- Beranda
- The Lounge
[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Melupakan Hukum, Memedulikan Hati Nurani
...
TS
lim888
[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Melupakan Hukum, Memedulikan Hati Nurani
Prof. Satjipto Rahardjo mengawali studi kesarjanaamnya di Fakulas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, ia melanjutkan puncak studinya di program doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro. Prof Tjip telah berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 8 Januari 2009 tetapi buah pemikirannya berupa gagasan Hukum Progresif terus berkembang hingga kini. Untuk memahami paradigma Hukum Progresif yang digagas oleh Prof. Tjip tidak mungkin dilakukan tanpa membaca tulisan-tulisan beliau. Ane akan berbagi tulisan beliau yang pernah dimuat di beberapa surat kabar nasional. Semoga bermanfaat
Quote:
Melupakan Hukum, Memedulikan Hati Nurani
(Ditulis untuk Kompas, 17 Oktober 2003)
Judul artikel ini tidak dimaksud untuk bersifat sarkastis, apalagi fatalistik, tetapi hanya ingin mengajak pembaca menjelajahi dimensi lain dalam usaha pemulihan hukum kita dari keterpurukan dan dari situ mencoba menyusun agenda alternatif bagi pemulihan hukum.
Semakin terasakan, krisis yang kita alami bukan krisis “biasa”, bukan di permukaan yang nanti akan lewat dengan sendirinya. Ia tidak bersifat teknis dan sektoral, tetapi sudah mendasar, mendalam, dan meluas sekali. Krisis juga melanda hukum dan sejak ia bersifat mendalam dan mendasar, maka usaha pemulihannya pun tidak bisa hanya ditujukan kepada struktur formal hukum Indonesia itu sendiri, seperti perundang-undangan, legislasi, peradilan, birokrasi, dan penegakan hukum.
Krisis itu sudah begitu mendasar sehingga untuk memulihkannya kita perlu menyentuh aspek-aspek lain dari masyarakat yang tidak langsung berhubungan dengan dunia hukum. Maka kita pun bicara tentang usaha pemulihan hukum tanpa lewat jalan hukum dan tanpa bicara mengenai hukum.
Suatu pertanyaan kritis
Kendati dikatakan sistem hukum Indonesia termasuk salah satu terburuk di dunia, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hukum masih menjalankan fungsinya yang esensial, yaitu mengatur masyarakat. Polisi masih menjalankan tugasnya, begitu pula para legislator, hakim, advokat, dan lain-lain. Orang tidak merampok begitu saja untuk mendapatkan barang dan perampokan masih tetap diterima sebagai kejahatan yang harus dilawan. Jual-beli juga masih mengindahkan aturan hukum dan orang tidak boleh menyerobot begitu saja. Dan seterusnya dan sebagainya.
Dari kenyataan itu kita belajar, hukum tidak (bekerja) otonom penuh. Ini memunculkan pertanyaan kritis “apakah masyarakat masih berjalan teratur semata karena prestasi hukum?”, “apakah ada kekuatan lain yang bekerja di situ?”
Menemukan substansi
Dalam harian ini pernah ditulis peran perilaku dalam hukum (Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, Kompas, 23/9/2002). Jawaban terhadap pertanyaan kritis itu kemungkinan besar dapat ditemukan dalam perilaku itu. Perilaku substansial itulah yang menyebabkan hukum di Indonesia masih berjalan kendati dikatakan terpuruk, buruk, dan lain-lain. Secara substansial orang tetap menginginkan ketertiban. Itulah penjelasan mengapa hukum tetap dipakai dan dijalankan. Perilaku substansial itu sebetulnya tidak langsung berhubungan dengan kepatuhan hukum. Ia berdiri sendiri.
Lagi-lagi di sini Jepang ingin dijadikan rujukan guna memastikan peran dari perilaku dalam hukum. Bangsa Jepang adalah bangsa yang amat berdisiplin. Meski perilaku generasi Jepang masa kini mengalami perubahan, tetapi tetap saja perilaku disiplin menjadi tetenger (landmark) negeri ini. Kita tidak bisa membuat penilaian mengenai kualitas penyelenggaraan hukum di Jepang dengan mengabaikan peran substansial dari perilaku disiplin itu. Jepang menjadi tertib dan teratur, bukan pertama-tama karena hukum, polisi, dan lain kelengkapan suatu negara hukum, tetapi karena perilaku yang substansial itu.
Lebih luas dari disiplin, Jepang mengunggulkan spiritualisme (Zen, Konfusianisme, dan tradisi Samurai). Dalam hubungan itu Jepang amat memedulikan faktor hati nurani (kokoro, honne). Dalam bahasa Jepang dikenal ungkapan “Anata no kokoro, anata no utsukushisa” (hatimu, kecantikanmu). Besarnya kepedulian Jepang terhadap jiwa dan kejiwaan manusia inilah yang diduga menghasilkan suasana keteraturan yang substansial. Dari pemuliaan terhadap jiwa, nurani, dan hati itu, bangsa Jepang tidak terjebak ke dalam formalisme (baca: hukum). Secara singkat, bangsa Jepang lebih mengunggulkan dan mendengarkan kata hati nuraninya. Maka muncullah pepatah “Denwa o kakeru… kokoro o kakeru” (Putarlah nomor telepon dan putarlah hatimu).
Berkait dengan hal-hal itu maka bangsa Jepang amat memisahkan antara tatemae (yang di luar, hukum positif) dan mengutamakan honne (yang di dalam, hati nurani, spiritisme). Seorang pejabat publik yang terkena perkara biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus proses hukumnya (diselidiki, disidik) baru dimulai. Sanksi moral ternyata bekerja dengan amat efektif. Bangsa Jepang tidak membaca hukum sebagai kaidah perundang-undangan (tatemae), tetapi lebih daripada itu sebagai kaidah moral (honne).
Melupakan hukum
Pada awal artikel dikatakan, krisis hukum kita bukan semata-mata krisis teknis, struktur, atau peraturan, tetapi lebih mendalam dan mendasar dari itu. Karena itu pemulihan dan “pengobatannya pun” harus melewati jalan lebih mendasar atau substansial, yaitu perilaku.
Pada saat kemudian diajukan pertanyaan kritis tentang masih adanya ketertiban sehari-hari, kita mengemukakan, apakah itu disebabkan prestasi hukum? Atau oleh bekerjanya faktor lain? Hal itu kini akan dijawab, perilaku substansilah penyebab ketertiban tetap terjaga. Masyarakat banyak mengeluh dan mengumpat tentang hukum, komunitas internasional pun berkata tentang buruknya sistem hukum Indonesia, tetapi secara garis besar hukum masih dicari orang. Maka kesimpulannya, masyarakat membutuhkan hukum karena tidak ingin terjadi ketidaktertiban lebih besar. Dengan demikian urusan hukum sudah bergeser ke pilihan perilaku.
Kendati hukum masih berjalan, tetapi kita mencatat, yang lebih banyak terjadi adalah orang-orang yang “bermain dengan peraturan dan prosedur”, bukan menjalankan hukum untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Keadaan diperparah korupsi dalam hukum dan hukum sudah dijadikan barang dagangan.
Seorang tokoh publik pernah mengatakan, hukum harus dipisahkan dari moral. Bila kita bicara mengenai hukum, maka hanya hukum yang boleh dibicarakan. Soal moral harus dibuang jauh. Inilah pukulan mematikan. Inilah awal bencana bagi negara hukum Indonesia.
Sebuah agenda alternatif
Berdasar pengamatan dan analisis itu, di sini ingin diajukan saran tentang agenda pemulihan hukum yang bersifat alternatif. Untuk memberi basis yang lebih kuat terhadap agenda alternatif, maka di sini ingin diusulkan agar negara hukum kita menggunakan paradigma ganda. Artinya, negara hukum kita tidak hanya menggunakan “paradigma peraturan”, tetapi juga “paradigma moral”.
Biasanya bila kita berbicara tentang hukum, pemulihan hukum, dan sebagainya, titik api perhatian adalah pada hukum. Dengan kata lain, pemulihan dilakukan melalui hukum.
Dalam agenda alternatif ini kita tidak melakukan cara itu. Pintu masuk (entry point) kita, perilaku substansial bangsa Indonesia. Meminjam kosakata Jepang, kita mengusahakan peningkatan kualitas spiritualitas bangsa kita. Kredo kita bukan lagi membangun hukum, tetapi membangun spiritualisme bangsa. Moral yang diunggulkan di sini antara lain kejujuran, pengendalian diri, menjaga harkat sebagai manusia, rasa malu, mengurangi keakuan (selfishness), dan lebih memberi perhatian terhadap orang lain.
Tulisan ini menaruh harapan besar terhadap kekuatan-kekuatan (dalam) masyarakat yang sudah mulai menggeliat dengan mengorganisir berbagai gerakan. Meski gerakan itu tidak khusus berbicara tentang hukum dan lebih menjamah ranah moral dan spiritualisme, namun secara diam-diam sumbangan mereka terhadap pemulihan hukum sungguh besar.
Gerakan itu yaitu “Gerakan Jalan Lurus”, “Skenario Indonesia 2010″, “Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa”, “Skenario Indonesia Bangkit”, “Gerakan Moral Tokoh Agama”, dan masih banyak lagi (Kompas, 11/8). Selain itu, tak dapat diabaikan peran LSM-LSM yang aktif mengawal kehidupan bangsa. Mudah-mudahan para tokoh dalam berbagai gerakan dan LSM itu sempat membaca dan merenungkan usulan agenda ini
(Ditulis untuk Kompas, 17 Oktober 2003)
Judul artikel ini tidak dimaksud untuk bersifat sarkastis, apalagi fatalistik, tetapi hanya ingin mengajak pembaca menjelajahi dimensi lain dalam usaha pemulihan hukum kita dari keterpurukan dan dari situ mencoba menyusun agenda alternatif bagi pemulihan hukum.
Semakin terasakan, krisis yang kita alami bukan krisis “biasa”, bukan di permukaan yang nanti akan lewat dengan sendirinya. Ia tidak bersifat teknis dan sektoral, tetapi sudah mendasar, mendalam, dan meluas sekali. Krisis juga melanda hukum dan sejak ia bersifat mendalam dan mendasar, maka usaha pemulihannya pun tidak bisa hanya ditujukan kepada struktur formal hukum Indonesia itu sendiri, seperti perundang-undangan, legislasi, peradilan, birokrasi, dan penegakan hukum.
Krisis itu sudah begitu mendasar sehingga untuk memulihkannya kita perlu menyentuh aspek-aspek lain dari masyarakat yang tidak langsung berhubungan dengan dunia hukum. Maka kita pun bicara tentang usaha pemulihan hukum tanpa lewat jalan hukum dan tanpa bicara mengenai hukum.
Suatu pertanyaan kritis
Kendati dikatakan sistem hukum Indonesia termasuk salah satu terburuk di dunia, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hukum masih menjalankan fungsinya yang esensial, yaitu mengatur masyarakat. Polisi masih menjalankan tugasnya, begitu pula para legislator, hakim, advokat, dan lain-lain. Orang tidak merampok begitu saja untuk mendapatkan barang dan perampokan masih tetap diterima sebagai kejahatan yang harus dilawan. Jual-beli juga masih mengindahkan aturan hukum dan orang tidak boleh menyerobot begitu saja. Dan seterusnya dan sebagainya.
Dari kenyataan itu kita belajar, hukum tidak (bekerja) otonom penuh. Ini memunculkan pertanyaan kritis “apakah masyarakat masih berjalan teratur semata karena prestasi hukum?”, “apakah ada kekuatan lain yang bekerja di situ?”
Menemukan substansi
Dalam harian ini pernah ditulis peran perilaku dalam hukum (Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, Kompas, 23/9/2002). Jawaban terhadap pertanyaan kritis itu kemungkinan besar dapat ditemukan dalam perilaku itu. Perilaku substansial itulah yang menyebabkan hukum di Indonesia masih berjalan kendati dikatakan terpuruk, buruk, dan lain-lain. Secara substansial orang tetap menginginkan ketertiban. Itulah penjelasan mengapa hukum tetap dipakai dan dijalankan. Perilaku substansial itu sebetulnya tidak langsung berhubungan dengan kepatuhan hukum. Ia berdiri sendiri.
Lagi-lagi di sini Jepang ingin dijadikan rujukan guna memastikan peran dari perilaku dalam hukum. Bangsa Jepang adalah bangsa yang amat berdisiplin. Meski perilaku generasi Jepang masa kini mengalami perubahan, tetapi tetap saja perilaku disiplin menjadi tetenger (landmark) negeri ini. Kita tidak bisa membuat penilaian mengenai kualitas penyelenggaraan hukum di Jepang dengan mengabaikan peran substansial dari perilaku disiplin itu. Jepang menjadi tertib dan teratur, bukan pertama-tama karena hukum, polisi, dan lain kelengkapan suatu negara hukum, tetapi karena perilaku yang substansial itu.
Lebih luas dari disiplin, Jepang mengunggulkan spiritualisme (Zen, Konfusianisme, dan tradisi Samurai). Dalam hubungan itu Jepang amat memedulikan faktor hati nurani (kokoro, honne). Dalam bahasa Jepang dikenal ungkapan “Anata no kokoro, anata no utsukushisa” (hatimu, kecantikanmu). Besarnya kepedulian Jepang terhadap jiwa dan kejiwaan manusia inilah yang diduga menghasilkan suasana keteraturan yang substansial. Dari pemuliaan terhadap jiwa, nurani, dan hati itu, bangsa Jepang tidak terjebak ke dalam formalisme (baca: hukum). Secara singkat, bangsa Jepang lebih mengunggulkan dan mendengarkan kata hati nuraninya. Maka muncullah pepatah “Denwa o kakeru… kokoro o kakeru” (Putarlah nomor telepon dan putarlah hatimu).
Berkait dengan hal-hal itu maka bangsa Jepang amat memisahkan antara tatemae (yang di luar, hukum positif) dan mengutamakan honne (yang di dalam, hati nurani, spiritisme). Seorang pejabat publik yang terkena perkara biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus proses hukumnya (diselidiki, disidik) baru dimulai. Sanksi moral ternyata bekerja dengan amat efektif. Bangsa Jepang tidak membaca hukum sebagai kaidah perundang-undangan (tatemae), tetapi lebih daripada itu sebagai kaidah moral (honne).
Melupakan hukum
Pada awal artikel dikatakan, krisis hukum kita bukan semata-mata krisis teknis, struktur, atau peraturan, tetapi lebih mendalam dan mendasar dari itu. Karena itu pemulihan dan “pengobatannya pun” harus melewati jalan lebih mendasar atau substansial, yaitu perilaku.
Pada saat kemudian diajukan pertanyaan kritis tentang masih adanya ketertiban sehari-hari, kita mengemukakan, apakah itu disebabkan prestasi hukum? Atau oleh bekerjanya faktor lain? Hal itu kini akan dijawab, perilaku substansilah penyebab ketertiban tetap terjaga. Masyarakat banyak mengeluh dan mengumpat tentang hukum, komunitas internasional pun berkata tentang buruknya sistem hukum Indonesia, tetapi secara garis besar hukum masih dicari orang. Maka kesimpulannya, masyarakat membutuhkan hukum karena tidak ingin terjadi ketidaktertiban lebih besar. Dengan demikian urusan hukum sudah bergeser ke pilihan perilaku.
Kendati hukum masih berjalan, tetapi kita mencatat, yang lebih banyak terjadi adalah orang-orang yang “bermain dengan peraturan dan prosedur”, bukan menjalankan hukum untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Keadaan diperparah korupsi dalam hukum dan hukum sudah dijadikan barang dagangan.
Seorang tokoh publik pernah mengatakan, hukum harus dipisahkan dari moral. Bila kita bicara mengenai hukum, maka hanya hukum yang boleh dibicarakan. Soal moral harus dibuang jauh. Inilah pukulan mematikan. Inilah awal bencana bagi negara hukum Indonesia.
Sebuah agenda alternatif
Berdasar pengamatan dan analisis itu, di sini ingin diajukan saran tentang agenda pemulihan hukum yang bersifat alternatif. Untuk memberi basis yang lebih kuat terhadap agenda alternatif, maka di sini ingin diusulkan agar negara hukum kita menggunakan paradigma ganda. Artinya, negara hukum kita tidak hanya menggunakan “paradigma peraturan”, tetapi juga “paradigma moral”.
Biasanya bila kita berbicara tentang hukum, pemulihan hukum, dan sebagainya, titik api perhatian adalah pada hukum. Dengan kata lain, pemulihan dilakukan melalui hukum.
Dalam agenda alternatif ini kita tidak melakukan cara itu. Pintu masuk (entry point) kita, perilaku substansial bangsa Indonesia. Meminjam kosakata Jepang, kita mengusahakan peningkatan kualitas spiritualitas bangsa kita. Kredo kita bukan lagi membangun hukum, tetapi membangun spiritualisme bangsa. Moral yang diunggulkan di sini antara lain kejujuran, pengendalian diri, menjaga harkat sebagai manusia, rasa malu, mengurangi keakuan (selfishness), dan lebih memberi perhatian terhadap orang lain.
Tulisan ini menaruh harapan besar terhadap kekuatan-kekuatan (dalam) masyarakat yang sudah mulai menggeliat dengan mengorganisir berbagai gerakan. Meski gerakan itu tidak khusus berbicara tentang hukum dan lebih menjamah ranah moral dan spiritualisme, namun secara diam-diam sumbangan mereka terhadap pemulihan hukum sungguh besar.
Gerakan itu yaitu “Gerakan Jalan Lurus”, “Skenario Indonesia 2010″, “Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa”, “Skenario Indonesia Bangkit”, “Gerakan Moral Tokoh Agama”, dan masih banyak lagi (Kompas, 11/8). Selain itu, tak dapat diabaikan peran LSM-LSM yang aktif mengawal kehidupan bangsa. Mudah-mudahan para tokoh dalam berbagai gerakan dan LSM itu sempat membaca dan merenungkan usulan agenda ini
Sumur Gan n Sist !!!
0
1.5K
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
922.7KThread•82KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru