kevinbee
TS
kevinbee
Surat Terbuka untuk Hary Tanoesoedibjo Gan
Spoiler for No Repsol Gan:


Sebelumnya maaf gan, kalo ane repost, ana cuma mau meneruskan surat berharga ini aja, mumpung lagi hot-hotnya pilpres di negara kira ini..


Bung Hary Tanoesoedibjo,

Apa kabar? Saya kehilangan nomor kontak bung. Oleh karenanya biarlah pesan ini saya sampaikan secara terbuka. Selain tak ada yang dirahasiakan, siapa tahu ada yang bisa segera meneruskannya.

Sebelumnya mungkin saya sedikit membuka dulu rekam jejak pertemuan dan silaturahmi kita, siapa tahu bung lupa.

Pertengahan 1990-an, setahun-dua sebelum soeharto lengser, bung pernah duduk tertib di lorong ruang sekretaris ketua bappepam saat masih dijabat putu ary suta, menanti kesempatan untuk diperkenankan menemuinya. Seperti beberapa senja sebelum dan sesudahnya, selepas jam kantor saya dan beberapa teman sering bertandang di sana untuk bersenda-gurau, makan nasi padang ataupun ikan tude bakar rica, mendapat pijatan refleksi dari shinse (almarhum) asiong, dan hal-hal lain yang tak begitu penting.

Entah mengapa - mungkin lupa, mungkin tak mengetahui, mungkin tak sempat - sahabat saya putu ary suta ketika itu tak menemui bung. Saya ingat, berselang satu-dua jam kemudian, beramai-ramai kami keluar dari ruang kerjanya untuk pergi bersama-sama ke suatu hajatan dan bung masih duduk menunggu di sana.

Esoknya, kebetulan saya bertandang lagi. Bung masih sabar dan setia duduk menanti di kursi tamu yang ada di lorong dekat ruang sekretaris bappepam yang ketika itu masih berada di salah satu lantai gedung bursa efek jakarta. Saya selalu merasa tak nyaman jika berkunjung ke kantor teman tapi ada tamu bisnisnya menanti. Meski beberapa jam sebelumnya putu menelfon dan meminta saya datang lagi sore itu ke kantornya tapi pertemuan kami hanyalah untuk beramah-tamah. Tentu bung punya urusan yang jauh lebih penting.

Saya ingat telah menyapa bung lagi, menanyakan apakah bung sudah bertemu dengan sang tuan rumah, dan bung jawab belum sambil menitip pesan untuk dapat disampaikan. Maka demi kenyamanan senda-gurau dan ramah-tamah kami di ruang ketua bappepam itu, sebelum beberapa rekan lain hadir, saya mengingatkan putu untuk menjumpai anda terlebih dahulu.

***

Lalu terjadilah perubahan politik berujung lengsernya soeharto dan berpindahnya tampuk kekuasaan kepada habibie. Peran putu ary suta sebagai ketua bappepam pada gilirannya digantikan yang lain. Setelah itu, putu bercerita pernah bersua di suatu tempat dengan anda. Layaknya kebiasaan timur kita, mungkin bung bertanya tentang kegiatannya saat itu. Putu memang sedang menulis buku tentang pasar modal indonesia yang baru selesai dipimpinnya. Konon, bung menawarkan diri untuk membantu pencetakannya. Ambarwita, sekretaris yayasan di jl. Prapanca tempat kami melanjutkan senda-gurau itu, agaknya sulit menghubungi untuk menagih janji yang bung tawarkan kepada putu. Namun buku yang disusun dalam 2 edisi bahasa - indonesia dan inggris - itu tentu tetap dapat tercetak dan terpublikasikan dengan megah, meski hingga peluncurannya ambarwita masih tak berkesempatan menghubungi bung.

Bung kemudian memang mengambil alih bimantara. Selentingan kabar, salah satu dari 5 stasiun televisi baru yang diizinkan mengudara paska soeharto lengser yang kebetulan urusan administrasinya dengan perusahaan konsultan yang saya pimpin belum selesai, bung ambil alih pula melalui bimantara itu. Maka pada suatu hari, saya-pun menghubungi bung hingga kemudian kita bertemu di kantor yang terletak di jalan kebon sirih itu. Usai mendengarkan perihal yang saya sampaikan, bung-pun kemudian sigap mengutarakan keinginan untuk bertemu dengan putu ary suta.

Beberapa saat sebelum pertemuan kita di kantor bung itu, putu ary suta memang diangkat untuk mengepalai badan penyehatan perbankan nasional, atau dikenal luas sebagai bppn. Sementara saya, sejak perusahaan yang menangani dan mempersiapkan global tv - salah satu stasiun televisi baru yang bung ambil alih melalui bimantara itu - bangkrut karena tak pernah dibayar, beralih memimpin pusat kesenian jakarta, taman ismail marzuki. Meski demikian persahabatan kami - saya dan putu - tetap terjalin. Kebetulan, kami berdua bersama-sama dengan beberapa sahabat lain - adang ruchyatna, jefri, ruslan, dan surya - memang mendirikan dan mengurus sebuah yayasan di jakarta. Yayasan yang salah satu kegiatannya adalah menerbitkan buku pasar modal indonesia itu. Kami berduapun masih terlibat di komite olahraga nasional indonesia - koni - yang ketika itu dipimpin wismoyo arismunandar, menangani unit pengawasan keuangannya.

Saya selalu bersuka-cita membina dan menyaksikan silaturahmi. Maksud ingin bertemu putu yang bung sampaikan di kantor kebon sirih itu langsung saya teruskan. Tapi agaknya putu kurang berkenan, mungkin sibuk, atau alasan lain. Saya tak tahu persis.

Kebetulan, berselang beberapa hari kemudian, ada pertemuan rutin pengurus di kantor koni di kawasan senayan. Setelah usai, putu mengajak saya makan siang di salah satu hotel di jalan thamrin. Saya hanya berfikir sederhana, mungkin jika bung ada di sana, pertemuan kalian berdua bisa lebih mudah terlaksana. Mudah-mudahan bung ingat ketika saya berbisik menelepon bung mengabari bahwa kami sedang dalam perjalanan dari kantor koni menuju hotel yang berada di bundaran hotel indonesia itu. Dan kemudian bung memang sudah hadir di sana ketika mobil yang kami tumpangi berhenti di lobi.

Sejak saat itu kita memang tak pernah bertemu maupun berkomunikasi lagi. Dan memang saya berharap suatu ketika kemudian bung berkenan menghubungi, berkabar soal kelanjutan hal yang saya keluhkan yang menyebabkan perusahaan yang saya pimpin sebelumnya bangkrut. Harapan saya itu memang tak pernah terkabul. Mungkin bung lupa. Mungkin bung tak sempat menindak-lanjutinya. Mungkin pula bung tak berkenan mengurusnya. Saya tak pernah tahu persis. Yang pasti sayapun memang tak pernah berusaha menghubungi bung lagi. Saya justru menyibukkan diri meyakinkan seluruh pemegang saham perusahaan bangkrut yang saya pimpin itu untuk mengikhlaskannya.

***

Waktu memang cepat berlalu. Rekan saya - almarhum prike (am prihartoto bs) - yang sebelumnya juga turut bersusah payah menyiapkan global tv, 2 tahun lalu, telah berpulang ke rahmatullah. Salah seorang investor kami - almarhum reddy hartadji - yang ketika itu bersedia menyuntikkan dana saat kami kehabisan modal untuk menyiapkan stasiun televisi yang semula dimiliki kelompok habibie itu, beberapa bulan lalu juga telah mendahului kita dipanggil sang penciptanya. Karni ilyas yang kini semakin bersinar dengan tayangan indonesia lawyer club di stasiun tv one, juga merupakan salah satu investor yang menyuntikkan dana di perusahaan yang bangkrut itu.

Sekilas-sekelebat kadang saya mengikuti perkembangan kelompok usaha bimantara yang bung ambil alih, pimpin, dan ganti namanya menjadi global mediacom itu : dari berita di media maupun obrolan kawan-kawan lama saat saya masih bekerja di rcti dulu.

Bung memang piawai. Tak hanya dalam hal membesarkan grup usaha besar yang sudah besar sejak lahirnya itu - kita maklumi karena semula perusahaan itu memang dimiliki penuh oleh anak-mantu penguasa tertinggi indonesia di era orde baru bersama sahabat-sahabatnya - tapi juga dalam mendaya-gunakan posisi strategis industri media yang bung kuasai untuk berbagai sepak terjang bisnis dan politik bung.

Bung memang sempat tersangkut-sangkut dengan beberapa soal, seperti soal di kementerian hukum dan hak asasi manusia itu, atau perseteruan dalam memperebutkan stasiun televisi tpi dengan putri sulung soeharto yang juga kakak kandung pemilik utama perusahaan yang bung ambil alih itu, atau hal lain yang tak saya ingat satu per satu. Maklumlah, saya memang hanya mengikutinya sekilas-sekelebat belaka. Tapi kepiawaian bung menyelesaikan soal-soal itu agaknya layak diacungi jempol karena kini rasanya memang hampir tak terdengar lagi.

Sekonyong-konyong bung-pun muncul di panggung terbesar negeri ini, panggung yang jauh lebih besar dari panggung indonesian idol di rcti yang bung pimpin : politik. Sosok bung mulai menggeliat di organisasi masyarakat bernama nasional demokrat (nasdem) di bawah asuhan surya paloh, pemilik media group (koran media indonesia dan metro tv). Organisasi itu kemudian hari bermetamorfosa menjadi partai nasional demokrat. Tapi tak lama kemudian bung ternyata hijrah ke biduk yang lain, partai hati nurani rakyat (hanura) yang dipimpin wiranto. Agenda kepindahan bung ke hanura rupanya tak tanggung-tanggung : bung ingin jadi wakil wiranto yang di partai hanura itu akan dicalonkan menjadi presiden republik indonesia 2014-2019.

Tapi apa nyana, pada pemilihan umum legislatif kemarin suara partai bung ternyata begitu rendah sehingga tak cukup memiliki posisi tawar untuk mengusung pencalonan itu. Situasi memang bergulir cepat sambil ditingkahi berbagai gejolak yang tak terduga hingga akhirnya hanya ada 2 pasang calon presiden dan wakil presiden yang sanggup dan boleh mendaftarkan diri untuk bersaing di bulan juli nanti : pasangan joko widodo - jusuf kalla dan pasangan prabowo subijanto - hatta rajasa.

Bisik-bisik mencoba menghubungkan perolehan suara partai bung dengan besaran pangsa pasar pemirsa dari jaringan raksasa stasiun-stasiun televisi yang bung pimpin. Sungguh saya mencoba tak mempercayainya. Masak sih jumlah pemirsa dan pembaca media bung berbanding lurus dengan perolehan suara hanura? Banyak kok contoh produk yang terpapar luas dan intensif melalui media tapi tak mampu memenangkan pasar yang disasarnya. Bisa saja salah strategi alias salah hitung dan salah cara. Tapi memang bisa juga salah sasaran. Atau memang karena yang ditawarkan memang tak mengena. Entahlah.

***

Ah, saya teringat lagi peristiwa pilu di tahun 1998 itu.

Sejumlah mahasiswa tewas diterjang peluru. Saya dan agus maulana - rekan kerja di rcti ketika itu - baru saja beranjak dari gedung american express yang dulu berada di kawasan kuningan untuk kembali ke kantor kebon jeruk. Tapi jalanan begitu macetnya. Kami tak bisa menembusnya. Lalu lintas justru dialihkan ke arah timur, berlawanan dengan arah barat yang semestinya kami tempuh. Kami berdua lalu turut merayap bersama kendaraan lain,melalui saharjo hingga gunung sahari kemudian masuk ke jalan tol priok-cengkareng di depan taman impian jaya ancol. Di persimpangan menuju grogol jalan ditutup dan kami terpaksa meneruskan perjalanan hingga hotel sheraton dekat bandara soekarno-hatta. Hari sudah tengah malam. Ketika itu baterai telepon genggam saya sudah kehilangan daya dan tak ada pula mobile charger canggih seperti kemewahan yang kita miliki hari ini.

Lalu saya mencoba menghubungi kantor menanyakan situasi. Keadaan memang mencemaskan. Kobaran api dan blokade menyebabkan penyelia keamanan di kantor menyarankan kami menunggu dulu di hotel sheraton itu. Lewat tengah malam, melalui saluran telepon di hotel itu, kami memperoleh kabar bahwa ruas jalan yang sore tadi tertutup oleh massa yang kecewa akibat sejumlah mahasiswa yang terbunuh, sudah dapat dilalui walau harus berhati-hati. Saya dan agus maulana kemudian memacu kendaraan kami kembali ke kantor di kebon jeruk.

Esok harinya suasana ibukota mencekam. Demonstrasi massa yang telah dimulai sejak beberapa waktu semakin marak dan potensi kerusuhan terlihat semakin tak terkendali.

Walau mata terasa berat dan badan begitu letih karena malam yang menegangkan sebelumnya, sejak pagi saya sudah berangkat ke kantor. Maklumlah, ketika itu berita menyebar tak sebebas sekarang. Bukan hanya teknologi yang masih terbatas - tak seperti kita sekarang yang terpapar luas dengan gadget canggih, internet dan sosial media - tapi juga peran sensor yang begitu ketat dari pemerintah yang berkuasa. Akibatnya, sebagian besar masyarakat sebetulnya tak peka dengan perubahan situasi menegangkan yang terjadi hari itu. Jangankan mereka yang tinggal jauh dari kawasan penembakan malam sebelumnya, sejumlah karyawan di rcti yang letak kantornya tak jauh dari sana saja banyak yang tak menyadari eskalasi situasi yang semakin mencekam. Saya ke kantor pagi itu dengan niat utama memastikan staf yang hadir tapi tak terlalu berkepentingan - utamanya wanita - segera pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan ke kantor pagi itu, sayapun mencoba menghubungi sejumlah kerabat melalui telepon genggam agar mengurungkan niat bekerja dan kembali ke rumah.

Sekitar jam 10 pagi, gedung kantor rcti mulai lengang. Hanya sebagian staf dan karyawan yang bertanggung-jawab terhadap operasional siaran saja yang ada. Bersama asisten saya, muhammad ‘ucok’ hidayat, kami membahas langkah strategis yang perlu diusulkan kepada pemimpin rcti saat itu, ms ralie siregar. Tak lama kemudian saya bergegas ke ruang direktur utama itu, mengutarakan usul agar beliau mengambil alih kendali siaran, mengerahkan sumberdaya rcti dan armada pt sindo citra media - unit usaha yang menangani program pemberitaan - untuk menyiarkankan situasi dan perkembangan yang terjadi - seperti yang dilakukan peter f. Gontha sebelumnya ketika tien soeharto, istri presiden republik indonesia saat itu, meninggal dunia - sambil mendaya-gunakan kekuatan media televisi yang kami kuasai untuk sedapat mungkin berperan serta mengendalikan situasi. Sejumlah tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang berpengaruh - bila perlu hingga wakil maupun pimpinan kelompok yang mulai turun ke jalan - saya usulkan diundang ke studio untuk berdialog dan menenangkan masyarakat yang mulai dirasuki keresahan.

Situasi genting dan menegangkan seperti saat itu mungkin tak akan terulang lagi. Tak ada preseden yang dapat dijadikan acuan. Dalam segala keterbatasan yang ada, keputusan tepat dan cepat perlu dilakukan. Ms ralie siregar justru meminta saya untuk menuangkan gagasan tersebut secara tertulis. Maksudnya agar bisa disampaikan melalui faksimili kepada dewan tertinggi di bimantara, atau langsung ke putra soeharto yang memilikinya, bambang trihatmodjo.

Waktu terus berjalan dan kabar situasi lapangan yang semakin menegang terus mengalir dari radio komunikasi awak berita di lapangan. Ketika itu, tentu tak mudah menuangkan usul yang lengkap dengan latar belakang dan maksud-tujuan dalam sebuah tulisan. Permintaan itu tentu tetap saya kerjakan. Segera setelah selesai, saya bergegas ke ruang direktur utama. Mungkin sekitar jam 12 siang. Tapi beliau tak di tempat. Lembar kertas itu saya letakkan di mejanya. Sekembalinya ke ruangan, saya dan ucok terus memandangi jarum jam yang terus berputar, menanti instruksi selanjutnya. Lewat jam 12 siang, ketika tak ada tanda apapun, akhirnya kami, bersama reporter ruslan abdul gani, bergegas ke luar kantor, berkendaraan menuju gedung bursa efek jakarta, dan naik ke kantor putu ary suta.

Melalui jendela kantornya yang berada di ketinggian jakarta, bersama-sama kami menyaksikan asap membubung di berbagai penjuru jakarta. Kerusuhan bersejarah itupun pecah.

***

Ketika hanura tak memperoleh suara, ketika harapan bung bersama wiranto untuk diusung sebagai calon pemimpin negeri ini menipis bahkan pupus, saya kembali teringat pada saat-saat menegangkan di bulan mei tahun 1998 itu.

Alangkah eloknya jika bung menggunakan momentum ‘kekalahan’ itu untuk kembali ke khitah bung sebagai pemimpin jaringan media besar yang kami, masyarakat luas, harapkan bersikap adil, tidak berpihak, dan memberi pencerahan bagi republik yang sedang sengkarut ini. Alangkah mengharukannya jika bung mendeklarasikan mundur dari pertikaian langsung panggung politik tapi justru menyediakan dan mengelola panggung di jaringan media bung untuk persaingan sehat, cerdas, membangun, dan bertanggung jawab dari 2 kubu pasangan calon presiden-wakil presiden yang sudah resmi terdaftar di komisi pemilihan umum hari ini. Alangkah memukaunya tinta emas yang dapat bung torehkan dalam sejarah perjalan bangsa ini.

Seandainya langkah itu dilakukan, sesungguhnya bung berpeluang besar membangun miniatur indonesia masa depan di dalam lingkungan imperium bisnis yang dikuasai hari ini.

Saya tak tahu, apakah kesempatan itu, seperti kisah kecil yang terselip di sela praha 1998 lalu yang dikisahkan di atas, hanya sebuah ilusi semata. Biarlah waktu yang membuktikannya.

Jakarta, 28 mei 2014

Spoiler for Sumber :


Ayo gan Menangkan Hadiah ini 5 hari lagi win a Misfit Shine
0
7.6K
35
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.