- Beranda
- The Lounge
Ada apa dengan situs ini gan..!!??
...
![dalbanznet](https://s.kaskus.id/user/avatar/2010/06/13/avatar1775907_2.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
dalbanznet
Ada apa dengan situs ini gan..!!??
ono opo iki website http://www.bpjs-kesehatan.go.id ?
Gimana gan..!!?? klu ane emang bener2 mau ngurus BPJS Program dari pemerintah pusat. Semoga dapat membantu..
Quote:
udeh jalan skitar 4 bulanan ini web sering error & lemot..!!
padahal banyak yang pengen tau informasinya (termasuk saya)![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
padahal banyak yang pengen tau informasinya (termasuk saya)
![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
SEKEDAR INFO
Spoiler for Iuran BPJS kesehatan mulai dari Rp 25.500 sampai Rp 59.500/bulan:
Quote:
Merdeka.com - PT Asuransi Kesehatan (Askes) sejak awal tahun ini sudah meleburkan diri menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Layanan asuransi itu baru memasukkan peserta Askes, Jamsostek, serta asuransi TNI/Polri, ditambah warga miskin penerima Jamkesda.
Direktur Kepesertaan BPJS Sri Endang Tridarwati menegaskan, pihaknya tetap menerima pendaftaran masyarakat yang belum menjadi peserta. Peminat bisa langsung mendatangi kantor-kantor BPJS (dulu bekas kantor Askes) atau mengakses situs [url=http://www.bpjs-kesehatan.go.id.]www.bpjs-kesehatan.go.id.[/url]
Seluruh rangkaian pendaftaran, kata Sri, tak akan makan waktu lama. "Hanya 15 menit, untuk pendaftaran sampai dapat kartu peserta BPJS," ujarnya di Jakarta, Selasa (7/1).
Sedangkan peserta lama yang belum memperoleh kartu baru, Sri menyarankan agar menukarkannya di cabang BJPS terdekat. "TNI/Polri membawa Kartu Tanda Anggota/Nomor Registrasi Pokok dan eks-Jamsostek dapat memperlihatkan kartu JPK Jamsostek lama," paparnya.
Sejauh ini, 1.710 rumah sakit telah menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pemerintah menargetkan jumlah itu bertambah sampai 2.300 RS, ketika jaminan sosial ini diwajibkan untuk seluruh warga Indonesia pada 2019.
Dari pengamatan lapangan sebelumnya, proses pendaftaran BPJS kesehatan oleh masyarakat yang belum masuk skema awal, terdapat beberapa masalah.
Misalnya kejadian di Kota Tangerang, Banten, pekan lalu, ratusan warga datang ke bekas kantor Askes, di Cikokol untuk mendaftar BPJS. Bahkan, per harinya bisa mencapai 500 hingga 600 orang. Alhasil, pelayanan lamban dan dibatasi hanya sampai sore. Banyak warga datang pagi, belum juga bisa mendaftar sampai malam.
Bagi masyarakat umum yang bukan peserta Askes atau Jamsostek, PNS, TNI/Polri, maupun warga miskin, maka syarat mengikuti BPJS adalah membawa KTP dan KK, serta mengisi formulir registrasi. Layanan kesehatan gratis BPJS terbagi menjadi tiga kelas.
Bila warga ingin dirawat di kelas I ketika sakit, maka wajib mengangsur Rp 59.500 per kepala per bulan. Berikutnya, untuk layanan kelas II, iuran Rp 42.500 per bulan, dan kelas III Rp 25.500 per bulan.
Pembayaran iuran BPJS dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan, dan apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan.
Sumur : http://www.merdeka.com/uang/iuran-bp...9500bulan.html
Direktur Kepesertaan BPJS Sri Endang Tridarwati menegaskan, pihaknya tetap menerima pendaftaran masyarakat yang belum menjadi peserta. Peminat bisa langsung mendatangi kantor-kantor BPJS (dulu bekas kantor Askes) atau mengakses situs [url=http://www.bpjs-kesehatan.go.id.]www.bpjs-kesehatan.go.id.[/url]
Seluruh rangkaian pendaftaran, kata Sri, tak akan makan waktu lama. "Hanya 15 menit, untuk pendaftaran sampai dapat kartu peserta BPJS," ujarnya di Jakarta, Selasa (7/1).
Sedangkan peserta lama yang belum memperoleh kartu baru, Sri menyarankan agar menukarkannya di cabang BJPS terdekat. "TNI/Polri membawa Kartu Tanda Anggota/Nomor Registrasi Pokok dan eks-Jamsostek dapat memperlihatkan kartu JPK Jamsostek lama," paparnya.
Sejauh ini, 1.710 rumah sakit telah menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Pemerintah menargetkan jumlah itu bertambah sampai 2.300 RS, ketika jaminan sosial ini diwajibkan untuk seluruh warga Indonesia pada 2019.
Dari pengamatan lapangan sebelumnya, proses pendaftaran BPJS kesehatan oleh masyarakat yang belum masuk skema awal, terdapat beberapa masalah.
Misalnya kejadian di Kota Tangerang, Banten, pekan lalu, ratusan warga datang ke bekas kantor Askes, di Cikokol untuk mendaftar BPJS. Bahkan, per harinya bisa mencapai 500 hingga 600 orang. Alhasil, pelayanan lamban dan dibatasi hanya sampai sore. Banyak warga datang pagi, belum juga bisa mendaftar sampai malam.
Bagi masyarakat umum yang bukan peserta Askes atau Jamsostek, PNS, TNI/Polri, maupun warga miskin, maka syarat mengikuti BPJS adalah membawa KTP dan KK, serta mengisi formulir registrasi. Layanan kesehatan gratis BPJS terbagi menjadi tiga kelas.
Bila warga ingin dirawat di kelas I ketika sakit, maka wajib mengangsur Rp 59.500 per kepala per bulan. Berikutnya, untuk layanan kelas II, iuran Rp 42.500 per bulan, dan kelas III Rp 25.500 per bulan.
Pembayaran iuran BPJS dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan, dan apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan.
Sumur : http://www.merdeka.com/uang/iuran-bp...9500bulan.html
Spoiler for Apapun Kelas Perawatannya, Pelayanan BPJS Tetap Sama:
Quote:
Ketika rawat inap, sebagian orang mungkin mengira perbedaan ruang perawatan seperti kelas I, II dan III mempengaruhi kualitas pelayanan dan manfaat yang bakal diterima masyarakat. Namun, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, memastikan perkiraan itu tidak berlaku dalam BPJS Kesehatan karena pelayanan kesehatan atau medis yang diberikan kepada peserta tidak melihat kelas perawatannya.
Misalnya, peserta menderita usus buntu. Ketika dilakukan operasi dan perlu dijahit maka tidak mungkin peserta yang mengambil kelas I, II dan III dibedakan kualitas jahitannya. “Pasien yang dirawat di kelas apapun itu sama. Tidak ada perbedaan,” tegasnya dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, pekan lalu.
Begitu pula dengan biaya tambahan yang dikenakan kepada peserta ketika mendapat pelayanan. Fajri mengklaim tak ada biaya tambahan dimaksud kecuali peserta bersangkutan meminta sendiri tambahan pelayanan. Misalnya, setelah dioperasi, pasien meminta obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang didera seperti vitamin. Jika atas kemauan sendiri, peserta harus membayar biaya tambahan.
Fajri menambahkan tidak ada plafon atau batas biaya tertinggi dalam BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan melalui kapitasi dan INA-CBGs. Tentu saja tarif yang tercantum dalam paket INA-CBGs untuk kelas I dan II lebih tinggi dibanding kelas III. Walau begitu Fajri mengakui tarif INA-CBGs akan terus disempurnakan oleh tim di bawah Kementerian Kesehatan. Kuncinya adalah pemahaman yang baik dari tenaga medis dan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit) atas mekanisme pembiayaan. Mekanisme INA-CBGs berbeda dengan pola pembiayaan yang selama ini digunakan di rumah sakit.
Fajri memperkirakan pendaftaran peserta BPJS Kesehatan akan didominasi oleh golongan masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. Misalnya buruh lepas. Buruh lepas bisa mendaftarkan diri dan istrinya yang sedang hamil pada ruang perawatan kelas III yang iurannya setiap bulan Rp25.500 per orang. “Dia mau menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan menyisihkan uang yang biasa untuk beli rokok,” tandasnya.
Antusiasme masyarakat untuk mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan itu membuat kantor-kantor BPJS Kesehatan di berbagai tempat dibanjiri pengunjung. Dua pekan setelah BPJS Kesehatan diluncurkan 1 Januari 2014, total peserta mencapai 116 juta orang. Dari jumlah itu 162 ribu orang peserta baru. “Rata-rata 25 ribu orang per hari yang daftar,” tukas Fajri.
Untuk memudahkan masyarakat, Sejak Senin (13/1) lalu, BPJS Kesehatan secara resmi meluncurkan pendaftaran via website dengan alamat [url=http://www.bpjs-kesehatan.go.id.]www.bpjs-kesehatan.go.id.[/url] Sampai saat ini peserta yang mendaftar lewat website mencapai 20 ribu orang. Walau pendaftaran lewat laman dapat dilakukan dimana saja selama tersedia jaringan internet tapi untuk mengambil kartu peserta harus menyambangi kantor BPJS Kesehatan.
Pendaftaran lewat website belum dapat dilakukan bagi perusahaan yang hendak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, pihak perusahaan harus datang membawa data para pekerja ke kantor BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran iuran untuk pekerja mengunakan persentase sehingga BPJS Kesehatan harus mengetahui berapa besaran upah per bulan setiap pekerja yang didaftarkan.
Mengevaluasi dua pekan berjalannya BPJS Kesehatan, koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan persoalan yang terjadi masih didominasi oleh ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan. Seperti keterlambatan pemerintah membuat regulasi operasional, berkontribusi memunculkan masalah di lapangan.
Misalnya, sampai sekarang masih banyak pengusaha yang tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayar dan manfaat serta fasilitas seperti apa yang bakal diperoleh pekerja. Bahkan, Timboel menemukan ada pekerja di KBN Cakung yang memegang kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek namun harus menanggung selisih biaya yang tidak dicakup BPJS Kesehatan. Akibatnya, pekerja itu dirugikan. “BPJS Kesehatan hanya meng-cover biaya sebatas Rp250 ribu sementara biaya RS yang harus dikeluarkan Rp. 1,6 juta,” tutur pria yang sekaligus menjabat sebagai Presidium KAJS itu.
Timboel melihat peralihan peserta JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan belum dilakukan dengan baik. Peserta JPK Jamsostek yang otomatis beralih ke BPJS Kesehatan harus mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan. Seharusnya, data peserta JPK yang dimiliki PT Jamsostek yang sekarang menjadi BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan BPJS Kesehatan sebagai basis data membuat kartu kepesertaan. Begitu pula purnawirawan Polri dan TNI, mestinya sudah mendapat kartu peserta BPJS Kesehatan tanpa mendaftar baru.
Dalam pantauan Timboel, lokasi pendaftaran hanya difokuskan pada kantor-kantor BPJS Kesehatan sehingga terjadi penumpukan. Ia menyarankan agar pendaftaran sekaligus pemberian kartu kepesertaan dilakukan lewat Puskesmas atau RS sehingga memudahkan rakyat. “Aksesnya jadi lebih mudah dan tidak terjadi penumpukan,” usulnya.
Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, meragukan keseriusan pemerintah menggelar program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional (JSKN) yang digelar BPJS Kesehatan. Ia merasa ada kejanggalan dalam pelaksanaan program tersebut. Misalnya, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp19.225 untuk 86,4 juta orang golongan miskin dan tidak mampu. Menurutnya besaran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi tenaga medis. Baginya, perhitungan besaran itu secara aktuaria tidak jelas.
“Besaran iuran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi kesejahteraan para dokter dan tenaga medis lainnya, sehingga dapat berdampak pada rendahnya mutu pelayanan,” ucap Poempida.
Sumur : http://www.hukumonline.com/berita/ba...pjs-tetap-sama
Misalnya, peserta menderita usus buntu. Ketika dilakukan operasi dan perlu dijahit maka tidak mungkin peserta yang mengambil kelas I, II dan III dibedakan kualitas jahitannya. “Pasien yang dirawat di kelas apapun itu sama. Tidak ada perbedaan,” tegasnya dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, pekan lalu.
Begitu pula dengan biaya tambahan yang dikenakan kepada peserta ketika mendapat pelayanan. Fajri mengklaim tak ada biaya tambahan dimaksud kecuali peserta bersangkutan meminta sendiri tambahan pelayanan. Misalnya, setelah dioperasi, pasien meminta obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang didera seperti vitamin. Jika atas kemauan sendiri, peserta harus membayar biaya tambahan.
Fajri menambahkan tidak ada plafon atau batas biaya tertinggi dalam BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan melalui kapitasi dan INA-CBGs. Tentu saja tarif yang tercantum dalam paket INA-CBGs untuk kelas I dan II lebih tinggi dibanding kelas III. Walau begitu Fajri mengakui tarif INA-CBGs akan terus disempurnakan oleh tim di bawah Kementerian Kesehatan. Kuncinya adalah pemahaman yang baik dari tenaga medis dan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit) atas mekanisme pembiayaan. Mekanisme INA-CBGs berbeda dengan pola pembiayaan yang selama ini digunakan di rumah sakit.
Fajri memperkirakan pendaftaran peserta BPJS Kesehatan akan didominasi oleh golongan masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. Misalnya buruh lepas. Buruh lepas bisa mendaftarkan diri dan istrinya yang sedang hamil pada ruang perawatan kelas III yang iurannya setiap bulan Rp25.500 per orang. “Dia mau menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan menyisihkan uang yang biasa untuk beli rokok,” tandasnya.
Antusiasme masyarakat untuk mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan itu membuat kantor-kantor BPJS Kesehatan di berbagai tempat dibanjiri pengunjung. Dua pekan setelah BPJS Kesehatan diluncurkan 1 Januari 2014, total peserta mencapai 116 juta orang. Dari jumlah itu 162 ribu orang peserta baru. “Rata-rata 25 ribu orang per hari yang daftar,” tukas Fajri.
Untuk memudahkan masyarakat, Sejak Senin (13/1) lalu, BPJS Kesehatan secara resmi meluncurkan pendaftaran via website dengan alamat [url=http://www.bpjs-kesehatan.go.id.]www.bpjs-kesehatan.go.id.[/url] Sampai saat ini peserta yang mendaftar lewat website mencapai 20 ribu orang. Walau pendaftaran lewat laman dapat dilakukan dimana saja selama tersedia jaringan internet tapi untuk mengambil kartu peserta harus menyambangi kantor BPJS Kesehatan.
Pendaftaran lewat website belum dapat dilakukan bagi perusahaan yang hendak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, pihak perusahaan harus datang membawa data para pekerja ke kantor BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran iuran untuk pekerja mengunakan persentase sehingga BPJS Kesehatan harus mengetahui berapa besaran upah per bulan setiap pekerja yang didaftarkan.
Mengevaluasi dua pekan berjalannya BPJS Kesehatan, koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan persoalan yang terjadi masih didominasi oleh ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan. Seperti keterlambatan pemerintah membuat regulasi operasional, berkontribusi memunculkan masalah di lapangan.
Misalnya, sampai sekarang masih banyak pengusaha yang tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayar dan manfaat serta fasilitas seperti apa yang bakal diperoleh pekerja. Bahkan, Timboel menemukan ada pekerja di KBN Cakung yang memegang kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek namun harus menanggung selisih biaya yang tidak dicakup BPJS Kesehatan. Akibatnya, pekerja itu dirugikan. “BPJS Kesehatan hanya meng-cover biaya sebatas Rp250 ribu sementara biaya RS yang harus dikeluarkan Rp. 1,6 juta,” tutur pria yang sekaligus menjabat sebagai Presidium KAJS itu.
Timboel melihat peralihan peserta JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan belum dilakukan dengan baik. Peserta JPK Jamsostek yang otomatis beralih ke BPJS Kesehatan harus mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan. Seharusnya, data peserta JPK yang dimiliki PT Jamsostek yang sekarang menjadi BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan BPJS Kesehatan sebagai basis data membuat kartu kepesertaan. Begitu pula purnawirawan Polri dan TNI, mestinya sudah mendapat kartu peserta BPJS Kesehatan tanpa mendaftar baru.
Dalam pantauan Timboel, lokasi pendaftaran hanya difokuskan pada kantor-kantor BPJS Kesehatan sehingga terjadi penumpukan. Ia menyarankan agar pendaftaran sekaligus pemberian kartu kepesertaan dilakukan lewat Puskesmas atau RS sehingga memudahkan rakyat. “Aksesnya jadi lebih mudah dan tidak terjadi penumpukan,” usulnya.
Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, meragukan keseriusan pemerintah menggelar program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional (JSKN) yang digelar BPJS Kesehatan. Ia merasa ada kejanggalan dalam pelaksanaan program tersebut. Misalnya, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp19.225 untuk 86,4 juta orang golongan miskin dan tidak mampu. Menurutnya besaran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi tenaga medis. Baginya, perhitungan besaran itu secara aktuaria tidak jelas.
“Besaran iuran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi kesejahteraan para dokter dan tenaga medis lainnya, sehingga dapat berdampak pada rendahnya mutu pelayanan,” ucap Poempida.
Sumur : http://www.hukumonline.com/berita/ba...pjs-tetap-sama
Spoiler for Dokter Tolak Besaran Iuran Premi BPJS:
Quote:
JAKARTA (Pos Kota) – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak rencana besaran iuran premi peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp22,2 ribu per orang/bulan . Penetapan premi sebesar itu dinilai merugikan dokter yang ikut dalam program BPJS.
”Sebagai organisasi profesi, IDI protes keras! Jika premi tetap ditetapkan tidak sesuai dengan nilai keekonomian dan profesionalitas, maka para dokter akan mogok,” ujar Ketua Umum PB IDI Prijo Sidipratomo, di Jakarta, Selasa (4/9).
Sekjen PB IDI Slamet Budiarto menambahkan, bentuk pemogokan yang dilakukan tetap akan memperhatikan etika kedokteran. Artinya pelayanan yang terkait life saving (keselamatan nyawa) tetap dibuka. Namun untuk layanan rawat jalan akan ditutup.
Kalau pun para dokter dipaksa ikut BPJS, niscaya, lanjut Slamet, mutu layanan yang diberikan bakal sangat menurun. Pasalnya para dokter bakal bekerja dengan setengah hati. Dalam dua hari ke depan, pihaknya bakal melayangkan surat protes ke presiden.
Menurut Ketua Bidang Pembiayaan dan Ekonomi Kesehatan PB IDI, Mahlil Ruby, hitungan iur premi bagi kelompok penerima bantuan iuran (PBI) kurang tepat, lantaran pemerintah menggunakan kriteria basis hitungan yang salah.
PBI adalah kelompok masyarakat yang iur preminya dibayari oleh pemerintah. Mereka adalah 40 persen masyarakat Indonesia dengan penghasilan terendah. Saat BPJS beroperasi pada 2014 nanti, telah ditetapkan masyarakat yang masuk dalam PBI sebanyak 96 juta jiwa lebih.
Jika mengacu pada iur premi sebesar Rp22,2 ribu per bulan/orang, maka IDI menghitung dari jumlah premi itu alokasi untuk jasa layanan dokter per kapitasi pasien hanya sebesar Rp7 ribu. Besaran angka tersebut menurut Mahlil tidak hanya untuk ongkos layanan jasa dokter saja, melainkan juga termasuk obat.
Jika dihitung dengan ongkos obat, maka per kapitasi pasien jasa layanan dokter hanya dihargai sekitar Rp2-3 ribu rupiah oleh pemerintah. ”Harga ini jauh lebih rendah dari ongkos layanan tukang cukur per kepala,” kritiknya.
TAK SESUAI BIAYA KULIAH
Bila diasumsikan pemanfaatan (utilisasi) peserta BPJS maksimal hanya mencapai 20 persen saja, maka rata-rata pendapatan dokter di sarana kesehatan primer ’hanya’ mencapai kisaran Rp5-6juta per bulan, yang dinilai IDI tidak masuk akal jika dibandingkan dengan biaya kuliah untuk menjadi dokter.
Mahlil menuding pemerintah telah salah membuat kriteria perhitungan premi. Di antaranya penyusunan rate utilisasi yang dihitung pemerintah hanya berdasarkan laporan kunjungan ke sarana kesehatan peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan layanan Askes pada PNS.
Perhitungan rate utilisasi dengan basis kunjungan dinilai Mahlil bisa menyesatkan lantaran tidak memberi gambaran riil di lapangan. Pasalnya tidak semua orang yang menderita sakit datang ke sarana kesehatan. Maksimal orang sakit yang ke sarana kesehatan kurang dari 60 persen.
Seharusnya, lanjut Mahlil, perhitungan didasarkan pada survei tingkat kesakitan penduduk. Kealpaan lain yang dilakukan pemerintah adalah tidak memasukan basis profesionalisme dokter dan perbedaan geografis. ”Dokter fresh graduate (baru lulus) dan dokter senior disamakan, begitu pula dengan kondisi geografis.”
MOGOK DISESALKAN
IDI mengaku telah menghitung besaran premi rata-rata nasional yang ideal sesuai dengan nilai keekonomian dan profesionalitas, yaitu sebesar Rp60 ribu per orang/bulan dengan diambil untuk kapitasi layanan dokter sebesar Rp20 ribu.
Menanggapi permintaan IDI, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyatakan, pilihan iur premi sebesar Rp22,2 ribu sudah cukup baik. Pasalnya selain tidak memberatkan fiskal negara, besaran tersebut sudah masuk katagori safety (aman) lantaran bisa menampung utilisasi peserta BPJS hingga 110 persen.
Ghufron mengatakan, dengan premi sebesar itu, maka dikalkulasikan setiap Puskesmas dengan asumsi memiliki 10 ribu kunjungan per bulan bisa mendapat dana dari BPJS sebesar Rp30-40 juta per bulan.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Menurutnya, BPJS yang akan meluncur pada 1 Januari 2014 memang belum bisa memuaskan semua pihak. Badan nirlaba ini akan berjalan setahap demi tahap menuju perbaikan menyeluruh. Dia berjanji, pada 2019 nanti BPJS baru sempurna
Agung juga meminta para dokter tidak mogok kerja hanya gara-gara biaya pengobatan. Menurut Menko, memalukan kalau sampai dokter mogok lantaran soal biaya. “Selain itu, jika iuran premi Rp60 ribu diberlakukan, maka akan sangat memberatkan para pekerja dalam membayar iuran,” cetus Agung.
Sumu : http://mutupelayanankesehatan.net/in...ran-premi-bpjs
”Sebagai organisasi profesi, IDI protes keras! Jika premi tetap ditetapkan tidak sesuai dengan nilai keekonomian dan profesionalitas, maka para dokter akan mogok,” ujar Ketua Umum PB IDI Prijo Sidipratomo, di Jakarta, Selasa (4/9).
Sekjen PB IDI Slamet Budiarto menambahkan, bentuk pemogokan yang dilakukan tetap akan memperhatikan etika kedokteran. Artinya pelayanan yang terkait life saving (keselamatan nyawa) tetap dibuka. Namun untuk layanan rawat jalan akan ditutup.
Kalau pun para dokter dipaksa ikut BPJS, niscaya, lanjut Slamet, mutu layanan yang diberikan bakal sangat menurun. Pasalnya para dokter bakal bekerja dengan setengah hati. Dalam dua hari ke depan, pihaknya bakal melayangkan surat protes ke presiden.
Menurut Ketua Bidang Pembiayaan dan Ekonomi Kesehatan PB IDI, Mahlil Ruby, hitungan iur premi bagi kelompok penerima bantuan iuran (PBI) kurang tepat, lantaran pemerintah menggunakan kriteria basis hitungan yang salah.
PBI adalah kelompok masyarakat yang iur preminya dibayari oleh pemerintah. Mereka adalah 40 persen masyarakat Indonesia dengan penghasilan terendah. Saat BPJS beroperasi pada 2014 nanti, telah ditetapkan masyarakat yang masuk dalam PBI sebanyak 96 juta jiwa lebih.
Jika mengacu pada iur premi sebesar Rp22,2 ribu per bulan/orang, maka IDI menghitung dari jumlah premi itu alokasi untuk jasa layanan dokter per kapitasi pasien hanya sebesar Rp7 ribu. Besaran angka tersebut menurut Mahlil tidak hanya untuk ongkos layanan jasa dokter saja, melainkan juga termasuk obat.
Jika dihitung dengan ongkos obat, maka per kapitasi pasien jasa layanan dokter hanya dihargai sekitar Rp2-3 ribu rupiah oleh pemerintah. ”Harga ini jauh lebih rendah dari ongkos layanan tukang cukur per kepala,” kritiknya.
TAK SESUAI BIAYA KULIAH
Bila diasumsikan pemanfaatan (utilisasi) peserta BPJS maksimal hanya mencapai 20 persen saja, maka rata-rata pendapatan dokter di sarana kesehatan primer ’hanya’ mencapai kisaran Rp5-6juta per bulan, yang dinilai IDI tidak masuk akal jika dibandingkan dengan biaya kuliah untuk menjadi dokter.
Mahlil menuding pemerintah telah salah membuat kriteria perhitungan premi. Di antaranya penyusunan rate utilisasi yang dihitung pemerintah hanya berdasarkan laporan kunjungan ke sarana kesehatan peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan layanan Askes pada PNS.
Perhitungan rate utilisasi dengan basis kunjungan dinilai Mahlil bisa menyesatkan lantaran tidak memberi gambaran riil di lapangan. Pasalnya tidak semua orang yang menderita sakit datang ke sarana kesehatan. Maksimal orang sakit yang ke sarana kesehatan kurang dari 60 persen.
Seharusnya, lanjut Mahlil, perhitungan didasarkan pada survei tingkat kesakitan penduduk. Kealpaan lain yang dilakukan pemerintah adalah tidak memasukan basis profesionalisme dokter dan perbedaan geografis. ”Dokter fresh graduate (baru lulus) dan dokter senior disamakan, begitu pula dengan kondisi geografis.”
MOGOK DISESALKAN
IDI mengaku telah menghitung besaran premi rata-rata nasional yang ideal sesuai dengan nilai keekonomian dan profesionalitas, yaitu sebesar Rp60 ribu per orang/bulan dengan diambil untuk kapitasi layanan dokter sebesar Rp20 ribu.
Menanggapi permintaan IDI, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyatakan, pilihan iur premi sebesar Rp22,2 ribu sudah cukup baik. Pasalnya selain tidak memberatkan fiskal negara, besaran tersebut sudah masuk katagori safety (aman) lantaran bisa menampung utilisasi peserta BPJS hingga 110 persen.
Ghufron mengatakan, dengan premi sebesar itu, maka dikalkulasikan setiap Puskesmas dengan asumsi memiliki 10 ribu kunjungan per bulan bisa mendapat dana dari BPJS sebesar Rp30-40 juta per bulan.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Menurutnya, BPJS yang akan meluncur pada 1 Januari 2014 memang belum bisa memuaskan semua pihak. Badan nirlaba ini akan berjalan setahap demi tahap menuju perbaikan menyeluruh. Dia berjanji, pada 2019 nanti BPJS baru sempurna
Agung juga meminta para dokter tidak mogok kerja hanya gara-gara biaya pengobatan. Menurut Menko, memalukan kalau sampai dokter mogok lantaran soal biaya. “Selain itu, jika iuran premi Rp60 ribu diberlakukan, maka akan sangat memberatkan para pekerja dalam membayar iuran,” cetus Agung.
Sumu : http://mutupelayanankesehatan.net/in...ran-premi-bpjs
Gimana gan..!!?? klu ane emang bener2 mau ngurus BPJS Program dari pemerintah pusat. Semoga dapat membantu..
Diubah oleh dalbanznet 22-04-2014 04:46
0
3.6K
Kutip
18
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![The Lounge](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-21.png)
The Lounge![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
923.4KThread•84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya