- Beranda
- Melek Hukum
Serba-Serbi Gratifikasi, Cedikot Gan!
...
TS
hukumonline.com
Serba-Serbi Gratifikasi, Cedikot Gan!
agan-aganwati inget resepsi pernikahan anak dari Sekretaris Mahkamah Agung beberapa waktu lalu? Tentu ingat dong, apalagi kehebohan yang dimunculkan karena resepsi pernikahan itu memberikan iPod sebagai suvenir bagi mereka yang menghadiri pernikahan.
Berbagai pihak pun gatal berkomentar, mulai dari rasa keheranan karena Sekretaris MA bisa mengadakan resepsi pernikahan semewah itu, hingga tuduhan gratifikasi karena suvenir iPod yang diterima oleh pejabat negara.
Khusus mengenai masalah gratifikasi, sampai-sampai pihak Mahkamah Agung harus mendatangi sendiri KPK, agar masalah ini menjadi jelas ujungnya. Nah, agan-agan yang mungkin sedikit penasaran dengan apa itu gratifikasi, cekidot!
1. Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi
2. Parcel Bermuatan Korupsi
3. Bolehkah Memberi Hadiah kepada Hakim?
4. Ancaman Pidana Bagi Penerima dan Pemberi Gratifikasi
Agan dan aganwati udah pada tau belum sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan gratifikasi?
Gratifikasi itu adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi ini termasuk yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Nah, siapa sih sebenarnya yang akan dihukum terkait dengan gratifikasi? Menurut Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik pemberi maupun penerima gratifikasi dapat dikenakan sanksi pidana.
Untuk penjelasan selengkapnya, baca artikel ini ya gan [URL="http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt503edf703889a/ancaman-pidana-bagi-pemberi-dan-penerima-gratifikasi "]Ancaman Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi[/URL]
5. Perbedaan Suap dan Gratifikasi
Suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya.
Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Jadi, peraturan perundang-undangan di Indonesia memang belum terlalu jelas memisahkan suap dan gratifikasi, karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: “Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom”, Greg Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).
Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami merujuk pada salah satu penjelasan yang diamuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut (hal. 1) dijelaskan sebagai berikut:
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu (hal. 19):
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkimpoian anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
Nah, agan sendiri punya pendapat soal gratifikasi ini? silahkan share di-mari gan!!!
Berbagai pihak pun gatal berkomentar, mulai dari rasa keheranan karena Sekretaris MA bisa mengadakan resepsi pernikahan semewah itu, hingga tuduhan gratifikasi karena suvenir iPod yang diterima oleh pejabat negara.
Khusus mengenai masalah gratifikasi, sampai-sampai pihak Mahkamah Agung harus mendatangi sendiri KPK, agar masalah ini menjadi jelas ujungnya. Nah, agan-agan yang mungkin sedikit penasaran dengan apa itu gratifikasi, cekidot!
1. Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi
Spoiler for Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi:
Hal lain yang gak kalah penting untuk dibahas mengenai gratifikasi adalah masalah pembuktiannya, Gan. Sering kali aparat penegak hukum menemui kesulitan untuk membuktikan apakah suatu perbuatan benar-benar memenuhi unsur-unsur tindak pidana gratifikasi atau tidak.
Pada dasarnya, mengenai asas pembuktian yang digunakan, pengaturan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bila nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Sedangkan, apabila nilai gratifikasinya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Artinya, asas pembuktian terbalik hanya diterapkan terhadap kasus suap yang nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih.
Salah satu hambatan dalam membuktikan apakah suatu gratifikasi merupakan suap atau tidak, adalah adanya kesulitan dalam menentukan apakah pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan suatu jabatan atau pekerjaan. Contohnya, pemberian parsel (gratifikasi) pada saat Lebaran, Natal atau Tahun Baru di kalangan pejabat sudah menjadi tradisi yang berlangsung puluhan tahun. Pada praktiknya, akan sulit untuk memilah mana pemberian parsel yang dilakukan dengan dengan niat silaturahim, dan pemberian parsel mana yang diiringi harapan naik jabatan atau dapat proyek.
Selain itu, implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit meng¬hadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar-masyarakat bahkan antar-bangsa.
Pada dasarnya, mengenai asas pembuktian yang digunakan, pengaturan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bila nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Sedangkan, apabila nilai gratifikasinya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Artinya, asas pembuktian terbalik hanya diterapkan terhadap kasus suap yang nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih.
Salah satu hambatan dalam membuktikan apakah suatu gratifikasi merupakan suap atau tidak, adalah adanya kesulitan dalam menentukan apakah pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan suatu jabatan atau pekerjaan. Contohnya, pemberian parsel (gratifikasi) pada saat Lebaran, Natal atau Tahun Baru di kalangan pejabat sudah menjadi tradisi yang berlangsung puluhan tahun. Pada praktiknya, akan sulit untuk memilah mana pemberian parsel yang dilakukan dengan dengan niat silaturahim, dan pemberian parsel mana yang diiringi harapan naik jabatan atau dapat proyek.
Selain itu, implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit meng¬hadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar-masyarakat bahkan antar-bangsa.
2. Parcel Bermuatan Korupsi
Spoiler for Parcel Bermuatan Korupsi:
Kalau bahas gratifikasi Gan ane jd inget budaya memberikan parcel saat lebaran ke pejabat-pejabat. Budaya ini Gan kalau diberikan ke pejabat bisa masuk kategori gratifikasi Gan, karena pemberian parcel ke pejabat gan biasanya mengandung niat untuk me-lobby.
KPK juga dengan jelas mengatakan pejabat penerima parcel dapat dijerat sanksi pidana, jika memenuhi dua usur. Unsur pertama adalah jika parcel yang diterima berkaitan dengan jabatannya, kedua berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Jika dua unsur tersebut terpenuhi, kalau tidak dilaporkan dalam 30 hari masuk ke dalam tindakan pidana.
Esensi pelarangan menerima parcel adalah mencegah adanya lobby terhadap pejabat yang cenderung mengarah pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena Parsel dinilai sebagai salah satu cara halus untuk mendekati pegawai negara terkait dengan jabatannya.
Sehingga meskipun harga parcel tersebut seratus ribu tetapi jika diberikan terkait dengan jabatannya sebagai pejabat negara maka parcel tersebut merupakan gratifikasi.
Seperti diatur Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pengecualian
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Dari peraturan tersebut dapat kita ketahui Gan bahwa parcel dapat menjadi salah satu bentuk gratifikasi.
Sumber :
http://www.hukumpedia.com/pidana/par...ae9172f0e.html
KPK juga dengan jelas mengatakan pejabat penerima parcel dapat dijerat sanksi pidana, jika memenuhi dua usur. Unsur pertama adalah jika parcel yang diterima berkaitan dengan jabatannya, kedua berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Jika dua unsur tersebut terpenuhi, kalau tidak dilaporkan dalam 30 hari masuk ke dalam tindakan pidana.
Esensi pelarangan menerima parcel adalah mencegah adanya lobby terhadap pejabat yang cenderung mengarah pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena Parsel dinilai sebagai salah satu cara halus untuk mendekati pegawai negara terkait dengan jabatannya.
Sehingga meskipun harga parcel tersebut seratus ribu tetapi jika diberikan terkait dengan jabatannya sebagai pejabat negara maka parcel tersebut merupakan gratifikasi.
Seperti diatur Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pengecualian
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Dari peraturan tersebut dapat kita ketahui Gan bahwa parcel dapat menjadi salah satu bentuk gratifikasi.
Sumber :
http://www.hukumpedia.com/pidana/par...ae9172f0e.html
3. Bolehkah Memberi Hadiah kepada Hakim?
Spoiler for Bolehkah Memberi Hadiah Kepada Hakim:
Mengacu pada UU Kekuasaan Kehakiman, hakim dalam menjalankan tugasnya wajib mematuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan PPH”) yang ditetapkan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Butir 2.2 Kode Etik dan PPH sudah mengatur Pemberian Hadiah dan Sejenisnya, disebutkan:
(1) Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
a. Advokat;
b. Penuntut;
c. Orang yang sedang diadili;
d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
e. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkimpoian, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Jadi, pada prinsipnya seorang hakim tidak hanya dilarang menerima pemberian terhadap dirinya tetapi juga harus mencegah keluarganya sendiri untuk meminta atau menerima pemberian hadiah yang ditujukan terhadap hakim tersebut.
Lebih jauh, kode Etik dan PPH juga mewajibkan hakim yang menerima gratifikasi untuk melaporkan secara tertulis ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi penerima dan pemberi gratifikasi diancam sanksi pidana, sebagaimana dijelaskan artikel Ancaman Pidana Bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi.
Jadi, pemberian hadiah walau didasari niat baik karena telah dimenangkan perkaranya, termasuk suatu bentuk gratifikasi. Hakim penerima gratifikasi bisa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhetian, juga terkena sanksi pidana. Ancaman pidana terhadap gratifikasi tidak hanya dapat dikenakan pada hakim yang bersangkutan tetapi juga kepada pemberi gratifikasi. Selengkapnya simak, Bolehkah Memberi Hadiah kepada Hakim?
(1) Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
a. Advokat;
b. Penuntut;
c. Orang yang sedang diadili;
d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
e. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkimpoian, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Jadi, pada prinsipnya seorang hakim tidak hanya dilarang menerima pemberian terhadap dirinya tetapi juga harus mencegah keluarganya sendiri untuk meminta atau menerima pemberian hadiah yang ditujukan terhadap hakim tersebut.
Lebih jauh, kode Etik dan PPH juga mewajibkan hakim yang menerima gratifikasi untuk melaporkan secara tertulis ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi penerima dan pemberi gratifikasi diancam sanksi pidana, sebagaimana dijelaskan artikel Ancaman Pidana Bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi.
Jadi, pemberian hadiah walau didasari niat baik karena telah dimenangkan perkaranya, termasuk suatu bentuk gratifikasi. Hakim penerima gratifikasi bisa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhetian, juga terkena sanksi pidana. Ancaman pidana terhadap gratifikasi tidak hanya dapat dikenakan pada hakim yang bersangkutan tetapi juga kepada pemberi gratifikasi. Selengkapnya simak, Bolehkah Memberi Hadiah kepada Hakim?
4. Ancaman Pidana Bagi Penerima dan Pemberi Gratifikasi
Spoiler for Ancaman Pidana Bagi Penerima dan Pemberi Gratifikasi:
Agan dan aganwati udah pada tau belum sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan gratifikasi?
Gratifikasi itu adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi ini termasuk yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Nah, siapa sih sebenarnya yang akan dihukum terkait dengan gratifikasi? Menurut Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik pemberi maupun penerima gratifikasi dapat dikenakan sanksi pidana.
Untuk penjelasan selengkapnya, baca artikel ini ya gan [URL="http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt503edf703889a/ancaman-pidana-bagi-pemberi-dan-penerima-gratifikasi "]Ancaman Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi[/URL]
5. Perbedaan Suap dan Gratifikasi
Spoiler for Perbedaan Suap dan Gratifikasi:
Suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya.
Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Jadi, peraturan perundang-undangan di Indonesia memang belum terlalu jelas memisahkan suap dan gratifikasi, karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: “Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom”, Greg Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).
Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami merujuk pada salah satu penjelasan yang diamuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut (hal. 1) dijelaskan sebagai berikut:
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu (hal. 19):
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkimpoian anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
Nah, agan sendiri punya pendapat soal gratifikasi ini? silahkan share di-mari gan!!!
(hot)
0
65.9K
Kutip
542
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Melek Hukum
7.6KThread•2.2KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya