Jika Warung Makan Harus Buka Utk Menghormati Yg Tak Puasa, Siapa Yg Tanggung Ruginya?
TS
anehkan
Jika Warung Makan Harus Buka Utk Menghormati Yg Tak Puasa, Siapa Yg Tanggung Ruginya?
Salam gan, biasanya di kaskus tiap menjelang awal ramadhan pasti rame debat kusir mengenai warung makanan yang buka saat orang menjalankan ibadah puasa. bahkan sampai menteri agama pun komentar warung yang boleh buka untuk menghormati yang tidak puasa.
nah tulisan dari teman ane ini mau mengulas masalah warung yang jual makanan disaat siang dari sudut lain yang sama sekali baru.
Spoiler for ini dia essay-nya:
JIKA WARUNG HARUS BUKA UNTUK MENGHORMATI YANG TIDAK BERPUASA, SIAPAKAH YANG MENANGGUNG KERUGIANNYA?
Sebagai Muslim, gue tidak masalah berpuasa di lingkungan yang tidak berpuasa. Gue sudah pernah berpuasa di Thailand, di Singapore, dsb, tidak masalah. Tapi gue nggak suka dengan lontaran-lontaran yang terkesan menggiring opini seolah-olah selama ini warung tutup karena dipaksa menghormati yang berpuasa.
Warung tutup karena masalah sederhana: HUKUM PASAR. Selama bulan Ramadhan, memang jarang yang makan siang. Kalau warung buka, maka mereka akan rugi, karena tidak laku, sedangkan bahan makanan adalah bahan yang mudah busuk.
Itulah sebabnya selama Ramadhan, warung merubah jadwal. Yang asalnya berjualan siang, mengganti jadwal menjadi fokus berjualan di jam-jam sahur dan buka puasa.
Selain itu, banyak warung yang merubah fokus. Yang tadinya berjualan nasi full, menjadi fokus berjualan lauk-pauk untuk dibawa pulang. Tidak percaya? Silakan lihat di pasar Benhil (Bendungan Hilir), yang dari jam 5 sore sudah ramai berjualan tazil dan lauk yang enak-enak untuk dibawa pulang oleh orang-orang yang berpuasa.
Dan, bulan Ramadhan ini tidak merugikan bisnis makanan, justru meningkatkan omset mereka, karena orang-orang cenderung lebih konsumtif menjelang jam-jam buka. Lihat saja nanti di pasar Benhil jam 5 sore kalau sudah bulan Ramadhan.
Demikian juga dengan food court yang selalu ramai karena di -booking untuk acara buka bersama.
Gue pernah jadi anak kost, pernah makan di warteg, pernah mengobrol dengan pemiliknya.
Gue pun pernah tidak berpuasa karena sakit, pernah kesulitan mencari makan, dan memang benar, warung-warung pada tutup karena takut rugi, karena jarang ada orang yang makan. "Ah, buka juga percuma, jarang yang makan. Nanti malah rugi karena tidak laku."
Jadi,, tutupnya warung-warung selama bulan Ramadhan semata-mata karena hukum demand-supply.
Selama ini pun tidak masalah, sudah biasa seperti itu. Itu semua bagian dari dinamika pasar. Kenapa tiba-tiba jadi masalah? Kenapa tiba-tiba menjadi isue mayoritas vs minoritas? Kenapa tiba-tiba jadi isue menghormati yang tidak berpuasa?
Selama gue puasa, gue tidak pernah memaksa-maksa orang yang tidak berpuasa untuk ikut berpuasa juga. Apakah itu kurang cukup menghormati?
Kita punya masalah yang lebih besar daripada sekedar membuka warung selama bulan Ramadhan. Contoh paling sederhana: harga-harga yang terus meningkat, Rupiah yang semakin terpuruk, dan angka pengangguran yang semakin meningkat.
Jika warung harus buka demi menghormati yang tidak berpuasa, apakah para "pluralis" (pluralis tanda kutip) tersebut bersedia menanggung kerugiannya?
Diubah oleh anehkan 11-06-2015 21:30
mudokons memberi reputasi
-1
31.7K
Kutip
454
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!