Jam menunjukkan pukul empat sore saat gua tiba didepan Rumah Sakit Pondok Indah, gua mengeluarkan dompet dan membayar si tukang ojek yang telah mengantar gua. Baru berjalan beberapa langkah, ponsel gua bergetar, layarnya menampilkan nama Irwan.
“Hallo.. Asslamualaikum..” Suara Irwan menyapa gua.
“Walaikumsalam.. kenapa wan?” gua menjawab salamnya kemudian bertanya.
“Lagi dimana lu?”
“Di rumah sakit?”
“Hah, siapa yang sakit?”
“Nggak.. pengen ngelongokin si Arga aja..”
“Hah? Arga? Emang belum pulang dari rumah sakit, doi?” Irwan bertanya heran.
“Udah, sekarang lagi terapi, ada apaan sih wan..?”
“Oh, nggak.. kirain lu ada dirumah, gua mau maen..”
“Yaudah nanti deh agak maleman ya..”
“Nggak.. nggak usah, ntar lu jadi buru-buru, santai aja, gua cuma pengen maen aja, besok besok masih bisa kok.. sama sekalian pengen ngajak lu ke Gede*” (*Maksudnya Gunung Gede Pangrango).
“Kapan?” Gua bertanya.
“Minggu depan.. bisa kan lu? Bosen sabtu minggu dirumah mulu..”
“Kenapa ke gede?”
“Abis mau yang jauhan, waktunya kagak ada cuy…”
“Yaudah deh oke, nanti gua kabarin lagi..”
“Oke..”
Gua lalu mengakhiri pembicaraan dan memasukkan kembali ponsel kedalam saku. Sambil berjalan ke arah samping rumah sakit dimana berjajar mobil mobil yang terparkir disisi jalan, mungkin kehabisan area parkir didalam rumah sakit. Gua masuk melalui pintu samping, kemudian masuk ke area rumah sakit melalui sebelah instalasi gawat darurat. Bau khas obat dan alkohol langsung menyengat hidung, sambil menyesuaikan diri dengan bau dan aroma ini, gua sesekali menutupi hidung dengan ujung leher kaos gua. Sementara kaki gua terus melangkah menuju meja resepsionis yang berada di depan.
Detik berikutnya, gua sudah berada tepat didepan meja setengah lingkaran, dimana dua karyawati yang berpakaian seperti suster (atau memang dia suster yang merangkap jadi resepsionis, entahlah); “Mbak.. mau Tanya, kalau ruang terapi dimana ya?” Gua mengajukan pertanyaan kepada salah seorang karyawati tersebut.
Lalu wanita itu tersenyum sebentar dan berkata; “Terapi apa mas?”
“Oh.. terapi patah tulang, mbak..” gua menjawab.
“Kalo patah tulang ada di gedung C, mas.. sebelah sana” wanita itu memberi petunjuk arah sambil menjelaskan. Gua lalu mengikuti arahan wanita itu, hingga akhirnya gua sampai di gedung C, sebuah gedung yang terlihat lebih baru daripada gedung utama dihadapannya. Sampai disana gua masih harus bertanya lagi kepada resepsionis lain yang berjaga di depan. Resepsionis itu lalu menunjuk ke arah elevator dan menyebut ‘lantai 2’. Gua mengangguk, menebar senyum dan melangkah menuju elevator tersebut.
Keluar dari elevator, gua mendapati sebuah lobi dengan furniture cokelat tua, khas warna alami kayu. Dengan sebuah meja yang membentuk sabit menghadap ke arah pintu elevator. Kanan- kirinya terdapat lorong panjang dengan beberapa pintu berwarna cokelat dan sisi tembok berjendela besar dengan list yang juga berarna cokelat, sementara bangku berderet tersedia dihampir setiap sisi terluar jendela. Gua berjalan pelan menghampiri sosok pria yang tengah duduk dibalik meja berbentuk sabit tersebut, pria tersebut menghentikan aktivitasnya dan memandang ke gua, berdiri dan menyunggingkan senyum; “Selamat sore bapak, ada yang bisa saya bantu?”
Ah, pelayanan-nya sungguh prima, yang mana pelayanan seperti ini nggak mungkin gua bisa dapatkan dari rumah sakit-rumah sakit negeri diseluruh Indonesia. Gua jadi ingat dulu waktu Helmi, abang gua, pernah kena usus buntu dan harus dioperasi di Rumah Sakit Fatmawati, dimana waktu kita baru datang aja langsung disambut dengan ‘ke-judesan’ resepsionis-nya bahkan sampai ke suster-susternya. Begitu tau kalau kita bisa membayar nominal yang disebutkan untuk pengadaan kamar, barulah si respsionis tersebut mengumbar senyum, senyum-nya pun terlihat dibuat-buat dan nggak tulus; “Silahkan bapak, lewat sini..” Kata resepsionis dari rumah sakit Fatmawati itu. Jelas ini berbanding terbalik dengan rumah sakit dimana gua berada saat ini, di rumah sakit ini; mereka, para staff, suster dan dokternya mendapat gaji yang ‘cukup’, sehingga beban hidupnya nggak terlalu berat, hingga mampu memberikan pelayanan paling maksimal untuk para pasiennya, ya memang hal ini harus ditebus dengan harga konsultasi yang juga ikutan mahal, istilah ekonominya; ‘Ada harga, ada barang’
“Emm.. saya mau ngunjungi teman saya yang lagi terapi mas..” Gua menjawab pertanyaan pria tadi.
“Oh, sebentar pak..” Pria itu lalu kembali duduk, dan menghadapi layar monitornya.
“Namanya siapa bapak, pasiennya?” Pria itu kembali menambahkan, yang lalu gua jawab dengan menyebut nama Arga. Selanjutnya si pria tadi memberitahu gua nama ruangan tempat terapi si Arga sambil berdiri dan menunjuk ke arah salah satu lorong disebelah kanannya. Gua mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan menuju lorong yang dia maksud.
Gua menyusuri sebuah lorong beralas karpet berwarna kelabu dengan jendela sebelah kanan yang menampilkan pemandangan langit sore berwarna jingga diluar, sementara disebelah kiri gua berderet, terdapat tembok ruangan dengan pintu pintu berwarna cokelat yang disisi luarnya bertuliskan nama dan nomor ruangan. Hingga hampir penghabisan lorong yang kemudian berbelok ke kiri gua mendapati ruangan dengan nomor dan nama sesuai yang diinformasikan pria di meja resepsionis tadi. Gua mengintip melalui jendela bertirai disebelahnya, dari sela-sela tirai gua dapat melihat pemandangan didalam, ruangan terapi ini cukup luas, ukurannya sekitar 6 x 6 meter persegi, beralas karpet yang sama dengan yang berada di lorong tempat gua berdiri saat ini, sementara dindingnya berhias wallpaper cokelat muda dengan ornamen bunga-bunga kecil yang dipadukan dengan warna light cream. Ditengah ruangan terdapat beberapa unit treadmill dan semacam besi pegangan setinggi pinggang yang membujur hampir sepanjang ukuran ruangan. Sosok yang gua kenali sebagai Arga tengah berdiri diantara dua besi memanjang itu, bertumpu kepada kedua tangannya. Kaki kanannya masih terlihat mengambang sedikit di udara, sementara kaki kirinya terlihat menapak dengan normal, begitu kaki kanannya menapak, terlihat si Arga sedikit meringis kesakitan. Disebelahnya, Sofia tengah memegangi lengan kanannya, sesekali nampak Sofia menepuk bahu si Arga dan seperti memberikan semangat kepadanya, disebelah kirinya seorang wanita berpakaian serba putih tengah memantau pergerakan Arga sembari sesekali mencatat pada lembaran kertas yang dipegangnya. Disudut ruangan lain terlihat beberapa orang yang juga tengah melakukan terapi penyembuhan tulang, namun treatment yang didapat tiap pasien sepertinya berbeda.
Gua masih berdiri mengintip melalui jendela, sementara tangan kiri gua menggenggam pegangan pintu bersiap untuk membukanya, namun gua masih berada dalam keraguan. Apakah ini perlu?
Gua duduk disalah satu kursi yang disusun berjejer didepan ruangan, memandang ke arah jendela menampilkan biasan sinar matahari jingga yang perlahan mulai menghilang, kemudian berganti menjadi gelap, disambut sorotan cahaya berwarna putih bergantian menyala, menerangi bangunan-bangunan disekitarnya. Gua masih terduduk, gua menoleh dan kembali mengintip kedalam, Sofia tengah membantu Arga memberinya minum, sesekali dia menyeka air minum yang menetes dari bibir si Arga dengan tissue. Dan dari gesture-nya, sepertinya Sofia tak henti-hentinya memberikan semangat kepada Arga, sementara si Arga? Sudah bisa ditebak, doi pasang tampang sumringah penuh kemenangan dan gua nggak suka akan hal itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala gua lalu berdiri dan hendak membuka pintu, tapi sekali lagi gua urungkan. Gua nggak mau nanti Sofia malah berfikir kalau gua nggak mempercayainya, akhirnya gua memutuskan untuk pulang.
Gua pun pulang!
Gua menyusuri kembali lorong dimana tadi gua datang, sosok pria resepsionis yang tadi menyambut gua, berdiri dan mengembangkan senyumnya; "Malam pak..". Gua nggak menggubrisnya, hanya melengos dan menghadap ke pintu elevator sambil menekan tombolnya berkali kali. Begitu pintu elevator terbuka, gua buru buru masuk kedalam dan dengan brutal menekan tombol nya lagi. Gua hanya ingin buru buru pergi dari sini dan begitu menyesali keputusan untuk akhirnya menyusul kesini.
Beberapa menit kemudian gua sudah berada di tepian jalan raya pondok indah, berdiri dibawah halte kecil diantara banyak orang yang juga tengah menunggu angkutan umum. Hujan mulai turun, membuat cuaca semakin dingin, sementara lalu lintas sabtu malam di jakarta semakin parah ketika ditambah hujan. Beberapa pengendara motor tiba tiba menghentikan kendaraannya lalu berjubel dibawah naungan halte, berteduh dari hujan yang turun semakin deras. Motor motor yang terparkir di pinggir jalan, sementara penunggangnya yang primitif tengah berteduh membuat jalan semakin macet, karena ruasnya 'termakan' oleh motor yang parkir. Kenapa gua sebut primitif? Karena para pengendara ini belum mengenal teknologi terkini bernama 'raincoat' yang bisa digunakan untuk melindungi tubuh saat berkendara dalam hujan. Dulu manusia gua berteduh dalam gua saat hujan, karena teknologi bernama payung atau raincoat belum ditemukan. Tapi, jaman sekarang? Ya pantaslah disebut primitif.
Posisi gua yang sebelumnya berada di tengah bagian halte, semakin lama semakin tergeser oleh pengemudi pengemudi motor 'primitif' tadi, hingga ke bagian terluar halte yang berbatasan dengan jalan raya. Beberapa kali gua bahkan terkena tetesan air hujan dari ujung kanopi halte. Dan gua nggak bisa berbuat banyak, hanya bisa berdecak sambil sesekali melenguh, berharap angkutan yang gua tunggu cepat cepat datang. Nggak berselang lama, sebuah sedan hatchback berwarna merah menghentikan langkahnya didepan halte, kaca depan sebelah kirinya lalu terbuka. Wajah Sofia menyembul dari kegelapan ruang kemudi; "Ndra.. Ngapain?"
Gua berlagak nggak mendengar bahkan berpura pura nggak melihatnya, hingga Sofia memanggil gua untuk kedua kalinya; "Rendra..."
Dan seorang wanita yang berdiri tepat disebelah gua, menepuk pundak gua dan berkata; "Mas, dipanggil tuh.."
Gua akhirnya menoleh dan berlagak terkejut. Sementara mobil didepan Sofia mulai bergerak maju dari kemacetan dan barisan mobil dibelakangnya mulai menekan klakson bertubi tubi. Sofia sesekali menoleh kebelakang dan masih berusaha meneriakkan nama gua.
Akhirnya gua berlari menembus hujan dan masuk kedalam bangku penumpang mobil Sofia.
"Kamu darimana?" Sofia bertanya, terlihat wajahnya begitu keheranan.
"Dari kebayoran" gua menjawab, berbohong. Sementara Sofia mengernyitkan dahinya, tangan kirinya berusaha membersihkan butiran tetesan air pada kaus di bahu dan kepala gua.
"Dari kebayoran?"
"Iya.."
"Mau ke?"
"Pulang"
"Kok lewat sini..?" Sofia kembali bertanya dan saat ini wajahnya berubah dari keheranan menjadi kecurigaan.
"Iya lagi pengen aja.." Gua menjawab asal.
Sofia kembali mengernyitkan dahinya, lalu berubah menyunggingkan senyum.
"Jemput aku yaa?"
"Nggaaak..idiih..pede banget"
"Beneer?"
Gua nggak menjawab, terdiam sambil memalingkan wajah memandang ke arah luar jendela. "Ndra.... "
"Ya.."
"Madep sini dong, aku kan lagi ngomong.." Sofia berbicara sambil menarik bahu gua agar menghadap ke arahnya.
"Kenapa?" Gua bertanya kepadanya.
"Jujur deh sama aku.."
Gua terdiam cukup lama, kemudian mulai menjawab; "Iya.. Aku jemput kamu.."
Sofia meresponnya dengan tertawa kemudian berkata; "See? Kamu tuh nggak jago bohong ndraa.."
"Aku nyusul kedalem dan liat kamu sama Arga juga"
Sofia lalu menghentikan tawa-nya. Ekspresinya berubah serius. Saat itu kami sudah memasuki komplek perumahan pondok indah yang mengarah ke pondok pinang, kondisi jalan cukup sepi, Sofia lalu menepikan mobil dan mematikan mesin. "Kamu.. Kamu nyusulin aku?"
Gua mengangguk pelan.
"Kamu nggak percaya sama aku, ndra?" Sofia menambahkan, sambil menggelengkan kepala kemudian menundukkan wajah diatas kemudi.
"Sorry, fia.. Sorry.."
"Ndra.. Wanita itu seperti pasir..., saat kamu menggenggamnya terlalu erat maka nggak akan ada yang tersisa.."
Gua menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, menyesali keputusan gua untuk menyusul Sofia.
"Kalo kamu nggak percaya sama aku, kenapa kamu kasih ijin aku nemenin Arga?"
Gua masih terdiam.
"Apa janji aku nggak cukup buat meyakinkan kamu, ndra?"
Gua tetap terdiam.
"Ndra.." Sofia meraih dagu dan memalingkan wajah gua kehadapannya. "Jawab aku... Apa janji aku nggak cukup buat meyakinkan kamu?"
"Cukup..kok" gua menjawab lirih.
"Kalo cukup, kenapa kamu nyusulin aku, kesannya nggak percaya sama aku.."
"Yang jadi masalah bukan kamu atau janji yang kamu buat.."
"Trus apa?"
"Arga..