• Beranda
  • ...
  • Domestik
  • Kematian itu Hanya Berjarak Beberapa Milimeter (Backpaker bertaruh nyawa)

javaloccoAvatar border
TS
javalocco
Kematian itu Hanya Berjarak Beberapa Milimeter (Backpaker bertaruh nyawa)
Kemana perjalanan paling jauh yang pernah anda tempuh sebagai backpacker atau ketika jalan-jalan? Ujung Timur Indonesia, Negara Asia, atau Eropa, atau mungkin keliling dunia? Pengalaman saya menjadi backpacker tidak seluas rekan-rekan yang lain, tapi saya salah seorang yang pernah melalui perjalanan barangkali paling jauh untuk ditempuh, mampir sejenak di depan gerbang kematian. Saya nyaris tewas karena melakukan sebuah perjalanan sedikit konyol, menginap di rumah sakit satu bulan lebih, menjalani dua operasi dan harus kehilangan sebagian anggota tubuh.

Hari itu pertengahan Februari 2012 saya menempuh perjalanan yang saya rencanakan, didorong tujuan untuk mewujudkan cita-cita lama. Seperti biasa, kemana pun melakukan perjalanan terutama perjalanan jauh, saya selalu membuat rencana. Mengumpulkan informasi, survei dan membaca pengalaman-pengalaman dari orang yang pernah menuju tujuan yang sama. Yang paling pertama memilih alat transportasi yang akan digunakan, mereka-reka berbagai alternatif jalan, sedikit improvisasi jika tidak nanti sesuai rencana. Saya memilih kendaraan favorit yang murah dan cepat: Kereta Api.

Tas punggung berisi barang, beberapa helai pakaian ganti, sedikit makanan bekal perjalanan saya gendong menuju Stasiun Senin, setelah memastikan ada uang dan sisa pulsa di handphone. Sampai di Senin kereta tujuan utama ternyata full booked, rupanya ada sistem tiketing baru dari KAI, saya kehabisan tiket. Tapi plan-B dengan kereta Progo yang saya siapkan tidak meleset, walaupun untuk itu harus merubah total rute menuju Lombok.

Sekitar pukul setengah enam pagi sampailah saya di Solo, transit untuk membeli tiket Sri Tanjung untuk estafet berikut menuju Banyuwangi sembari menyempatkan makan soto di muka stasiun. Pertama kalinya menyusur jalur kereta Jogja-Surabaya-banyuwangi benar-benar saya nikmati. Berbeda dengan jalur kereta utara yang didominasi pemandangan bagian belakang rumah penduduk, jalur ini cukup indah karena melintasi perkebunan dan bukit-bukit. Cukup sempurna, jika saja tidak juga harus melewati saksi kebiadaban sistem dan kepemimpinan negeri ini, kubangan lumpur Porong.

Kalau tidak salah ingat, Sri Tanjung sampai di Banyuwangi sekitar jam 9 malam. Hal yang pertama kali saya lakukan saat turun adalah memeriksa jadwal kereta, mencatatnya dan mencocokan dengan rencana perjalanan. Perjalanan melintasi Selat Bali, Bali, Selat Lombok hingga di Lombok tidak banyak yang bisa saya ceritakan (lain kali saja). Karena tujuan utama saya bukan sekedar jalan-jalan, saya ke Lombok berkeliling kota dan menuju beberapa alamat. Barulah di sore hari saya bisa ke pantai kuta, berhasil memandangi Gili Trawangan dari kejauhan dan makan mie ayam dengan Davi adik salah satu teman karib saya.


sunset di Lombok


pelabuhan Feri Padang Bai

Kekeliruan saya dimulai ketika rencana saya pulang pagi-pagi saya tunda, baru lewat tengah hari saya sampai di padang Bai, menumpang bis langsung menuju Terminal Bali, estafet sampai Banyuwangi. Persis seperti dugaan, kereta jam sembilan yang tadinya hendak saya tumpangi tidak bisa saya kejar karena baru sampai Banyuwangi jam 10 lewat beberapa menit. Saya baru bisa berangkat dengan kereta pagi menuju Surabaya. Tetapi di Stasiun Pasar Turi saya cuma bisa bengong melihat seluruh tiket kereta menuju Jakarta yang sudah habis dipesan sampai beberapa hari ke depan. Benar-benar tidak ada satupun alternatif yang bisa saya pilih.

Tanpa berpikir dua kali karena tidak ada pilihan lain saya ke terminal, menuju kota berikutnya untuk rute alternatif. Semarang mendekati tengah malam saat saya turun dari bis berjalan menuju stasiun, sampai beberapa saat sebelum Matarmaja dari Malang yang ditunggu berhenti, menuju loket, lagi-lagi tiket habis. Ketika merenung di tepi ruang tunggu, pandangan saya tertuju pada sebuah kereta barang di stasiun, kepala lokomotifnya mengarah ke barat. Pikiran saya bergerak, jika kereta ini berangkat lewat tengah malam saya punya satu harapan untuk sampai di Tegal jam 6 pagi dan naik kereta paling favorit; Tegal Arum.


crazy trip (sempat-sempatnya foto ^^)

Sawah-sawah yang dilewati tampak seperti lautan, gelap pekat, lengkap dengan kerlip “lampu kapal nelayan” yang berasal dari lampu rumah penduduk. Shalat subuh di tengah laju maksimum kereta barang benar-benar pengalaman yang tidak akan terulang. Sesuai perkiraan pas sekali waktu sampai kereta barang di Tegal dengan keberangkatan Tegal Arum, dengan tergesa turun menuju loket berharap bisa segera menempuh perjalanan sambil nyaman beristirahat, dan sekali lagi mendapat jawaban tiket habis.
Saya cuma bisa menggeleng kepala, tidak habis fikir, bagaimana bisa seluruh rencana alternatif A, B, C dan D tidak berjalan? Ada dua pilihan untuk saya saat itu, yang pertama menuju ke Jakarta dengan bis, yang kedua mampir ke kampung halaman di Brebes.

Sekitar setengah jam berpikir saya memilih pilihan ketiga, tidak memilih yang pertama karena saya tidak mau naik turun kendaraan lagi, mengabaikan pilihan kedua karena untuk saat itu saya sedang pundung dan tidak mau pulang ke rumah. Saya melanjutkan perjalanan sampai Cirebon dengan kereta barang, berharap keberuntungan di Cirebon ada kereta pagi yang bisa saya tumpangi, meskipun catatan saya menunjukan semua keberangkatan di Cirebon siang sampai sore hari. Hasilnya, di Cirebon saya kembali mengabaikan pilihan ke terminal untuk naik bis.

Beberapa saat sebelum kereta berangkat seorang berbaju merah berusia sekitar 35 naik gerbong di samping saya, membawa sebuah tas kecil coklat dengan merk imitasi Ziger. Ia sempat berbasa-basi dengan menanyakan tujuan saya, saya jawab Jakarta tapi kemungkinan besar turun di Jatibarang untuk naik bis (kebetulan letak stasiun Jatibarang tidak jauh dari jalan raya).

Tidak lama naik seorang pemuda di gerbong yang sama di area paling kiri. Sekilas saya memperhatikan, ia berusia paling tua 25 tahun, mengenakan baju putih dan anting di telinga kanannya. Saat itu sebenarnya saya merasa firasat yang kurang enak. Terutama caranya menghembuskan asap rokok ke atas, menurut sebuah buku itu adalah gesture “I am stronger than you”. Saya merasa ada sesuatu yang ganjil saat itu, tapi saya tidak tahu apa. Barangkali saya terlalu lelah setelah perjalanan panjang saya mengabaikan firasat itu. Saya tertidur persis ketika kereta mulai melaju perlahan.

Saya terbangun karena sesuatu menyengat leher belakang saya. Saat membuka mata, sebatang golok menekan leher.

(bersambung ke bagian kedua)
Diubah oleh javalocco 05-01-2013 08:49
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
14.7K
113
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Domestik
Domestik
icon
10.2KThread3.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.