zitizen4rAvatar border
TS
zitizen4r
Hari Ini MK Putuskan Gugatan kimpoi Beda Agama. Bisa Rame bila MK Bolehkan!
Hari Ini MK Putuskan Gugatan kimpoi Beda Agama
Kamis, 18/06/2015 08:01 WIB


Hari Ini MK Putuskan Gugatan kimpoi Beda AgamaIlustrasi pernikahan. (Getty Images/Ibrahim Asad)

Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi hari ini, Kamis (18/6), akan memutuskan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian. Seperti dilansir laman resmi MK, mahkamahkonstitusi.go.id, sidang pembacaan putusan bakal digelar pukul 13.30 WIB.

Poin yang disoal dalam UU Perkimpoian tersebut ialah Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “Perkimpoian adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkimpoian tersebut diajukan oleh lima mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada September 2014. Kelima pemohon itu ialah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, serta Luthfi Sahputra.

Berdasarkan ayat dan pasal pada UU Perkimpoian yang mereka gugat, perkimpoian beda agama dinilai tak sah oleh negara. Oleh sebab itu mereka menganggap hal tersebut melanggar hak konstitusional warga negara apabila ada di antara masyarakat yang ingin menikah namun berbeda keyakinan dengan pasangannya.

Para penggugat berpendapat pernikahan beda agama seharusnya pun mendapat pengakuan negara. Sensitifnya isu ini membuat MK meminta pendapat dari sejumlah ahli, ulama, organisasi keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia.

Dalam salah satu sidang, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta MK menolak uji materi tersebut. NU menyatakan muslim tak boleh dinikahkan dengan nonmuslim. Dengan demikian, menurut NU, UU Perkimpoian tak perju diubah karena telah sesuai dengan ajaran agama Islam.

Senada dengan NU, MUI pun meminta MK menolak gugatan kelima mahasiswa tersebut. Dalam UU, menurut MUI, hukum agama juga tak bisa dikesampingkan.

Sementara Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pernikahan beda agama sulit diwujudkan di Indonesia, sebab menurutnya masyarakat RI tergolong religius. Terlebih, kata dia, pernikahan adalah sakral dan prosesinya tak dapat dilepaskan dari nilai-nilai agama.

Lukman mengatakan tiap agama memiliki dasar cara pandang yang berbeda dan sulit disatukan. Itu sebabnya perkimpoian beda agama, menurut dia, tak bisa diterapkan di tanah air.

Sebaliknya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendukung dikabulkannya gugatan perkimpoian agama. Mereka berpandangan, tiap warga berhak untuk menikah, terlepas apakah calon pasangannya segama atau beda agama. Apalagi penduduk Indonesia begitu plural dan menganut beragam agama.
http://www.cnnindonesia.com/nasional...oi-beda-agama/


Polemik pernikahan beda agama
4 Desember 2014


Di Indonesia, pernikahan beda agama masih menjadi polemik yang tidak berkesudahan.

Pernikahan beda agama, yang pernah menjadi polemik tajam, kembali menjadi sorotan ketika sejumlah alumni dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia menggugat sebagian isi Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkimpoian.
Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, MK, terhadap satu pasal yang dianggap multitafsir sehingga merugikan calon mempelai pernikahan beda agama, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan.

Para pemohon mempermasalahkan pasal yang berbunyi: "Perkimpoian adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu."

"Pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, karena tidak jelas pihak yang diberikan kewenangan untuk menafsirkan hukum agama atau kepercayaan mana yang berlaku dalam perkimpoian," kata Damian Agata, salah-seorang pemohon.

Dalam sidang lanjutan, Kamis 4 Desember, syarat sah pernikahan berdasarkan hukum agama menghadapkan sejumlah saksi ahli yang diajukan para pemohon.

Saksi ahli rohaniawan Frans Magnis Suseno mengatakan bukan tugas negara memaksakan warga negara melakukan perkimpoian menurut salah-satu aturan agama, walaupun negara dibutuhkan dalam mengatur perkimpoian sesuai agamanya masing-masing.

"Karena di dalam negara Pancasila, negara tidak mengatur agama, tetapi memberi ruang perlindungan, dorongan."
"Tetapi bagaimana kehidupan agama dijalankan, harus diputuskan masing-masing warga negara sesuai agama dan keyakinan religiusnya," kata Frans Magnis, yang juga dosen filsafat.

Itulah sebabnya, menurutnya, perlu ada kemungkinan orang menikah sah di depan negara, meskipun tidak mengikuti aturan salah-satu agama.


Sejumlah saksi ahli mengatakan, isi sebuah pasal dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkimpoian menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan kepastian hukum

Tidak memberikan kepastian hukum

Sayangnya, lanjutnya, hal ini dibiarkan negara dan tidak memberikan kepastian hukum kepada "orang-orang yang berbeda agama jatuh cinta dan ingin melangsungkan perkimpoian."

"Dalam perspektif hak asasi manusia, kondisi ini sangatlah diskriminatif dan penyebab kekerasan terhadap perempuan," sambungnya.
'Malah tidak karuan'

Menurut pemohon, pengaturan pernikahan seperti tercantum dalam pasal 2 ayat 1 akan berimplikasi pada tidak sahnya pernikahan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

"Yang hendak kami ajukan di sini adalah, kami menginginkan supaya hak itu, hukum agama mana yang mau digunakan, itu berada pada masing-masing calon mempelai," kata Damian Agata, salah-seorang pemohon, kepada BBC Indonesia.

Permintaan ini dipertanyakan oleh anggota Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia, MUI, Neng Djubaedah, yang juga staf pengajar hukum Islam di Fakultas Hukum, UI.

Dia mengatakan permintaan perubahan isi pasal 2 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkimpoian, tidak memiliki alasan hukum yang kuat.


Penolakan negara terhadap pernikahan antar agama membuat sejumlah calon mempelai pernikahan beda agama melakukan "penyiasatan".

"Mereka maunya dipahami secara pribadi. Pelaksanaan terhadap peraturan itu diserahkan kepada masing-masing mempelai, itu malah menjadi nggak karuan," kata Neng Djubaedah.

"Mau seperti apa nantinya. Padahal masing-masing agama itu ada aturan sendiri," tambahnya.

Menyiasati UU

Bagaimanapun isi pasal Undang-undang Perkimpoian tahun 1974 membuat tidak sedikit calon mempelai pernikahan beda agama melakukan berbagai upaya untuk menyiasatinya.

Hal ini pula yang ditekankan para pemohon yang mengatakan, para calon mempelai pernikahan beda agama 'telah beradaptasi secara negatif' untuk dapat menghindari keberlakukan pasal tersebut yaitu dengan melakukan 'penyelundupan hukum'.

Sementara, saksi ahli Kunthi Tridewiyanti dari Komnas Perempuan, mengatakan isi pasal tersebut menunjukkan ketidakjelasan posisi negara dalam masalah bisa atau sah atau tidaknya penikahan beda agama.

"Sekalipun tidak ada pelarangan eksplisit terhadap pihak-pihak untuk melakukan perkimpoian agama, namun interpretasi agama bagi pelaksana hukum sedemikian kuat untuk menghalangi perkimpoian antar agama," kata Kunthi.

Menurutnya, materi pasal itu seolah-olah tidak ada permasalahan secara teks, akan tetapi di dalam situasi Indonesia yang menggambarkan pluralisme masyarakat dan hukum, maka kemungkinan adanya multi tafsir sangatlah besar.

"Maka kemungkinan pelaksanaan itu sangat tergantung kepada individu, kelompok, terutam aparat dan petugas," katanya.

Mereka intinya menganggap tidak mungkin melakukan pernikahan beda agama jika berpatokan pada aturan tersebut.

AW -yang beragama Islam dan telah menikahi perempuan beragama Kristen- mengatakan sejak di tingkat kelurahan rencananya untuk melakukan pernikahan beda agama sudah terhalang oleh tembok.

"Loh, Anda nggak bisa nikah, Anda harus pindah agama," kata AW menirukan ucapan pegawai kelurahan. Hal ini terus dihadapinya di jenjang birokrasi di atasnya.

Menghadapi penolakan negara melalui aparatnya, pria asal Surabaya kemudian harus "menyiasati" dengan "mengurus proses perpindahan agama".

"Biar secara hukum sah... Padahal, keyakinan (saya) tetap agama sebelumnya (Islam)," katanya.

Sejauh ini Majelis Agama Tingkat Pusat, MATP, yang membawahi Majelis Ulama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu sepakat memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing agama untuk membuat ketentuan perkimpoian sesuai ajaran agamanya, termasuk ketentuan perkimpoian beda agama.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...han_beda_agama


Hukum Nikah Beda Agama Islam

Pertanyaan: Ada seorang laki-laki Muslim berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga hamil sekian bulan, lalu ia ingin bertanggung jawab dengan menikahinya dengan kondisi berikut. Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah digereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara Islam, kemudian catatan sipil (negara) dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan secara Islam tanpa catatan. Kemudian keduanya setelah itu hidup berkeluarga dalam keadaan berbeda agama.

Jawaban:
Wa 'alaikumus-salam wr. wb. Saudara hamba Allah dari Jawa Tengah yang baik, berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara:
1. Hukum nikah beda agama menurut syariat Islam itu sudah kami terangkan beberapa kali dalam rubrik Tanya Jawab Agama ini, bahkan telah pula menjadi keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur. Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya).

Dalilnya firman Allah:
Artinya "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka. sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."( A\-Baqarah {2]: 221)

Yang diperselisihkan para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)?

Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak boleh, Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain:
  • Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi saw. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan babwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
  • Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
  • Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.
  • Sebagai upaya syadz-adz-dzari'ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suamilistri dan anak-anak yang akan dilahirkan.Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boieh menikahi wanita Ahlui Kitab menurut sebagian ulama, sebagaimana kami katakan, namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak menganjurkan perkimpoian tersebut karena syarat wanita Ahlul Kitab yang disebut dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkimpoian tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan, yang artinya wanita Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina.

Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:
Artinya Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. bila kamu telah membayar mas kimpoi mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapusfah amalannya dan la di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."( Al-Maidah [5j: 5) Dan perlu diketahui, negara kita tidak mengakui perkimpoian beda agama, karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkimpoian pasal 2 ayat 1 menyatakan: "Perkimpoian adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." ini artinya, negara kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkimpoian beda agama (meskipun pengantin laki-laki beragama Islam).

Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara, perkimpoian tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkimpoian tersebut di Catatan Sipil sebagaimana penduduk non muslim lainnya mencatatkan perkimpoian mereka disana.Perlu ditekankan di sini, pihak laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak merasa terpojokkan sehingga "HARUS" menikahi wanita Katolik itu sebagaimana yang saudara katakan.

Perzinaan itu bisa saja terjadi karena atas dasar suka sama suka sehingga menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian, upaya agar menikahkan mereka berdua dengan cara Islami, yaitu masuk Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus terus dilakukan semaksimal mungkin.

2. Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kami jelaskan sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menikah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan lahir di luar perkimpoian yang sah. Dan perzinaan itu tidak menimbulkan dampak menetapan nasab anak tersebut (kepada laki-laki yang berzina dengan ibunya), menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dikurniakan oleh Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi, mendidik,menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan. Dalil yang mendasari hal tersebut adalah Hadits berikut:

Artinya "Rasulullah saw bersabda: "Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)"."(al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkimpoian sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur (maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam. Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHl) pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir di luar perkimpoian hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya".

Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk Islam, maka jika anak tersebut lahir setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu, laki-laki Muslim tersebut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang Sah. Namun jika anak hasil zina tersebut lahir sebelum enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Dan laki-laki Muslim tersebut tetap bretanggung jawab terhadap nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. TApi daris egi perwalian dan pewarisan, laki-laki musluim tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris mewarisi dengannya. Ini menurut ulama fiqih.

Namun perlu diketengahkan disini bahwa menurut KHI, anak hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut dapat dinasabkan kepada si laki-laki muslim di atas karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah:a Anak dilahirkan dalam atau akibat perkawonan yang sah.b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Besar kemungkinan KHI menetapkan demikian demi kemaslahatan tersebut.

3. Mengenai tindakan orang tua laki-laki Musli di atas sebaiknya tetap berusaha untuk menikahkan keduanya secara Islam, yaitu KUA.

4. Mengenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta perkimpoian jika proses perkimpoian seperti yang dikehenadaki keluarga katolik itu terjadi, saudara boleh menghadiri bila diundang.
Wallahu a’alam bi showab.
http://www.muhammadiyah.or.id/14-con...b-alislam.html

--------------------------------

Setiap agama pasti punya wilayah kekuasaan untuk mengatur praktek syariat bagi para pemeluknya masing-masing. Apabila ada pemeluknya melakukan pelanggaran dari prinsip-prinsip syariat dari keyakinan agama yang dianutnya, tentu ada sanksi bagi manusia pemeluk agama ybs. Negara tak banyak bisa berbuat, kecuali bila aturan agama ybs sudah diundangkan secara resmi menjadi produk hukum formal di negara ybs.

emoticon-I Love Indonesia (S)
Diubah oleh zitizen4r 18-06-2015 03:17
0
11.2K
161
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.