- Beranda
- Berita dan Politik
Mengapa Manajemen Blusukan Menjadi Populer tapi Disambut Sinis?
...
TS
kisaran86
Mengapa Manajemen Blusukan Menjadi Populer tapi Disambut Sinis?
Ditulis oleh Rhenald Kasali
Terinsipirasi oleh berita-berita mengenai Jokowi, setahun
belakangan ini banyak CEO, yang memberi instruksi agar para
manager tidak asyik memimpin dari balik mejanya saja. Istilah
blusukan seperti merasuk ke semua lini corporate leadership.
Tetapi mengapa di panggung politik jadi gunjingan negatif?
Seorang pengusaha retail dan properti malah membawa isu
blusukan dan rapat pimpinan nasionalnya. Dengan blusukan, ia
mengaku mendapatkan banyak insight mengenai hambatan-hambatan
di lini bawah.
Di dunia internasional, dua tahun lalu, CEO Randall House, Ron
Hunter, dalam presidential letter-nya mengutip anjuran Tom
Peter yang bukunya menjadi New York Times Best Seller, In
Search of Excellence. Di situ Tom Peter memperkenalkan istilah
MWBA: Management by Walking Around. Apalagi bahasa
Indonesianya ya, kalau bukan blusukan?
Karena itu pulalah, salah satu program TV dari CBS yang sangat
menyentuh diberi judul "Undercover Boss". Persis seperti
Jokowi atau Ahok yang menegur kepala-kepala daerahnya, di situ
ditunjukkan keberpihakan para bos terhadap "rakyat kecil" yang
telah bekerja keras untuk perusahaan.
Program TV "Undercover Boss" belakangan juga ditiru di banyak
negara, menggambarkan bagaimana para CEO turun sendiri ke
bawah. Di CBS sendiri sudah dibuat lebih dari 60 episode
(ratingnya 5,6-6,5/ 10) mulai dari bidang pengolahan sampah,
hamburger, sampai American Online (AOL).
"Going undercover gives you the chance to really connect with
your worker", ujar CEO AOL.
Soeharto, Sumarlin dan Gus Dur
Dulu, di eranya, Pak Harto juga sesekali melakukan blusukan.
Karena hanya ada TVRI, maka "turba" (istilahnya waktu itu,
turun ke bawah) tidak banyak diikuti wartawan.
Dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (Gramedia, Pustaka
Utama, 2011) misalnya, bisa dibaca kisah blusukannya mengatasi
penyakit kelaparan (HO) di Gunung Kidul (1972). Pada masa itu
pejabat-pejabat tinggi terbiasa membuat laporan ABS (Asal
Bapak Senang). "Tak ada HO, yang ada hanya KKM,
Kemungkinan Kurang Makan," begitulah laporan pejabat.
Tetapi kisah blusukan paling menarik kala itu dilakukan secara
undercover oleh Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur
Negara, Prof Sumarlin. Berpeci hitam seperti PNS golongan 1 A,
Sumarlin menyamar sebagai Ahmad Sidik di depan konter
pembayaran RSCM.
Dari blusukan itulah terungkap betapa kejinya perlakuan
petugas Kantor Bendahara Negara terhadap pegawai rendahan.
Untuk mencairkan gajinya yang sudah rendah, mereka dikenakan
pungli (bisa dibaca dalam buku JB Sumarlin: Cabe Rawit yang
Lahir Di Sawah, Penerbit Kompas, 2013).
Berkat metode itulah, para pemimpin mampu membaca
persoalan-persoalan masyarakat,. Maklum, kalau tak turun ke
bawah, keputusan hanya dibentuk oleh informasi orang-orang
kuat yang akhirnya justru bisa merugikan masyarakat. Maka saya
tak heran kalau banyak politisi yang mengejek cara yang
ditempuh Jokowi belakangan ini.
Tetapi, kisah blusukan yang paling ramai dibicarakan justru
ada di era Gus Dur. Dalam 20 bulan pemerintahannya
(1999-2001), Gus Dur blusukan keluar negeri sebanyak 80 kali.
Mengapa ke luar negeri?
Ceritanya begini. Tak lama setelah beralih menjadi negeri
demokrasi, Indonesia tak luput dari ancaman perpecahan,
separatisme. Apalagi Timor Leste baru saja merdeka, dan Aceh
serta Papua terancam melepaskan diri.
Kepada saya, mendiang Gus Dur menegaskan blusukannya itu
dilakukan untuk mencegah dukungan asing pada separatisme di
Indonesia.
Jadi meski dikritik habis-habisan, saya kira kita patut
bersyukur NKRI aman di tangan pemimpin yang bekerja keras dan
teguh menjaga kerukunan dan kebhinekaan. Dan harap maklum,
blusukan bisa dilakukan dalam banyak bentuk. Bisa penyamaran
maupun terbuka, dengan maupun tanpa pers.
Namun blusukan tidak dapat diwakilkan, karena pemimpin butuh
first hand information. Blusukan juga harus dilakukan secara
spontan, agar keadaan lapangan tidak direkayasa oleh bawahan.
Memang dalam beberapa hal terjadi kompromi, seperti kunjungan
Gus Dur ke luar negeri, mau tak mau harus dipersiapkan
protokolernya.
Kritik dan Perbaikan
Sayang sekali, belakangan ini istilah blusukan seperti jadi
bahan cemoohan dalam debat publik karena kepentingan politik.
Saya sendiri tetap berpikir, siapapun presidennya, mereka
harus rajin turun ke bawah kalau benar-benar berpihak pada
rakyat dan pegawai-pegawai kecil.
Tidak fair kalau pemimpin hanya blusukan saat kampanye dan
setelah itu hanya memimpin dari Binagraha, lewat pidato yang
gagah, dari depan kamera yang sejuk atau dari jet pribadinya
yang tak pernah kena macet. Indonesia adalah sebuah
archipelago terbesar di dunia dan tak akan pernah habis untuk
dikunjungi.
Bahwa blusukan saja tak bisa memecahkan masalah, itu sudah
pasti. Pemimpin besar tak akan pernah bisa memecahkan
masalahnya sendirian. Ia butuh tim yang solid, yang semuanya
bekerja keras dan mau diperintah. Ia butuh strategi yang mampu
memobilisasi kekuatan besar. Tetapi apalah artinya strategi
besar kalau eksekusinya buruk atau tak sampai ke bawah.
Itulah PR bagi para pemimpin. Jadi pemimpin itu jangan hanya
memelototi harga saham saja, perubahan nilai aset, selisih
kurs, atau inflasi belaka. Rezeki bangsa ini berasal dari lini
bawah, yang kita sebut the bottom line..!
Sumber
Terinsipirasi oleh berita-berita mengenai Jokowi, setahun
belakangan ini banyak CEO, yang memberi instruksi agar para
manager tidak asyik memimpin dari balik mejanya saja. Istilah
blusukan seperti merasuk ke semua lini corporate leadership.
Tetapi mengapa di panggung politik jadi gunjingan negatif?
Seorang pengusaha retail dan properti malah membawa isu
blusukan dan rapat pimpinan nasionalnya. Dengan blusukan, ia
mengaku mendapatkan banyak insight mengenai hambatan-hambatan
di lini bawah.
Di dunia internasional, dua tahun lalu, CEO Randall House, Ron
Hunter, dalam presidential letter-nya mengutip anjuran Tom
Peter yang bukunya menjadi New York Times Best Seller, In
Search of Excellence. Di situ Tom Peter memperkenalkan istilah
MWBA: Management by Walking Around. Apalagi bahasa
Indonesianya ya, kalau bukan blusukan?
Karena itu pulalah, salah satu program TV dari CBS yang sangat
menyentuh diberi judul "Undercover Boss". Persis seperti
Jokowi atau Ahok yang menegur kepala-kepala daerahnya, di situ
ditunjukkan keberpihakan para bos terhadap "rakyat kecil" yang
telah bekerja keras untuk perusahaan.
Program TV "Undercover Boss" belakangan juga ditiru di banyak
negara, menggambarkan bagaimana para CEO turun sendiri ke
bawah. Di CBS sendiri sudah dibuat lebih dari 60 episode
(ratingnya 5,6-6,5/ 10) mulai dari bidang pengolahan sampah,
hamburger, sampai American Online (AOL).
"Going undercover gives you the chance to really connect with
your worker", ujar CEO AOL.
Soeharto, Sumarlin dan Gus Dur
Dulu, di eranya, Pak Harto juga sesekali melakukan blusukan.
Karena hanya ada TVRI, maka "turba" (istilahnya waktu itu,
turun ke bawah) tidak banyak diikuti wartawan.
Dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (Gramedia, Pustaka
Utama, 2011) misalnya, bisa dibaca kisah blusukannya mengatasi
penyakit kelaparan (HO) di Gunung Kidul (1972). Pada masa itu
pejabat-pejabat tinggi terbiasa membuat laporan ABS (Asal
Bapak Senang). "Tak ada HO, yang ada hanya KKM,
Kemungkinan Kurang Makan," begitulah laporan pejabat.
Tetapi kisah blusukan paling menarik kala itu dilakukan secara
undercover oleh Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur
Negara, Prof Sumarlin. Berpeci hitam seperti PNS golongan 1 A,
Sumarlin menyamar sebagai Ahmad Sidik di depan konter
pembayaran RSCM.
Dari blusukan itulah terungkap betapa kejinya perlakuan
petugas Kantor Bendahara Negara terhadap pegawai rendahan.
Untuk mencairkan gajinya yang sudah rendah, mereka dikenakan
pungli (bisa dibaca dalam buku JB Sumarlin: Cabe Rawit yang
Lahir Di Sawah, Penerbit Kompas, 2013).
Berkat metode itulah, para pemimpin mampu membaca
persoalan-persoalan masyarakat,. Maklum, kalau tak turun ke
bawah, keputusan hanya dibentuk oleh informasi orang-orang
kuat yang akhirnya justru bisa merugikan masyarakat. Maka saya
tak heran kalau banyak politisi yang mengejek cara yang
ditempuh Jokowi belakangan ini.
Tetapi, kisah blusukan yang paling ramai dibicarakan justru
ada di era Gus Dur. Dalam 20 bulan pemerintahannya
(1999-2001), Gus Dur blusukan keluar negeri sebanyak 80 kali.
Mengapa ke luar negeri?
Ceritanya begini. Tak lama setelah beralih menjadi negeri
demokrasi, Indonesia tak luput dari ancaman perpecahan,
separatisme. Apalagi Timor Leste baru saja merdeka, dan Aceh
serta Papua terancam melepaskan diri.
Kepada saya, mendiang Gus Dur menegaskan blusukannya itu
dilakukan untuk mencegah dukungan asing pada separatisme di
Indonesia.
Jadi meski dikritik habis-habisan, saya kira kita patut
bersyukur NKRI aman di tangan pemimpin yang bekerja keras dan
teguh menjaga kerukunan dan kebhinekaan. Dan harap maklum,
blusukan bisa dilakukan dalam banyak bentuk. Bisa penyamaran
maupun terbuka, dengan maupun tanpa pers.
Namun blusukan tidak dapat diwakilkan, karena pemimpin butuh
first hand information. Blusukan juga harus dilakukan secara
spontan, agar keadaan lapangan tidak direkayasa oleh bawahan.
Memang dalam beberapa hal terjadi kompromi, seperti kunjungan
Gus Dur ke luar negeri, mau tak mau harus dipersiapkan
protokolernya.
Kritik dan Perbaikan
Sayang sekali, belakangan ini istilah blusukan seperti jadi
bahan cemoohan dalam debat publik karena kepentingan politik.
Saya sendiri tetap berpikir, siapapun presidennya, mereka
harus rajin turun ke bawah kalau benar-benar berpihak pada
rakyat dan pegawai-pegawai kecil.
Tidak fair kalau pemimpin hanya blusukan saat kampanye dan
setelah itu hanya memimpin dari Binagraha, lewat pidato yang
gagah, dari depan kamera yang sejuk atau dari jet pribadinya
yang tak pernah kena macet. Indonesia adalah sebuah
archipelago terbesar di dunia dan tak akan pernah habis untuk
dikunjungi.
Bahwa blusukan saja tak bisa memecahkan masalah, itu sudah
pasti. Pemimpin besar tak akan pernah bisa memecahkan
masalahnya sendirian. Ia butuh tim yang solid, yang semuanya
bekerja keras dan mau diperintah. Ia butuh strategi yang mampu
memobilisasi kekuatan besar. Tetapi apalah artinya strategi
besar kalau eksekusinya buruk atau tak sampai ke bawah.
Itulah PR bagi para pemimpin. Jadi pemimpin itu jangan hanya
memelototi harga saham saja, perubahan nilai aset, selisih
kurs, atau inflasi belaka. Rezeki bangsa ini berasal dari lini
bawah, yang kita sebut the bottom line..!
Sumber
0
1.2K
11
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
691.2KThread•56.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya