- Beranda
- The Lounge
Megawati Pun Tunduk Pada Budi Gunawan ‘Rekening Gendut’
...
TS
patungpolisi
Megawati Pun Tunduk Pada Budi Gunawan ‘Rekening Gendut’
Jokowi jadi presiden, Irjen Syafruddin dipastikan jadi Kapolri! Sahabat sekalian mungkin bertanya-tanya dari mana premis tersebut muncul. Pertanyaan sahabat sekalian tentu berlanjut pada apa hubungan Jokowi dengan Irjen Syafruddin. Namun sebelum masuk pada jawaban itu, baiknya kita berbicara soal realitas kondisi dalam internal kepolisian Republik Indonesia.
Polri sebagai salah satu alat negara dilarang berpolitik praktis. Tentu sahabat sekalian setuju. Dan memang, sejak bergulirnya reformasi hingga saat ini partisipasi aktif Polri dalam politik praktis tidak terlihat secara kasat mata. Tentu saja, sebagai salah satu alat negara, Polri tentu mesti mendukung penuh semua kebijakan dari otoritas pemerintah. Dibutuhkan sebuah institusi Polri yang utuh dan solid untuk mengawal jalannya pemerintahan demi tercapainya cita-cita bersama.
Sahabat sekalian yang mengikuti perkembangan Kepolisian Republik Indonesia tentu tak asing dengan nama-nama seperti Jenderal Polisi (Purn) Drs. Sutanto, Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Oegroseno, SH, Jenderal Polisi (Purn) Drs. H. Bambang Hendarso Danuri, M.M, atau Jenderal Polisi Drs. Sutarman yang menjabat Kapolri sejak Oktober 2013 hingga saat ini. Mereka adalah perwira tinggi dengan segudang prestasi yang membanggakan Kepolisian Republik Indonesia. Mereka lah yang meneruskan dan menjaga reformasi dalam tubuh Polri. Jadi, bukan tanpa alasan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memberikan kepercayaan dan posisi kepada para perwira tinggi tersebut guna meneruskan amanat rakyat.
Namun sayang, kesolidan dalam tubuh Polri ternyata tak lebih dari pencitraan semata. Bukan maksud saya berbicara kasar. Tapi memang itulah yang terjadi. Dalam tubuh Polri, terdapat dua kubu besar, di satu sisi menginginkan reformasi dan di sisi lain menghendaki anti-reformasi. Masih ada orang-orang dalam tubuh Polri yang tidak menginginkan perubahan pada institusinya; menolak reformasi; dan tak peduli pada harapan rakyat akan terwujudnya Polri baru.
Mereka ini adalah orang-orang yang berlawanan dengan status quo dan bercita-cita mengembalikan Polri ke era Orde Baru; menggadaikan idealisme serta independensi Polri demi kursi kekuasaan. Tapi sayang, mimpi mereka mesti tertunda. Pintu kudeta belum terbuka. Kubu Polri reformasi yang dikomandoi Presiden SBY selama ini tidak memberikan tempat signifikan untuk mereka.
Namun dengan berakhirnya era kepemimpinan Presiden SBY, maka berakhir pula status quo Polri reformasi. Inilah celah yang sudah lama ditunggu. Mereka yang selama pemerintahan Presiden SBY terpinggirkan mulai mencari tempat dan melihat peluang dari celah mana mereka akan masuk.
Adalah Irjen Pol Drs. Syafruddin, M.Si yang dikenal sangat dekat dengan Jusuf Kalla. Selain sama-sama berasal dari Makassar, pada 2004 Irjen Syafruddin juga pernah menjadi Ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengan lobi politik dagang sapi khas Orde Baru, Jusuf Kalla menjanjikan Syafruddin yang kini menjabat Kadiv Propam, sebuah posisi yang diidam-idamkan seluruh perwira tinggi Polri, yakni Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). Tawaran itu tentu bakal terlaksana hanya jika Jusuf Kalla memiliki otoritas yang memungkinkan dirinya bisa mengangkat Syafrrudin, yakni dengan masuk ke dalam pemerintahan. Satu-satunya jalan Jusuf Kalla untuk bisa masuk ke dalam pemerintahan adalah dengan menjadi cawapres Jokowi yang hampir bisa dipastikan bakal menang dalam pilpres Juli nanti.
Oleh karena itu, Jusuf Kalla pun meminta Syafruddin melobi Komjen Pol Drs. Budi Gunawan, S.H., MSi., Ph.D yang juga merupakan mantan Ajudan Presiden RI di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri untuk membujuk putri Soekarno tersebut agar mau kembali memasukkan namanya dalam bursa cawapres pendamping Jokowi. Antara Syafruddin dengan Budi Gunawan memang telah terjalin kedekatan sejak lama. Bersama mantan Wakapolri Drs R Makbul Padmanagara, trio ini dikenal berseberangan dengan kubu Polri reformasi yang digawangi Sutanto, Oegroseno, Bambang Hendarso Danuri, dan Sutarman serta dikomandoi Presiden SBY.
Terkait lobi dari Jusuf Kalla, imbalan yang akan diterima oleh Budi Gunawan, Syafruddin, dan Makbul Padmanagara adalah mengembalikan pengaruh mereka dalam tubuh Polri. Tawaran itu pula yang disampaikan Budi Gunawan kepada Megawati. Kita tahu, sejak memulai pemerintahannya pada 2004, demi mencegah terjadinya dualisme yang berujung pada perpecahan Polri, Presiden SBY tak luput terus membersihkan institusi Polri dari praktik polisi kotor, salah satunya yang dilakukan Budi Gunawan dengan ‘rekening gendut’-nya. Mungkin bagi Megawati, melalui Budi Gunawan inilah ‘partai merah’ tersebut dapat mengembalikan pengaruhnya dalam tubuh Polri.
Namun untuk mengembalikan kuasanya dalam tubuh Polri lewat Budi Gunawan, sepertinya tidak mungkin bagi Megawati. Mengingat, Budi Gunawan terganjal kasus ‘rekening gendut’. Jusuf Kalla melihat kelemahan itu sebagai sebuah peluang bagi posisi tawarnya di Pilpres 2014. Oleh karenanya, Saudagar Makassar ini menawarkan sosok yang lebih berpeluang menjadi Kapolri baru menggantikan Sutarman yang berasal dari kubu SBY. Nama yang ditawarkan Jusuf Kalla itu adalah Irjen Syafruddin yang juga mantan Ajudan Jusuf Kalla. Tawaran itu berlaku hanya jika Jusuf Kalla dibolehkan maju mendampingi Jokowi.
Lobi Jusuf Kalla berhasil. Pada pertemuan tingkat tinggi PDIP di Teuku Umar, Selasa 22 April 2014, nama Jusuf Kalla tiba-tiba kembali masuk dalam bursa pendamping Jokowi. Tak tanggung-tanggung, Jusuf Kalla langsung menjadi peringkat pertama mendampingi Jokowi mengalahkan Ryamizard Ryacudu dan Puan Maharani. Padahal, sebelum Selasa malam, hanya ada dua nama tersebut yang masuk dalam bursa calon pendamping Jokowi.
Sebelum Selasa malam, nama Jusuf Kalla sebenarnya telah dicoret sebagai kandidat cawapres Jokowi oleh internal PDIP atas berbagai alasan. Secara personal, Megawati menilai Jusuf Kalla sebagai ‘lain di depan, lain lagi di belakang’. Megawati melihat Jusuf Kalla sebagai sosok yang munafik. Belum lagi masukan dari beberapa orang kepecayaan Mega, yakni Muhammad Prananda, Hasto Kristianto, dan Rini Suwandi. Ketiga penasihat utama Megawati itu menilai Jusuf Kalla tak cocok mendampingi Jokowi karena pasti akan lebih mendominasi.
Sahabat tentu tahu, Jusuf Kalla diajukan ke PDIP oleh tiga partai, yaitu Nasdem (6%), PKB (9%) dan PPP (7%). Megawati dan ketiga penasihatnya termasuk Jokowi sendiri tidak ingin ada Koalisi Gendut. Jika kita kalkulasikan, koalisi PDIP dan Nasdem saja sudah memperoleh sekitar 25-26% suara legislatif. Apabila ditambah dengan PKB dan PPP, koalisi akan memperoleh 41-42% suara. Bagi PDIP, koalisi empat partai membentuk 42% suara, dimana PDIP hanya menguasai 19% (tidak mayoritas), tidak efektif. Terlebih, 23% suara tersebut merupakan buah gabungan tiga suara partai pengusung Jusuf Kalla. Kekhawatiran Megawati, Jokowi, dan PDIP adalah kabinet akan dikuasai oleh orang-orang dari kelompok Jusuf Kalla. Nantinya, pemerintahan Jokowi rentan digulung oleh Jusuf Kalla. Itu sebabnya PDIP mencoret nama Jusuf Kalla sejak awal.
Kembali masuknya Jusuf Kalla atas lobi Budi Gunawan yang membawa kepentingan politik dari kepolisian menimbulkan tanda tanya besar bagi internal PDIP selama beberapa hari terakhir. Mereka melihat ada gejala tidak wajar dari Megawati terkait perubahan besar, mendadak, dan sedikit memaksa ini. Megawati seperti disandera oleh sesuatu yang kita tidak bisa pahami.
Jusuf Kalla mengetahui hal itu; sesuatu yang tidak bisa kita pahami itu. Ia pun bersama mantan ajudannya, Irjen Syafruddin, mengajak Budi Gunawan yang memiliki ‘kuasa besar’ terhadap putri Presiden Sukarno ini, bermain dalam skenario ‘menyandera’ Megawati agar mau memasukkan kembali Jusuf Kalla sebagai calon terkuat pendamping Jokowi.
Jadi, jika memang akhirnya Jusuf Kalla terpilih jadi pendamping Jokowi pada pertarungan pilpres nanti—dan kemungkinan besar mereka menang—bisa dipastikan status quo dalam institusi Polri reformasi sekarang ini akan direnggut dan lalu digantikan dengan pemimpin-pemimpin bonekanya Jusuf Kalla yang lahir dari transaksi dagang politik-kekuasaan khas Orde Baru.
Pertanyaannya, apakah memang Megawati begitu ingin menguasai Polri atau jangan-jangan Budi Gunawan yang sebenarnya ingin mengembalikan pengaruh dalam korpsnya itu lewat ‘penyanderaan’-nya terhadap Megawati?
Pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa Megawati sampai-sampai mengabaikan tiga penasihat utamanya hanya karena lobi Budi Gunawan untuk memasukkan nama Jusuf Kalla dalam bursa cawapres pendamping Jokowi? Ada hutang budi apa Megawati pada Budi Gunawan ‘rekening gendut’? Atau jangan-jangan ada hubungan tertentu antara Megawati dengan Budi Gunawan?
Alih-alih ingin menghindari ‘koalisi gendut’, PDIP malah disandera oleh jenderal polisi ‘rekening gendut’.
Polri sebagai salah satu alat negara dilarang berpolitik praktis. Tentu sahabat sekalian setuju. Dan memang, sejak bergulirnya reformasi hingga saat ini partisipasi aktif Polri dalam politik praktis tidak terlihat secara kasat mata. Tentu saja, sebagai salah satu alat negara, Polri tentu mesti mendukung penuh semua kebijakan dari otoritas pemerintah. Dibutuhkan sebuah institusi Polri yang utuh dan solid untuk mengawal jalannya pemerintahan demi tercapainya cita-cita bersama.
Sahabat sekalian yang mengikuti perkembangan Kepolisian Republik Indonesia tentu tak asing dengan nama-nama seperti Jenderal Polisi (Purn) Drs. Sutanto, Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Oegroseno, SH, Jenderal Polisi (Purn) Drs. H. Bambang Hendarso Danuri, M.M, atau Jenderal Polisi Drs. Sutarman yang menjabat Kapolri sejak Oktober 2013 hingga saat ini. Mereka adalah perwira tinggi dengan segudang prestasi yang membanggakan Kepolisian Republik Indonesia. Mereka lah yang meneruskan dan menjaga reformasi dalam tubuh Polri. Jadi, bukan tanpa alasan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memberikan kepercayaan dan posisi kepada para perwira tinggi tersebut guna meneruskan amanat rakyat.
Namun sayang, kesolidan dalam tubuh Polri ternyata tak lebih dari pencitraan semata. Bukan maksud saya berbicara kasar. Tapi memang itulah yang terjadi. Dalam tubuh Polri, terdapat dua kubu besar, di satu sisi menginginkan reformasi dan di sisi lain menghendaki anti-reformasi. Masih ada orang-orang dalam tubuh Polri yang tidak menginginkan perubahan pada institusinya; menolak reformasi; dan tak peduli pada harapan rakyat akan terwujudnya Polri baru.
Mereka ini adalah orang-orang yang berlawanan dengan status quo dan bercita-cita mengembalikan Polri ke era Orde Baru; menggadaikan idealisme serta independensi Polri demi kursi kekuasaan. Tapi sayang, mimpi mereka mesti tertunda. Pintu kudeta belum terbuka. Kubu Polri reformasi yang dikomandoi Presiden SBY selama ini tidak memberikan tempat signifikan untuk mereka.
Namun dengan berakhirnya era kepemimpinan Presiden SBY, maka berakhir pula status quo Polri reformasi. Inilah celah yang sudah lama ditunggu. Mereka yang selama pemerintahan Presiden SBY terpinggirkan mulai mencari tempat dan melihat peluang dari celah mana mereka akan masuk.
Adalah Irjen Pol Drs. Syafruddin, M.Si yang dikenal sangat dekat dengan Jusuf Kalla. Selain sama-sama berasal dari Makassar, pada 2004 Irjen Syafruddin juga pernah menjadi Ajudan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengan lobi politik dagang sapi khas Orde Baru, Jusuf Kalla menjanjikan Syafruddin yang kini menjabat Kadiv Propam, sebuah posisi yang diidam-idamkan seluruh perwira tinggi Polri, yakni Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). Tawaran itu tentu bakal terlaksana hanya jika Jusuf Kalla memiliki otoritas yang memungkinkan dirinya bisa mengangkat Syafrrudin, yakni dengan masuk ke dalam pemerintahan. Satu-satunya jalan Jusuf Kalla untuk bisa masuk ke dalam pemerintahan adalah dengan menjadi cawapres Jokowi yang hampir bisa dipastikan bakal menang dalam pilpres Juli nanti.
Oleh karena itu, Jusuf Kalla pun meminta Syafruddin melobi Komjen Pol Drs. Budi Gunawan, S.H., MSi., Ph.D yang juga merupakan mantan Ajudan Presiden RI di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri untuk membujuk putri Soekarno tersebut agar mau kembali memasukkan namanya dalam bursa cawapres pendamping Jokowi. Antara Syafruddin dengan Budi Gunawan memang telah terjalin kedekatan sejak lama. Bersama mantan Wakapolri Drs R Makbul Padmanagara, trio ini dikenal berseberangan dengan kubu Polri reformasi yang digawangi Sutanto, Oegroseno, Bambang Hendarso Danuri, dan Sutarman serta dikomandoi Presiden SBY.
Terkait lobi dari Jusuf Kalla, imbalan yang akan diterima oleh Budi Gunawan, Syafruddin, dan Makbul Padmanagara adalah mengembalikan pengaruh mereka dalam tubuh Polri. Tawaran itu pula yang disampaikan Budi Gunawan kepada Megawati. Kita tahu, sejak memulai pemerintahannya pada 2004, demi mencegah terjadinya dualisme yang berujung pada perpecahan Polri, Presiden SBY tak luput terus membersihkan institusi Polri dari praktik polisi kotor, salah satunya yang dilakukan Budi Gunawan dengan ‘rekening gendut’-nya. Mungkin bagi Megawati, melalui Budi Gunawan inilah ‘partai merah’ tersebut dapat mengembalikan pengaruhnya dalam tubuh Polri.
Namun untuk mengembalikan kuasanya dalam tubuh Polri lewat Budi Gunawan, sepertinya tidak mungkin bagi Megawati. Mengingat, Budi Gunawan terganjal kasus ‘rekening gendut’. Jusuf Kalla melihat kelemahan itu sebagai sebuah peluang bagi posisi tawarnya di Pilpres 2014. Oleh karenanya, Saudagar Makassar ini menawarkan sosok yang lebih berpeluang menjadi Kapolri baru menggantikan Sutarman yang berasal dari kubu SBY. Nama yang ditawarkan Jusuf Kalla itu adalah Irjen Syafruddin yang juga mantan Ajudan Jusuf Kalla. Tawaran itu berlaku hanya jika Jusuf Kalla dibolehkan maju mendampingi Jokowi.
Lobi Jusuf Kalla berhasil. Pada pertemuan tingkat tinggi PDIP di Teuku Umar, Selasa 22 April 2014, nama Jusuf Kalla tiba-tiba kembali masuk dalam bursa pendamping Jokowi. Tak tanggung-tanggung, Jusuf Kalla langsung menjadi peringkat pertama mendampingi Jokowi mengalahkan Ryamizard Ryacudu dan Puan Maharani. Padahal, sebelum Selasa malam, hanya ada dua nama tersebut yang masuk dalam bursa calon pendamping Jokowi.
Sebelum Selasa malam, nama Jusuf Kalla sebenarnya telah dicoret sebagai kandidat cawapres Jokowi oleh internal PDIP atas berbagai alasan. Secara personal, Megawati menilai Jusuf Kalla sebagai ‘lain di depan, lain lagi di belakang’. Megawati melihat Jusuf Kalla sebagai sosok yang munafik. Belum lagi masukan dari beberapa orang kepecayaan Mega, yakni Muhammad Prananda, Hasto Kristianto, dan Rini Suwandi. Ketiga penasihat utama Megawati itu menilai Jusuf Kalla tak cocok mendampingi Jokowi karena pasti akan lebih mendominasi.
Sahabat tentu tahu, Jusuf Kalla diajukan ke PDIP oleh tiga partai, yaitu Nasdem (6%), PKB (9%) dan PPP (7%). Megawati dan ketiga penasihatnya termasuk Jokowi sendiri tidak ingin ada Koalisi Gendut. Jika kita kalkulasikan, koalisi PDIP dan Nasdem saja sudah memperoleh sekitar 25-26% suara legislatif. Apabila ditambah dengan PKB dan PPP, koalisi akan memperoleh 41-42% suara. Bagi PDIP, koalisi empat partai membentuk 42% suara, dimana PDIP hanya menguasai 19% (tidak mayoritas), tidak efektif. Terlebih, 23% suara tersebut merupakan buah gabungan tiga suara partai pengusung Jusuf Kalla. Kekhawatiran Megawati, Jokowi, dan PDIP adalah kabinet akan dikuasai oleh orang-orang dari kelompok Jusuf Kalla. Nantinya, pemerintahan Jokowi rentan digulung oleh Jusuf Kalla. Itu sebabnya PDIP mencoret nama Jusuf Kalla sejak awal.
Kembali masuknya Jusuf Kalla atas lobi Budi Gunawan yang membawa kepentingan politik dari kepolisian menimbulkan tanda tanya besar bagi internal PDIP selama beberapa hari terakhir. Mereka melihat ada gejala tidak wajar dari Megawati terkait perubahan besar, mendadak, dan sedikit memaksa ini. Megawati seperti disandera oleh sesuatu yang kita tidak bisa pahami.
Jusuf Kalla mengetahui hal itu; sesuatu yang tidak bisa kita pahami itu. Ia pun bersama mantan ajudannya, Irjen Syafruddin, mengajak Budi Gunawan yang memiliki ‘kuasa besar’ terhadap putri Presiden Sukarno ini, bermain dalam skenario ‘menyandera’ Megawati agar mau memasukkan kembali Jusuf Kalla sebagai calon terkuat pendamping Jokowi.
Jadi, jika memang akhirnya Jusuf Kalla terpilih jadi pendamping Jokowi pada pertarungan pilpres nanti—dan kemungkinan besar mereka menang—bisa dipastikan status quo dalam institusi Polri reformasi sekarang ini akan direnggut dan lalu digantikan dengan pemimpin-pemimpin bonekanya Jusuf Kalla yang lahir dari transaksi dagang politik-kekuasaan khas Orde Baru.
Pertanyaannya, apakah memang Megawati begitu ingin menguasai Polri atau jangan-jangan Budi Gunawan yang sebenarnya ingin mengembalikan pengaruh dalam korpsnya itu lewat ‘penyanderaan’-nya terhadap Megawati?
Pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa Megawati sampai-sampai mengabaikan tiga penasihat utamanya hanya karena lobi Budi Gunawan untuk memasukkan nama Jusuf Kalla dalam bursa cawapres pendamping Jokowi? Ada hutang budi apa Megawati pada Budi Gunawan ‘rekening gendut’? Atau jangan-jangan ada hubungan tertentu antara Megawati dengan Budi Gunawan?
Alih-alih ingin menghindari ‘koalisi gendut’, PDIP malah disandera oleh jenderal polisi ‘rekening gendut’.
tien212700 memberi reputasi
1
71.4K
464
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925KThread•90.5KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya