Joko Widodo lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961. Joko merupakan putera daerah & dia menjabat sebagai Walikota untuk masa bakti 2005-2015.

Insinyur yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang mebel ini awalnya banyak yang meragukan kepemimpinannya. Namun setahun setelah dia memimpin, banyak gebrakan progresif yang dilakukannya. Joko banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya sbgai pengusaha mebel.

Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding “Solo: The Spirit of Java“, Joko Widodo mampu mendongkrak prestasi Kota Solo. Joko berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo & menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya di Solo

Namun langkah yang tergolong fenomenal yang pernah Joko Widodo lakukan adalah dalam hal merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Joko melakukan komunikasi langsung secara rutin & terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL

Dalam suatu kesempatan, Ayah dari 3 orang anak ini mengakui sulitnya memimpin sebuah kota. Jika dibandingkan dengan pengalamannya dalam memimpin sebuah perusahaan, memimpin kota jauh lebih kompleks. Meski sempat bungkam terkait rencananya utk kembali maju sbg calon Walikota Solo periode 2010-2015, tetapi akhirnya dia memutuskan utk kembali maju

Selama menjadi Walikota, tdk terdengar kasus korupsi yg dia lakukan. Bahkan uniknya Joko Widodo juga tidak “tunduk” kepd pengusaha dalam menjalankan kepemimpinannya. Ketika dia mengeluarkan instruksi kepada rumah sakit di seluruh Kota Solo agar bersedia membantu masyarakat miskin yang sakit dengan tidak memberatkan biaya pengobatan mereka, Joko menekankan, bagi rumah sakit yang tidak bersedia mengikuti instruksi ini akan dicabut IMB-nya. Kebijakan ini bisa dijadikan indikasi bahwa Joko jg menolak kolusi. Paling tidak, demikian yg selama ini dipublikasikan media

Nama Joko Widodo menjadi semakin popular setelah dia melakukan relokasi PKL. Berawal pada tahun 2005 ketika Joko Widodo, yg baru dilantik menjadi Walikota Solo, membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga Kota Solo. Dari hasil survey ditemukan bahwa kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan & taman di pusat kota disingkirkan

Joko memang sudah mempunyai program untuk menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yg bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Namun hasil survey tersebut membuat Joko menghadapi dilema. Di satu sisi dia merupakan seorang Walikota baru yg tidak ingin memancing konflik dengan para PKL di awal masa kepemimpinannya. Namun di sisi lain dia tdk dapat menutup mata untuk merespons keinginan sebagian masyarakat Solo yg ingin para PKL dipindahkan dari jalan-jalan dan taman

Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi. Namun dg cara yg strategik & hati-hati. Tiga Walikota sebelumnya terbukti tdk mampu melakukan relokasi. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor Walikota jika mereka digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan sekedar “gertak sambal”. Sejak dibangun, kantor Walikota Solo sudah dua kali dibakar, yakni pd tahun 1998 & 1999. Secara kultural, memang masyarakat Solo dikenal sebagai masyarakat yg lembut dan santun. Namun diakui juga bahwa masyarakat Solo sangat reaksioner & mudah terbakar emosinya

Sebagai pengusaha mebel selama 18 tahun, Joko memiliki pengalaman dalam melakukan lobby & negosiasi bisnis yang disebutnya “lobi meja makan”. Strategi ini kemudian dilakukan sebagai bentuk komunikasi politiknya. Targetnya sdh jelas, yakni para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yg bergabung dalam 11 paguyuban. Kemudian Joko Widodo mengundang & mengajak makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini tdk ada pembicaraan mengenai relokasi. Joko sama sekali tdk menyinggungnya. Dia beranggapan, hal itu belum waktunya disampaikan. Makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yg ke 53, dimana Joko hanya makan bersama & bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pd jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Joko mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka. Dan memang waktu yg tepat

Ketika Joko Widodo mengungkapkan hal itu, tdk ada satu pedagang pun yg menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yg diambil Joko Widodo, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru utk berdagang. Joko berjanji akan memberikan lokasi baru. & nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yg suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sekarang. Dg retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Joko juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Joko juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Joko berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura

Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “kleningan” khas Solo. Joko juga menghadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi & perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan suka cita. Ini merupakan sebuah terobosan yang mengagumkan.

Dalam salah satu wawancara dengan media lokal, Joko Widodo menyatakan bahwa para PKL itu bersedia pindah bukan karena mereka sudah diajak makan, namun karena para PKL itu merasa “dimanusiakan” oleh pemimpinnya. Strategi ini jelas unik dan konstruktif

Dalam teori “Empati & Homifili” dikatakan bhw sebuah komunikasi politik akan sukses bila seorang komunikator dapat memproyeksikan diri dg baik ke dalam sudut pandang khalayak atau masyarakat. Hal ini erat kaitannya dg citra diri komunikator politik untuk menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Komunikator melaksakan komunikasinya dg menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain dan dilaksanakan atas dasar kesamaan

Joko Widodo bisa jadi belum pernah mengetahui teori empati & homofili. Namun apa yang dilakukannya tampak selaras dengan teori ini. Hipotesa ini didasarkan pada beberapa hal berikut;

Pertama, Joko Widodo memahami betul bagaimana perasaan para PKL ketika mengetahui akan direlokasi. Para PKL itu merasa akan kehilangan pelanggan atau bahkan mata pencariannya. Karena itu Joko memberikan alternatif berupa tempat berdagang yg lebih baik daripada di jalan-jalan atau taman kota. Agar para pelanggan tetap bisa bertransaksi dg para PKL, Joko juga melakukan promosi melalui media lokal, memperluas jalan & membuat satu trayek angkutan kota baru

Kedua, Joko Widodo menunjukan empatinya ketika dia menjamu para PKL sebanyak 54 kali pertemuan. Dia tidak melakukan penggusuran secara paksa & dengan kekerasan. Dia memilih lobby dan diplomasi. Joko sadar betul bahwa ketika tahu akan direlokasi, para PKL akan bersikap defensif. Jika dipaksa akan terjadi gejolak yang mungkin memunculkan jatuhnya korban jiwa & kerugian dari kedua belah pihak. Karena itu “lobby meja makan” merupakan sebuah tindakan komunikasi politik yg simpatik dan berusaha memahami posisi para PKL

Ketiga, Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan, alih-alih melakukan pengusiran dg kekerasan, dengan menghadirkan budaya khas Solo, seperti penggunaan musik tradisional “kleningan” & pakaian adat. Arak-arakan yg dilakukan ini menunjukkan bahwa Joko ingin menunjukkan “kesamaan” dg para PKL, yakni kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin membangun Kota Solo menjadi lebih baik, & kesamaan bahwa mereka berasal dan memiliki budaya yang sama, yakni budaya orang Solo; pakaian adat yg sama, musik yg sama, tarian yg sama

Keempat, Tindakan Joko Widodo sekaligus menunjukkan keberpihakannya terhadap ekonomi kecil & pasar tradisional. Bukan hanya dalam soal PKL, di bawah kepemimpinannya Joko dg sukses membangun ekonomi kerakyatan. Kesamaan persepsi antara pemerintah dan para pedagang pada ekonomi kecil, memunculkan kesamaan persepsi pula bahwa masyarakat menganggap Walikota mereka berpihak pada masyarakat.