dolpop
TS
dolpop
Mau Tau Cara Masyarakat Papua Berdamai???
Umat Islam dan bangsa Indonesia mendapatkan pelajaran yang berharga dari peristiwa Tolikara, Papua. Peristiwa di Hari Idul Fitri 1 Syawal 1436 H/17 Juli 2015 menjadi sebuah test – case bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Skala kejadian di Tolikara tidak seberapa dibanding wilayah Indonesia yang luas. Tapi bangsa ini harus mencegah agar teror dan kekerasan tidak menjadi kebiasaan.
Pasca insiden Tolikara banyak kalangan yang mengeluarkan pernyataan beda-beda karena memiliki persepsi dan kepentingan yang tidak sama. Menarik dicermati analisa Prof. Dr. Mahfud MD di media sosial, “Peristiwa Tolikara menghadapkan kita pada dilema. Kasusnya sendiri jelas, tapi secara politik sulit diselesaikan secara apa adanya karena bisa makin rumit.”
Pelajaran pertama dari insiden Tolikara, ialah menyangkut toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Toleransi dan kerukunan antarumat harus dibangun “timbal balik” di antara semua umat beragama mulai dari lapisan elite sampai akar rumput (grass-roots). Toleransi atau dalam Islam disebut tasamuh, bukan dalam arti menganggap semua agama sama dan mengakui kebenaran agama lain. Toleransi yang perlu dibangun dalam kehidupan bangsa dan negara adalah toleransi yang sehat, toleransi dalam pengertian membiarkan dan tidak saling mengganggu meski berbeda keyakinan. Dalam rumus Prof. Dr. H.A. Mukti Ali semasa menjabat Menteri Agama yaitu agree in disagree.
Masalah kerukunan antarumat beragama di Indonesia harus disikapi dalam paradigma berpikir berdasar Pancasila dan UUD 1945. Dalam kerangka otonomi daerah dan otonomi khusus di wilayah tertentu, tidak boleh menyuburkan primordialisme sempit yang mengancam kesatuan bangsa. Peraturan Daerah yang diskriminatif dan intimidatif terhadap umat Islam di Tolikara misalnya (jika hal itu benar), harus dicabut karena bertentangan dengan Pancasila dan kemerdekaan beribadah yang dijamin dalam konstitusi negara UUD 1945.
Terkait insiden Tolikara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghimbau masyarakat tidak terpancing dan terprovokasi serta bisa menahan diri dan menunggu proses penyelidikan kasus ini hingga selesai. MUI juga meminta media memberitakan insiden Tolikara sesuai fakta.
Sementara itu Komite Umat Untuk Tolikara (KOMAT) mengeluarkan pernyataan: menolak pihak-pihak yang menghambat masuknya bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan resmi dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Tolikara, dan mewaspadai kepentingan asing atau pihak lain yang tidak bertanggungjawab terhadap kedaulatan NKRI. TNI dan POLRI harus menindak unsur-unsur atau atribut yang mengarah pada keterlibatan pihak asing.
Pernyataan mengenai kewaspadaan keterlibatan pihak asing tidak berlebihan. Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland di Denmark. Papua yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah kini menjadi bidikan konspirasi asing agar lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pelajaran kedua, tanggungjawab untuk menjaga kedamaian dan toleransi di Tolikara dan di mana pun, tidak hanya bagi pihak yang menjadi korban tindakan intoleransi beragama, tetapi terlebih pihak yang melakukan tindakan intoleransi terhadap umat agama lain, terlepas dari apa pun motifnya. Tokoh Islam almarhum Lukman Harun di awal Orde Baru yang mengatakan, “Janganlah hanya umat Islam saja yang disuruh toleran, sekarang kalau orang bicara tentang toleransi seolah-olah hanya ditujukan pada umat Islam.”
Pelajaran berikutnya, peristiwa Tolikara mengingatkan umat Islam untuk lebih peduli dengan dakwah di pedalaman dan daerah minoritas Muslim. Dakwah Islam di Papua masih tertinggal dibanding kegiatan missionaris agama lain, terutama sarana dan fasilitas pendukungnya.
Komite Umat Untuk Tolikara bersinergi dengan BAZNAS, Lembaga-Lembaga Amil Zakat, dan Forum Zakat (BAZNAS) menggerakkan penghimpunan dana untuk membantu pembangunan kembali Masjid Baitul Muttaqin di Tolikara yang terbakar dalam insiden tersebut. Solidaritas umat untuk Tolikara tidak cukup hanya reaksi sesaat dan kemudian lenyap.
Dakwah menegakkan risalah Islam dalam barisan yang rapi, solid dan teratur membutuhkan konsistensi (istiqamah) karena tantangan dan ujian dari luar maupun dari dalam selalu ada. Sinergi antar-sesama elemen umat Islam harus selalu dikedepankan dalam segala situasi.
Kepedulian umat Islam untuk membantu pemulihan kedamaian, kerukunan dan rehabilitasi bangunan yang hancur pasca insiden Tolikara perlu mendapat apresiasi. Dalam proses rekonsiliasi, rehabilitasi fisik dan nonfisik sebaiknya memberdayakan potensi lokal dan organisasi Islam yang di wilayah setempat. Lembaga keagamaan atau filantropi dari luar Papua lebih tepat berperan dalam men-support dana dan tidak perlu mengerjakan operasional di lapangan. Kiprah dakwah Islam dan penyiaran agama manapun di tengah suku asli Papua harus melahirkan generasi yang berkemajuan dan generasi yang tidak mudah diadu-domba untuk misi dan kepentingan tertentu.
Sinergi yang dibangun antar lembaga zakat untuk penguatan dakwah tidak boleh berhenti di Tolikara. Selain Tolikara, masih banyak komunitas Muslim di pedalaman Papua, Papua Barat serta daerah lain yang kekurangan dana untuk pembangunan masjid atau mushalla, sarana dan biaya pendidikan umat, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Mereka memerlukan perhatian dari sesama umat Islam.
Tidak berlebihan mengatakan Islam merupakan salah satu (kalau bukan satu-satunya) simpul pengikat Papua dalam NKRI. Islam telah hadir di Papua sejak abad XV M, sedangkan Kristen masuk ke Papua pada pertengahan abad XIX. Dakwah Islam di Papua setidaknya sudah ada sejak 500 tahun yang silam. Bahkan Nama Raja Ampat tidak bisa dipisahkan dari jejak sejarah Islam di Papua.
Catatan sejarah menunjukkan umat Islam merupakan pendatang awal sebelum kehadiran missionaris tahun 1855. Sekadar mengingatkan sejarah, Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah, sosial dan pendidikan yang besar telah berkembang di Papua (dahulu Irian Barat dan kemudian Irian Jaya) sejak tahun 1920-an, tepatnya pada tahun 1933 berdiri Muhammadiyah di Fakfak dengan pimpinan Ibrahim Bauw.
Sampai Irian masuk wilayah Republik Indonesia, Muhammadiyah satu-satunya organisasi keagamaan yang eksis di sana. Salah satu kegiatan Muhammadiyah di Irian waktu itu ialah membangun madrasah di Kaimana, Fakfak dan kabupaten lainnya. Kemudian untuk menyatukan gerakan pendidikan Islam sebagai hasil musyawarah antara organisasi politik Islam, Muhammadiyah dan organisasi Islam lokal di Jayapura pada 15 Desember 1968 dibentuk Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) dengan cabang-cabangnya di Merauke, Fakfak, Sorong, Monokwari, Biak, Jayapura, Naberia dan Serui.
Segenap elemen masyarakat Papua yang berpandangan nasionalis dan integralis tentu menginginkan keamanan dan kedamaian di bumi cendrawasih. Tetapi kedamaian memerlukan tegaknya hukum dan keadilan agar tidak menjadi kedamaian yang semu. Kita menyambut baik perkembangan di Tolikara, dimana pemerintah setempat dan pihak Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sepakat untuk menjamin kebebasan beribadah umat Islam dan pendirian masjid di Kabupaten Tolikara. Semoga ke depan umat beragama tidak mudah diperalat, diprovokasi dan diadu-domba.


Spoiler for Begini Cara Papua Berdamai:



Mari Kita Pelihara Kerukunan di Indonesia
0
2.7K
15
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.