarnya, sambung Dewi, yang diperjuangkannya selama ini bukan hanya pengakuan dalam selembar KTP. Yang dibutuhkan penghayat adalah perlindungan tanpa diskriminasi. Jika akan dicantumkan di KTP, maka harus semua tanpa syarat. Karena identitas itu hak mendasar. Apalagi Sunda Wiwitan sudah ada sebelum negara ini berdiri.

“Bahkan leluhur kami ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, meskipun mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan sejak zaman Belanda,” tuturnya.

Dari Masa ke Masa
Anak tetua adat Sunda Wiwitan Dewi Kanti mengatakan, diskriminasi yang diperoleh para penghayat sudah terjadi sejak zaman Belanda. Karena bersikukuh pada spiritual leluhur, para penghayat kerap menjadi sasaran tembak.

Belanda mengadu domba penghayat dengan kalangan muslim dan kelompok pesantren seolah penghayat ingin mendirikan agama baru bernama Jawa Sunda. Padahal, Sunda Wiwitan menggali spiritual lama bukan baru.

“Mengapa kami seolah-olah menjadi musuh besar, sehingga perlu meminjam tangan kelompok muslim untuk menghabisi kami? Karena gerakan budaya kami saat itu, untuk menumbuhkan nasionalisme. Kami menyebutnya dengan strategi perlawanan kultural,” terangnya.

Perlawanan lewat budaya ini sengaja dilakukan para sesepuh Sunda Wiwitan, karena mereka punya pengalaman buruk dengan perlawanan fisik. Sang kakek yang juga sesepuh Sunda Wiwitan, Ki Madrais pernah memimpin pemberontakan fisik di Ambon. Dari tindakannya itu, beberapa pengawal dipancung Belanda. Dari sanalah dia mengubah strategi perlawanan.

Namun Belanda tak tinggal diam. Mereka berusaha untuk menyingkirkan Madrais dan keluarganya. Ki Madrais pernah dibuang ke Papua. Namun di sana, dia malah sukses menanam bawang merah. Dia pun dimasukkan ke LP Sukamiskin, di sana malah menyembuhkan orang gila.

Bahkan dia sempat dituduh kriminalistas. Tapi karena Madrais tengah sakit, sang anak, Pangeran Jatikusuma di penjara menggantikan ayannya tanpa proses hukum.
“Karena tak ada saksi memberatkan, ayah saya keluar tanpa proses hukum pula,” imbuhnya.

Zaman Jepang

Tekanan terhadap penghayat tak berhenti di sini. Jelang masuknya Jepang ke Indonesia, Belanda melegitimasi hukum perkimpoian adat. Namun hasil negosiasi bertahun-tahun ini dinilai lain oleh Jepang. Penghayat Sunda Wiwitan dinilai sebagai antek Belanda.

Untuk menarik simpati muslim, Jepang mendirikan catatan Kantor Urusan Agama (KUA). Dari situ mulai muncul pembedaan catatan antara muslim dan nonmuslim. Meski demikian, tahun 1945-1955, para penghayat ikut menyiapkan kemerdekaan dan merancang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Ketika Wongsonegoro menjadi menteri, mulailah ada angin segar bagi penghayat (dulu aliran kebatinan). Namun memasuki tahun 1950-an, penghayat diintimidasi oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Saat itu, kampung dikepung, tetua adat dicari untuk dibunuh. Gesung Paseban dan kampong dibakar. Namun untungnya Paseban selamat, yang terbakar hanya bagian dapur dan satu unit mobil.

“Sesepuh adat menyamar jadi petani dan berhasil diselematkan. Dia dan keluarga akhirnya mengungsi ke Bandung. Tahun 1960-an kondisi sedikit aman, keluargapun kembali ke Cigugur,” terangnya.

Tahun 1964, politik kembali memanas, masuknya lewat perkimpoian. Pernikahan yang tidak dicatat dianggap perkimpoian liar dan dipanggil polisi. Banyak pengantin setelah menikah bukan bulan madu, tapi diinterogasi polisi. Semua ini dilakukan untuk memancing ketua adat. [rni]

[url]http://m.inilah..com/read/detail/2126899/dewi-kanti-rela-tak-punya-akta-nikah[/url]

Tragis, nasib pemeluk agama asli. Boro2 mau bikin tempat ibadah yang terkadang yang resmipun masih dihambat. Mau mencantumkan agama yang diyakini aja di kolom agama nggak boleh jika bukan termasuk agama yang resmi. banyak yang dipaksa mencantumkan agama yang diklaim sebagai mayoritas di kolom agama di KTP mereka.
Diubah oleh agninistan 16-08-2014 08:17
lostcg
lostcg memberi reputasi
1
26.3K
114
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.