Dipanggil Paksa, Mayjen (Purn) Kivlan Zen Wanti-wanti Komnas HAM
Andri Haryanto - detikNews
Halaman 1 dari 2
Jakarta - Mayjen (Purn) Kivlan Zen bersikukuh tidak akan memenuhi panggilan Komnas HAM. Mantan Kepala Staf Kostrad (Kas Kostrad) ini punya argumen hukum untuk menolak 'undangan' tersebut. Bahkan dia mewanti-wanti lembaga tersebut agar berhati-hati.
"Orang-orang Komnas HAM hati-hati, mereka enggak mengerti hukum memanggil paksa," tegas Kivlan Zen saat berbincang dengan detikcom, Rabu (4/6/2014).
Pensiunan TNI-AD dengan menyandang pangkat terakhir bintang dua ini menilai, Komnas HAM sudah melakukan pekerjaan di luar batasan yang ada. Pemanggilan paksa, jelas dia, seperti yang diamanatkan dalam pasal 95 UU 39/1999 dapat dilaksanakan apabila pemerintah telah membuat pengadilan HAM Ad Hoc.
Sementara Komnas HAM mengancam akan memanggil paksa melalui persetujuan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Komnas HAM melakukan pekerjaan yang melampaui batasnya, Pengadilan HAM Ad Hoc belum terbentuk untuk kasus sebelum tahun 1999, bagaimana mau pakai pengadilan negeri. Namun, seandainya pengadilan negeri mengabulkan, berarti pengadilan itu abuse of power," ujarnya.
Argumen lain yang dilontarkan Kivlan adalah bahwa meski dia adalah pensiunan tentara, secara hukum dirinya tetap dinaungi oleh undang-undang TNI, di mana disebutkan bahwa setiap pensiunan TNI/Polri adalah tentara cadangan.
"Jadi, yang berhak untuk memanggil saya bukan polisi tapi polisi militer, karena saya termasuk tentara cadangan. Walaupun saya pensiunan jenderal begini, saya tentara cadangan.
Hati-hati orang Komnas HAM, saya belum lakukan perlawanan keras," ancam pria kelahiran Langsa, Aceh, ini.
Lalu, bagaimana dengan kasus Muchdi PR yang ditangkap Bareskrim Mabes Polri dalam kasus Munir, bukan kah dia juga pensiunan tentara?
"Kejadian HAM yang saya hadapi masa saya masih dinas berlaku hukum militer. Muchdi kejadiannya sudah pensiun," jawab Kivlan, mencontohkan kasus Letjen (Purn) Jaja Suparman dan Mayjen (Purn) Darsup Yusuf.
Menurut Kivlan, terkait tragedi penghilangan paksa sejumlah aktivis, dirinya hanya akan bicara di panel nasional. Dirinya menuding Komnas HAM sudah terkontaminasi oleh politik praktis yang memiliki tujuan di Pemilu 2014 ini.
Sementara itu, anggota Komnas HAM Otto Nur Abdullah menilai, pihaknya perlu mendengarkan paparan dari Kivlan Zen terkait kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis di tahun 1998. Dia berharap dari keterangan tersebut dapat menepis kasus tersebut menjadi konsumsi politik.
"Justru, kalau tidak ada tindakan dia menjadi konsumsi politik 100 persen. Dan dapat dipelintir menjadi black campaign," tegas Otto saat berbicang dengan detikcom, Rabu (4/6/2014).