Rasanya punya pacar itu, seperti ada yang melengkapi hiduplu. Ada yang di kiri saat elu dikanan, ada yang mengoreksi saat elu salah dan ada tempat buat mengadu selain Tuhan dan Ibu. Sofia, buat gua nggak hanya sekedar pacar, dia bisa menjadi seorang sahabat, bisa menjelma menjadi sosok seorang kakak dengan nasihatnya bahkan bisa menjadi partner in crime disaat saat dibutuhkan. Kadang sepertinya rasa terima kasih kepada Tuhan saja tidak cukup atas 'Anugrah' yang telah gua terima, sebuah anugrah bernama Sofia. Sayangnya, kebahagiaan gua belumlah cukup, karena sampai saat ini gua belum juga dapet rejeki berupa pekerjaan yang layak. Entah sudah berapa banyak surat penawaran percetakan yang gua sebar dan sampai saat ini belum ada satupun yang 'nyangkut'.
Hingga saat ini, memasukin pertengahan bulan kedua sejak gua dan Sofia resmi berpacaran, baru ada satu respon dari sebuah perusahaan yang ingin membuat sebuah logo, itupun baru sekedar tanya tanya doang.
Drrrd..drrrd...
Ponsel gua bergetar, bergoyang goyang diatas meja.
Gua mengangkatnya, dilayarnya tertera nomor asing. Gua lalu menjawabnya, terdengar suara yang tak asing diujung sana, suara Sofia.
"Halo, selamat pagi, bisa bicara dengan pak Rendra...?"
"Kamu pake nomor siapa, fia?" Gua menjawab.
"Ah nggak asik, kok langsung ketebak.." Sofia terdengar merajuk.
"Ya aku denger suara kamu tiap hari kali, ada apaan kok nggak nelpon pake hape?"
"Hehe.. Kan urusan kerjaan jadi pake telpon kantor, kalo urusan pribadi baru pake hape.."
"Hah, urusan kerjaan? Maksudnya?"
"Ini dikantor lagi ada project bulletin mingguan, kamu mau nggak handling untuk nyetak nya aja, kalo desainnya udah dari kita.."
Nggak pake mikir dua kali, gua langsung menjawab;"Bisa.. Bisa.."
"Berapa banyak?" Gua menambahkan.
"Ya untuk awalnya sih paling cuma 1000 pcs, tapi nanti kalo repeat order bisa lebih.. Mungkin.."
"Oh yaudah.. Aku harus kirim penawaran harga kemana?" Gua bertanya antusisas.
"Ya nanti aku sambungin ke mbak yuta, bagian purchasing ya.. Ntar biar kamu tawar menawar harga sama dia.."
"Oh oke deh.."
Nggak lama suara Sofia berganti dengan sebuah nada lagu, nada khas seperti yang dimiliki dan sering diputar tukang ice cream. Lalu setelah beberapa saat, suara Sofia kembali terdengar; "ndra.. Kamu jangan genit ya.. Awas.."
Kemudian suara nada tunggu kembali menggema, disusul suara perempuan bernada 'medok' khas jawa timur diujung sana. Suara perempuan yang memperkenalkan diri bernama Yuta.
"Halo mas.. Piye? Jadi kena piro?"
"Waduh mbak, kalo sekarang saya belum ngitung.."
"Yowis, diitung dulu, nanti kirim penawaran harganya ke emailku ya.."
"Emailnya apa mbak?" Gua bertanya sambil bersiap mencatat.
"Tanya sama Fia aja deh ya.."
Kemudian telepon ditutup. Gua terdiam, nih orang niat apa nggak sih, kok maen tutup telpon aja, gua membatin dalam hati. Nggak lama berselang, Sofia menghubungi gua melalui ponselnya: "Gimana ndra?"
"Disuru bikin surat penawaran dulu.."
"Yaudah bikin nanti kamu email.. Nih aku sms alamatnya emailnya.."
"Oke..."
"Eh, ndra... Nggak apa apakan kalo aku bantu kamu.."
Gua terdiam, sejatinya sih gua sedikt malu dengan adanya bantuan dari Sofia ini. Tapi, kalau ditolak juga sama aja menolak rejeki, ya akhirnya gua ambil juga kesempatan ini. "Nggaak.. Ga papa kok.."
Kalau kalian percaya mitos, hadirnya Sofia dalam hidup gua ternyata nggak cuma membawa kebahagiaan aja, ada sedikit keberuntungan yang ikut bersamanya. Terbukti setelah gua menerima 'objekan' nyetak bulletin di kantornya, lalu secara berturut-turut beberapa orderan datang menyusul. Tapi, sayang, untuk mitos yang satu ini gua nggak percaya. Kebetulan dan keberuntungan itu buat gua merupakan takdir yang tepat sasaran, bukanlah sebuah mitos, bukan.
Bulan berikutnya order demi order masuk satu persatu. Progress dari usaha 'percetakaan' mandiri ini terhitung 'sukses'. Ya walaupun definisi 'sukses' buat gua bukanlah untung setinggi langit. Sukses buat gua adalah tercapainya impian yang direncanakan. Dan dalam impian gua membangun usaha ini adalah bukan mendapat untung besar, melainkan mencari pelanggan. Bokap pernah bilang begini ke gua; "Yang namanya usaha, rugi itu biasa. Kalau 'untung' baru luar biasa"
Jika pelanggan sudah mendapat kepercayaan kita, maka keuntungan bakal datang dengan sendirinya, asal terus mengedepankan kualitas dan pelayanan yang prima. Apalagi yang namanya berkutat dalam usaha desain dan percetakan, dimana kita nggak hanya menjual produk dan jasa, tapi kita juga dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan klien sebaik mungkin, ramah, negotiable dan nggak pandang bulu. Pernah suatu ketika gua mendapat klien yang cerewet-nya minta ampun, request-nya banyak banget, selera nya tinggi, minta proses cepat dan hasil yang maksimal. Tapi, giliran proses pembayaran.. Beuuh.. Sulitnya bukan main, gua sampe harus bikin status di facebook begini; "Benda padat yang sulit mencair adalah Invoice". Tapi, nggak semuanya begitu, ada banyak juga klien yang nggak neko neko, simple dan nggak banyak permintaan, plus pembayarannya lancar jaya.
Lalu.. Gua sudah memiliki Sofia dan kini pekerjaan yang 'layak'. Apakah gua sudah mendapatkan kebahagiaan yang lengkap? Harusnya sih udah, tapi entah kenapa feeling gua selalu merasa insecure terhadap hubungan gua dengan Sofia. Apalagi semenjak Arga sembuh dari cedera patah kakinya, Sofia beberapa kali sempat mengantarkan Arga untuk terapi. Usaha gua untuk mencegah Sofia saling telponan, Sms bahkan bertemu dengan Arga, gagal total, sejak nyokapnya Arga memaksa Sofia untuk menemani Arga selama masa penyembuhan.
"Ya aku harus gimana, ndra.. Mami maksa maksa aku buat nemenin dia.." Sofia memberi penjelasan ke gua suatu hari.
"Mami? Kamu manggil nyokapnya Arga dengan kata mami?" Gua bertanya ke Sofia sambil mundur beberapa langkah dan mengernyitkan dahi.
Sofia lalu berjalan mendekat, menyentuh lengan gua dengan tangannya yang lembut. "Sorry, ndra... Aku kebiasaan.."
Oke, gua memang nggak terima kalau Sofia menemani Arga. Tapi, gua lebih nggak terima lagi kalau Sofia memanggil nyokapnya Arga dengan sebutan 'Mami'. "Kamu aja manggil nyokap aku, tante.."
"Iya ndra, besok kamu mau aku panggil apa ke ibu kamu?"
Gua menggelengkan kepala kemudian menghela nafas. Lalu larut dalam diam ditengah heningnya malam, saat itu kami berada di beranda rumah Sofia.
"Ndraa..." Sofia melangkah lagi, saat ini tubuhnya berada dekat sekali dengan gua, nafasnya terdengar tak beraturan, kepalanya mendongak namun matanya nggak menatap gua, hanya memandang ke bahu kanan gua.
"Trus karena mami-nya arga minta kamu nemenin dia, kamu nerima gitu aja? Trus apa kabar permintaan aku dulu waktu pertama kita jadian?" Gua bicara, memberi penekanan pada kata 'mami-nya'.
"Yaah ndra.. Aku udah terlanjur mau.. Gimanaaa?" Sofia mencoba memberi penjelasan, kaki kanannya dihentakkan ke lantai sementara tangannya mulai menyeka matanya yang berair.
"Seharusnya kamu kan bisa nolak, fia.."
"Iya udah aku salah emang, tapi sekarang aku udah terlanjur janji.. Gimanaaa..."
Gua mengangkat bahu. Entah harus menjawab apa, disatu sisi gua nggak rela Sofia sampai bertemu dengan Arga, disisi lain gua nggak mau Sofia harus mengingkari janji demi gua.
Gua memegang kedua bahunya, lalu mengangkat dagunya ke atas, menatapnya lekat kemudian tersenyum kepadanya "Fia.. Please jangan ampe jatuh hati 'lagi' ke arga ya.." Gua berkata begitu, lalu dibalas dengan senyuman dibalik air matannya yang mulai mengering. "Nggak akan ndra, nggak bakal.. Janji, aku tuh desperate in love with you..". Kami berdua lalu hampir saja berpelukan saat tiba-tiba lampu beranda rumah Sofia padam. Ah, not this sh*t again! Gua menggumam dalam hati, seperti biasa di hari hari sebelumnya, saat gua sedang bersama dengan Sofia diberanda rumahnya atau diruang tamu, layaknya orang 'pacaran'. Disaat jam sudah memasuki masa 'injury time' alias jam sepuluh malam atau saat saat 'krusial' dalam pacaran (if you know what i mean), maka lampu ruangan tempat kami berada langsung "pett", mati. Lebih tepatnya dimatiin oleh si om gondrong, kalau sudah begitu biasanya adalah sebuah kode agar 'pacaran' dihentikan dan gua harus segera pulang. Dan biasanya lagi, nggak lama setelah lampu dimatikan bakal terdengar suara batuk yang dibuat buat dari dalam.
Kami berdua lalu tertawa bersamaan, Sofia mencubit pinggang gua, memberitahu agar gua pamit ke si om gondrong sebelum pulang. Sebuah hal yang paling gua segani saat berkunjung ke rumah Sofia. Gua lalu menyusul Sofia masuk kedalam, papahnya Sofia, si om gondrong terlihat duduk disalah satu sofa kecil di ruang tamu, berada dalam kegelapan. Wajahnya samar, hanya diterangi temaram lampu meja yang berpendar merah. Buat gua, nggak ada yang lebih horor dari ini. Suzana? kuntilanak? Pocong? Gondoruwo? Lewat!
"Om.." Gua menyapa sambil menyunggingkan senyum terbaik, yang lantas dijawab dengan anggukan kepala.
"Mau pamit pulang dulu.." Gua menambahkan, lalu meraih tangan dan menyalaminya.
"Malem om.. Assalamualaikum.."
"Waalaikum salam" jawab om gondrong lirih, mengiringi langkah gua yang berjalan cepat menuju pintu keluar, diiringi Sofia yang sekilas terlihat tersenyum simpul.
Sampai diluar, gua bergidik. Saat hendak mengecup kening Sofia, suara batuk 'buatan' terdengar lagi, membuat gua mengurungkan niat dan menghela nafas; "Aku pulang ya.."
"Iya, ati ati.. Kalo udah sampe rumah kabarin ya.."
Gua mengangguk, memasang helm dan mulai menyalakan mesin motor. Lalu bergegas pergi meninggalkan Sofia yang masih berdiri mematung dari balik pagar rumahnya.
Selama perjalanan pulang kerumah, pikiran gua mulai berkecamuk. Terbesit tanya tentang persetujuan gua perihal Sofia yang diminta nyokapnya Arga untuk menemani terapi anaknya, juga tentang si om gondrong papahnya Sofia yang dingin, ketus dan terlihat garang. Sejatinya, menurut pengakuan Sofia, papahnya memang sekilas terlihat sangar, namun berhati lembut dan menyenangkan. Tapi, apa yang ditunjukan dan yang gua alami sungguh jauh berbeda. Selama ini si om gondrong nggak pernah sekalipun menampakan tampang ramah atau menunjukkan kelembutan hati ke gua, seperti apa yang Sofia katakan. Ini berbanding terbalik dengan nyokapnya Sofia yang humble, 'benar benar' ramah dan menyenangkan. Bokapnya Sofia berasal dari Bandung, beliau adalah pensiunan dari salah satu instansi keuangan yang dulunya punya pangkat cukup tinggi. Sedangkan nyokapnya adalah keturunan jawa, yang sampai sekarang masih bekerja sebagai direktur keuangan salah satu perusahaan BUMN. Sofia sepertinya besar dengan didikan disiplin dari papahnya ditambah DNA kelembutan hati dari mamahnya.
Si om gondrong juga punya standar kelayakan untuk orang yang bakal jadi menantu-nya nanti. Berpendidikan tinggi, punya pekerjaan mumpuni dan tentu saja harus berasal dari silsilah keluarga yang 'jelas'. Kata 'jelas' sendiri gua interprestasikan sebagai kalangan ‘high-end’ dengan orang tua yang juga dikenal baik olehnya. Lalu apakah gua masuk dalam kategori calon menantu layak dimata si Om gondrong? Im working on it.