"Megawati Pernah Kalah Dua Kali, tetapi Tidak Merusak Sistem"
Minggu, 7 September 2014 | 17:04 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Aryo Bimo, mengatakan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Megawati Soekarnoputri pernah mengalami kekalahan sampai dua kali saat mencalonkan diri menjadi presiden pada 2004 dan 2009. Namun, kata dia, Megawati tidak merusak sistem yang selama ini sudah dibangun.
"Mega pernah kalah dua kali, kita menghargai proses Mahkamah Konstitusi waktu itu. Dan setelah Mahkamah Konstitusi selesai, kita juga menghargai hasilnya. Walaupun kita berada di luar pemerintahan, tapi tidak merusak sistem. Tidak mengamburadulkan sistem," ujar Aryo seusai menghadiri pertemuan partainya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (7/9/2014).
Pernyataan Aryo tersebut terkait manuver politik yang dilakukan Koalisi Merah Putih di parlemen terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Koalisi Merah Putih tidak ingin kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh DPRD.
Aryo mengakui tradisi demokrasi yang dibangun selama ini memang belum sempurna. Namun, menurut dia, jika proses demokrasi dimundurkan hanya karena pemikiran jangka pendek dalam kepentingan politik praktis, maka itu akan menimbulkan pemilu yang justru tidak mencerdaskan bagi elite maupun rakyat.
"Tetapi, justru terjadi pemutarbalikan sejarah yang itu mengganggu proses konsolidasi. Justru kebingungan rakyat apa ini makna dari undang-undang yang tidak mencerminkan proses perbaikan," ucap Aryo.
Berdasarkan catatan Kompas, pada pembahasan Mei 2014, tidak ada fraksi di DPR yang memilih mekanisme pemilihan gubernur oleh DPR. Namun, sikap parpol Koalisi Merah Putih, selain PKS, berubah pada 3 September. Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PPP, dan Partai Demokrat memilih mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD. Begitu pula pemilihan bupati/wali kota. Hanya Demokrat dan PKB yang memilih mekanisme dipilih oleh DPRD pada pembahasan Mei 2014. Sikap fraksi lalu berubah pada September 2014. Partai Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan Demokrat juga memilih mekanisme kepala daerah dipilih oleh DPRD.