centilluqueAvatar border
TS
centilluque
Dulu Megawati jual mahal ke SBY. Kini nangis & cemas saat SBY rangkul Prabowo
SBY Dukung Prabowo, Relawan Jokowi-JK: Mengerikan  
RABU, 02 JULI 2014 | 08:32 WIB


SBY

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Relawan Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Eva Kusuma Sundari, mencemaskan pengaruh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu presiden. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, SBY memiliki kekuasaan untuk menggerakkan massa untuk mendukung salah satu pasangan calon. (Baca: SBY Disebut Restui Demokrat Dukung Prabowo-Hatta)

Kecemasan Eva muncul karena Partai Demokrat sudah resmi mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Senin, 30 Juni 2014. Padahal, sebelumnya SBY menegaskan bersikap netral dalam pemilihan presiden. “Ini merupakan sesuatu yang mengerikan,” kata Eva saat dihubungi Tempo, Selasa, 1 Juli 2014.

Dengan berpihak ke satu pasangan, menurut Eva, SBY memiliki kapabilitas untuk mengarahkan suara pejabat pemerintahan maupun anggota Tentara Nasional Indonesia supaya memilih Prabowo dan Hatta. “Menakutkan karena beliau memegang otoritas untuk menggerakkan birokrasi,” kata Eva. “Misalnya, ada kejadian bupati melarang warganya deklarasi mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla,” kata Eva.

Sikap SBY yang merugikan pasangan Jokowi-JK, kata Eva, tidak menutup kemungkinan terjadi sampai hari pemungutan suara. Karena itu, Eva melanjutkan, Jokowi-JK menitipkan hasil pemilihan kepada masyarakat. Masyarakat yang akan menentukan hasilnya. Apakah ada terjadi kecurangan atau tidak. "Kami membentuk satgas relawan Jokowi-JK anti-money politic dan anti-intimidasi," katanya.

Eva mengatakan bahwa tim pemenangan Jokowi-JK sudah mengetahui bahwa Partai Demokrat akan memberikan dukungannya kepada Prabowo-Hatta bahkan sebelum deklarasi ini diumumkan. “Kami semua tahu hubungan besan antara SBY dengan Hatta. Selain itu, mungkin Demokrat takut ketinggalan kereta jika ada pembagian jatah menteri nanti. Hal itu wajar, manusiawi,” kata Eva.

Sekretaris Tim Sukses Prabowo-Hatta, Fadli Zon, mengatakan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono belum melakukan komunikasi berkaitan dengan dukungan resmi Demokrat untuk Prabowo-Hatta. "Yang saya tahu, belum ada komunikasi antara Pak SBY dan Pak Prabowo setelah deklarasi resmi Demokrat,," kata Fadli, Selasa, 1 Juni 2014. (Baca: JK: Jika SBY Dukung Prabowo Negara dalam Dilema)

Meski begitu, Fadli menyatakan akan ada pertemuan antara petinggi Demokrat dan tim sukses Prabowo-Hatta pasca-deklarasi. "Dalam waktu dekat kami akan bertemu," kata Fadli, tanpa menjelaskan waktu pasti dan topik pembicaraan pertemuan itu.
http://pemilu.tempo.co/read/news/201...-JK-Mengerikan

SBY Intruksikan Demokrat Dukung Prabowo-Hatta
Senin, 30 Juni 2014 18:54 WIB

DPP Partai Demokrat memutuskan dan mengintruksikan seluruh pengurus DPP, DPD, DPC, kader-kader Demokrat, seluruh simpatisan, serta sayap organisasi Partai Demokrat, untuk mendukung Prabowo-Hatta

JAKARTA, Jaringnews.com - Partai Demokrat secara resmi menyatakan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Pilpres 9 Juli 2014.

Keputusan itu disampaikan Ketua Harian Partai Demokrat, Syarief Hasan, di Kantor DPP Partai Demokrat, Jl. Kramat Raya, Jakarta, Senin (30).

Menurunya,  pengamatan dan pemaparan visi misi dalam setiap kampanye, pasangan Prabowo-Hatta segaris program dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"DPP Partai Demokrat memutuskan dan mengintruksikan seluruh pengurus DPP, DPD, DPC, kader-kader Demokrat, seluruh simpatisan, serta sayap organisasi Partai Demokrat, untuk mendukung Prabowo-Hatta," kata Syarief.

Syarief mengatakan, keputusan atau statmen politik itu berdasarkan keputusan DPP Partai Demokrat termasuk Ketua Umum, Susilo Bambang Yudhoyono.

Pernyataan politik hari ini, lanjut Syarif, adalah statmen politik DPP Partai Demokrat. Memberikan dukungan penuh kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Turut hadir dalam acara tersebut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Amir Syamsuddin, Roy Suryo, EE Mangindaan, Jero Wacik, dan jajaran politisi Partai Demokrat lainnya.
http://www.jaringnews.com/politik-pe...-prabowo-hatta

JK: Jika SBY Dukung Prabowo Negara dalam Dilema
SELASA, 01 JULI 2014 | 15:18 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden Jusuf Kalla tak percaya dengan klaim sejumlah petinggi Partai Demokrat yang menyatakan mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. "Kalau yang mendukung SBY, baru saya percaya," kata Kalla saat tiba di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa siang, 1 Juli 2014.

Namun, jika Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menyatakan Demokrat bergabung ke koalisi Prabowo-Hatta, tutur Kalla, hal itu bakal memunculkan dilema. Sebab, ujar Kalla, SBY merupakan salah satu anggota Dewan Kehormatan Perwira yang mendukung pemecatan Prabowo.

"Tiba-tiba dukung jadi panglima tertinggi, bagaimana pula SBY nanti. Ramai nanti negeri ini," tutur pria asal Sulawesi Selatan itu. Para petinggi Demokrat yang merapat ke kubu Prabowo-Hatta antara lain Marzuki Alie, Edi Baskoro Yudhoyono, Sjarifuddin Hasan, dan Jero Wacik.

Namun tak sedikit petinggi partai berlambang Mercy tersebut merapat ke poros Joko Widodo-Jusuf Kalla. Di antaranya adalah T.B. Silalahi, Suadi Marasabessy, Ruhut Sitompul, dan Hayono Isman. (Baca: Ini Alasan Ruhut Dukung Jokowi-JK)

Pasa Senin, 30 Juni 2014, Ketua Harian Partai Demokrat Syariefuddin Hasan mengatakan dukungan resmi partainya untuk pasangan Prabowo-Hatta telah mendapat restu Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono. Atas restu itu, menurut Syarief, seluruh petinggi Demokrat berkumpul menyampaikan dukungan resmi partai untuk pasangan calon presiden nomor urut 1.

"Di Partai Demokrat itu semuanya terstruktur, mekanismenya jelas, dan semuanya dalam satu kontrol dari ketua umum," kata Syarief Hasan di kantor Dewan Pimpinan Pusat Demokrat, Jakarta.
http://pemilu.tempo.co/read/news/201...a-dalam-Dilema


Megawati Mau Koalisi dengan Demokrat Jika SBY Jadi Cawapres Jokowi
Rabu, 30 April 2014 01:14 WIB



TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu lalu menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk membicarakan soal koalisi di pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Namun, ada satu syarat yang harus dipenuhi SBY jika mau berkoalisi dengan Megawati dan PDI Perjuangan.

Salah satunya adalah SBY harus jadi calon wakil presiden dari Joko Widodo. Hal itulah yang dikatakan eks Ketua Umum Partai Demokrat melalui akun twitternya @anasurbaningrum.

"Mungkin saja Ibu Mega akan mau membuka pintu kalau Pak SBY bersedia menjadi Cawapres Jokowi," tulis Anas di akun Twitternya, Selasa(29/4/2014) malam.

Akan tetapi kata Anas apabila Megawati Soekarnoputri tetap menolak berkoalisi, SBY tetap dapat poin. "Karena kesan publik adalah pak SBY yang ambil inisiatif dan tercitra sebagai humble," kata Anas.

Sebaliknya lanjut Anas, apabila 'pinangan' SBY diterima Megawati justru Ketua Umum Partai Demokrat itu mendapat poin politik yang tinggi.
"Cita-citanya sejak lama terpenuhi," ujar Anas.

Lebih jauh Anas menjelaskan, menjadi cawapres bukanlah sebuah olok-olok. Justru katanya hal itu akan menjadi terobosan politik yang mulia dan bersejarah.
http://www.tribunnews.com/pemilu-201...awapres-jokowi

PDIP Tolak Permintaan SBY Bertemu Megawati
Senin, 28 April 2014, 12:41 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PDI Perjuangan (PDIP) menolak permintaan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ingin bertemu dengan ketua umum Megawati Sukarnoputri. Bagi PDIP komunikasi politik antarkedua pemimpin partai cukup diwakilkan oleh masing-masing pengurus partai atau fraksi. 

"Kan juga sudah mewakili posisi politik Bapak SBY dan Ibu Mega," kata Sekjen DPP PDIP, Tjahjo Kumolo dalam pesan singkat yang diterima Republika, Senin (28/4).

Tjahjo mempertanyakan alasan SBY menemui Megawati. Menurutnya tidak ada dasar yang membuat kedua tokoh pimpinan partai bertemu dalam waktu dekat. Karena baik Megawati atau SBY sama-sama sedang sibuk mengurus partai jelang pilpres 2014. "Bapak SBY harus ketemu sama Ibu Megawati apa harus mendesak? Kan tidak," ujarnya.

Tjahjo membantah penolakan PDIP mempertemukan Megawati dan SBY karena masalah pribadi keduanya. Dia menyatakan Megawati tidak memiliki persoalan dengan SBY baik secara personal mau pun presiden. 

Kalau Megawati mengkritisi kebijakan pemerintah, itu dilakukan dalam kapasitas sebagai ketua umum partai. "Sifatnya resmi pernyataan politik kan wajar karena posisi politik PDIP di luar pemerintahan Pak SBY," katanya.
Tjahjo menilai permintaan SBY bertemu Megawati tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab saat ini Demokrat sedang melangsungkan konvensi untuk mencari capres. Sedangkan PDIP juga sudah menetapkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres. Artinya, baik PDIP dan Demokrat sama-sama sudah menentukan posisi capres.

Menurutnya, selama ini komunikasi antara PDIP dan Demokrat di parlemen berjalan baik dan konstruktif. Masing-masing fraksi sama-sama bisa saling menghormati. Tjahjo berharap masing-masing pimpinan partai bisa terus menjalin dialog yang bertujuan memperkuat konsep kepemimpinan nasional ke depan.
http://www.republika.co.id/berita/na...rtemu-megawati


Tolak SBY, Megawati Memang Bukan Soekarno
05 Mei 2014 13:46


SBY bertemu Megawati ketika melayat almarhum Taufik Kiemas.

Humanisme dan gaya manajerial pemerintahan Megawati Soekarnoputri memang tak seperti Soekarno.

JAKARTA - Keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sekaligus Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat menemui Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, kandas di tengah jalan. Tokoh PDI Perjuangan, Panda Nababan dan Eva Kusuma Sundari sebagaimana dilansir Sinar Harapan, Rabu (30/4), mengatakan alasannya: SBY belum menjawab jujur enam pertanyaan mendasar Megawati Soekarnoputri pada 2006.

Panda Nababan dan Eva Kusuma Sundari, mengatakan, enam pertanyaan itu menyangkut isu sensitif yang berkembang ketika Megawati Soekarnoputri masih menjabat presiden dan SBY sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan pada 2004. Ini beberapa bulan menjelang Pemilihan Langsung Presiden pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.

Sulit Berakhir
PDI Perjuangan, kata Panda Nababan dan Eva Kusuma Sundari, lebih fokus menghadapi Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014, sehingga tidak ingin terhanyut oleh isu keinginan SBY menemui Megawati. Konflik Megawati Soekarnoputri dan SBY, sesama petinggi partai politik nasionalis, sangat sulit berakhir di dalam waktu relatif singkat. Bahkan mungkin tidak akan berakhir hanya dalam satu dekade.

Pangkal konflik antarkeduanya tidak mungkin dijelaskan secara transparan di muka publik, karena sama sulitnya menjelaskan kenapa Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Joko Widodo yang tiba-tiba diusung PDI Perjuangan dan Partai Nasional Demokrat (NasDem) menjadi calon presiden di tengah-tengah masa jabatannya baru berjalan dua tahun dari lima tahun. Salah satu hal sensitif yang sangat sulit dijelaskan, ketika Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono mengundurkan diri menjadi menko polkam ketika pemerintahan Presiden Megawati Soekarno tengah mempersiapkan opsi operasi militer untuk menumpas separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Provinsi Nangroe Aceh.

Jalan Pintas
Permasalahan menjadi runyam, setelah SBY menghentikan operasi militer di Aceh di tengah-tengah peta kekuatan GAM sudah sangat lemah, setelah terpilih menjadi Presiden Indonesia tahun 2004. Kalangan PDI Perjuangan naik pitam, setelah Presiden Susilo terlalu banyak berharap untuk mendapat hadiah Nobel Perdamaian, setelah berdamai dengan GAM di Aceh. Kekesalan Megawati dikemukakan lewat Sony Keraf, salah satu tokoh senior PDI Perjuangan, karena menjadi preseden buruk di dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di kemudian hari.

PDI Perjuangan menilai, jalan pintas SBY setelah terpilih menjadi presiden dalam menangani GAM di Aceh, akan membangkitkan radikalisme dan separatisme di daerah lain di Indonesia. Ini benar, implikasinya terus menjadi pembahasan serius di lingkungan pejabat teras TNI dan Polri.

Bukan Soekarno
Megawati Soekarnoputri, memang anak biologis Presiden pertama Indonesia, Soekarno, 1945-1966. Tapi, humanisme dan gaya manajerial pemerintahan Megawati Soekarnoputri memang bukan seperti Soekarno, tokoh kharismatik Indonesia. Konflik Megawati Soekarnoputri dan SBY, mengingatkan kita semua tentang sikap kenegarawanan, kejujuran dan keteladanan dwitunggal Soekarno-Mohammad Hatta di saat-saat masa sulit bangsa Indonesia menghadapi operasi intelijen asing yang nyata-nyata membiayai gerakan pemberontakan bersenjata di dalam negeri.

Ketika itu, terjadi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat. Tanggal 1 Desember 1956, secara mengejutkan Mohammad Hatta menyatakan mundur sebagai wakil presiden, sebagai salah satu sikap protes terhadap Presiden Soekarno yang tidak bisa menjaga jarak dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketika Poros Jakarta-Peking memang benar sebagai bentuk protes hegemoni Amerika Serikat dan United of Soviet Socialist Republics (USSR) cenderung ingin dimanfaatkan PKI, sebagai tulang punggung kekuatan mereka walau akhirnya tidak berhasil, Mohammad Hatta bisa memahami langkah koleganya itu dalam takaran tertentu. Mohammad Hatta, tokoh anti-PKI, mengingatkan bahwa pembukaan Poros Jakarta-Peking (Republik Rakyat Tionghok), merupakan ekses dari semangat revolusi yang tidak kunjung selesai, implikasi bentuk protes Presiden Soekarno terhadap imprealisme barat.

Pada awal 1964 Mohammad Hatta yang saat itu sudah tidak lagi menjabat sebagai wakil presiden, sakit keras sehingga
perlu berobat ke Swedia. Penghargaan tinggi dari Presiden Soekarno atas sikap Mohammad Hatta terlihat dari perintahnya kepada beberapa menteri di kabinet terkait agar memberikan fasilitas maksimal bagi perawatan Mohammad Hatta hingga sembuh.

Hubungan Kemanusiaan
Maret 1964 setelah sembuh dari sakit, Mohammad Hatta menemui Presiden Soekarno di Istana Negara. Keeseokan harinya, Presiden Soekarno yang berkunjung ke kediaman Mohammad Hatta di Jakarta. Hubungan kemanusiaan Soekarno-Hatta tetap baik, meski diwarnai oleh berbagai pertentangan politik di dalam negeri. Hal tersebut semata-mata karena kesadaran kedua pemimpin bangsa itu bahwa hal yang terpenting adalah kepentingan nasional (national interest) di atas kepentingan pribadi.

Hikmah dari aspek humanisme Soekarno-Hatta, adalah masyarakat di NKRI membutuhkan kejujuran, keteladanan, kenegarawanan, dan sikap mengutamakan kepentingan nasional dari para tokoh politik nasional.
http://sinarharapan.co/news/read/140...Bukan-Soekarno

------------------------------

Selamat berpuasa kekuasaan kembali, lima tahun lagi ...


emoticon-Ngakak
0
10.2K
92
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.9KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.