- Beranda
- The Lounge
Istri atau Pembantu? [Muslim masuk, yang lain boleh juga, NO SARA]
...
TS
dark5ID3
Istri atau Pembantu? [Muslim masuk, yang lain boleh juga, NO SARA]
ane mau berbagi artikel yang cukup mengganggu pikiran ane nih gan, tolong disimak ya, dibaca selengkap-lengkapnya, baru komentar (silahkan utarakan pendapat agan sebebas-bebasnya, freedom of speech )
Quote:
catatan:bukan ane yang bikin artikel ini, ane cuma ngeshare aja
Quote:
Istri atau Pembantu Rumah Tangga??
Quote:
Wed, 8 January 2014 07:07 - 50129 | wanita
Assalamu'alaikum ustadz,
Mohon maaf ustadz, saya bertanya terkait dengan masalah rumah tangga.
Namun sayangnya saya tidak punya rekaman ceramah ustadz saat itu. Karena hal itu penting sekali, mohon kiranya lewat rumahfiqih.com ini, ustadz memberikan sedikit catatan yang bisa saya jadikan pegangan.
Terima kasih banyak sebelumnya.
Wassalam
Assalamu'alaikum ustadz,
Mohon maaf ustadz, saya bertanya terkait dengan masalah rumah tangga.
- Apakah seorang istri diwajibkan bekerja mencari uang untuk membantu suaminya dalam rumah tangganya? Ataukah semua itu merupakan beban suami tanpa ada kewajiban di pihak istri?
- Saya pernah mendengar ceramah ustadz tentang kewajiban seorang istri. Kalau tidak salah judulnya waktu itu adalah : Istri Bukan Pembantu. Terus terang saya baru paham bahwa ternyata syariah Islam begitu memuliakan para wanita. Selama ini yang saya tahu bahwa istri itu wajib mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga layaknya seorang PRT.
Namun sayangnya saya tidak punya rekaman ceramah ustadz saat itu. Karena hal itu penting sekali, mohon kiranya lewat rumahfiqih.com ini, ustadz memberikan sedikit catatan yang bisa saya jadikan pegangan.
Terima kasih banyak sebelumnya.
Wassalam
Spoiler for Jawaban dari sang ustadz:
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya syariat Islam sangat unik dalam mengatur tugas dan kewajiban para istri. Tidak seperti yang umumnya kita saksikan di negeri kita, ternyata baik mengasuh anak atau pun mencari rizqi untuk kehidupan rumah tangga, pada dasarnya dalam akad nikah tidak termasuk bagian dari tugas dan kewajiban istri.
Menafkahi Keluarga Bukan Tugas Istri
Jumhur ulama seluruhya sepakat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wali dan menantunya adalah akad yang selain terkait dengan kehalalan persetubuhan, juga merukapan akad yang mewajibkan si menantu atau suami untuk menanggung beban kehidupan istri dan anak-anaknya nanti.
Akad nikah bukan akad kerjasama antara suami dan istri untuk menanggung bersama rumah tangga itu. Akad nikah hanya membebani suami saja, dan tidak ada beban apa pun di pihak istri. Dari situlah datangnya kepemimpinan suami atas istri, sebagaimana sudah ditetapkan Allah SWT di dalam Al-Quran.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Akad nikah itu mewajibkan suami memberi mahar (mas kimpoi), dan memberikan hak kepada istri untuk menerimanya. Istri sama sekali tidak pernah diwajibkan memberi mahar kepada suami.
Akad nikah itu mewajibkan suami memberi nafkah kepada istri, dan memberikan hak istri untuk menerimanya. Istri sama sekali tidak pernah dianjurkan, apalagi diwajibkan, untuk memberi nafkah kepada suami. Tidak ada kamusnya dalam Islam bahwa seorang istri harus 'bantu-bantu' suami dalam urusan menghidupi keluarga. Seratus persen kewajiban itu adanya di pundak suami.
Kalau Bukan Kewajiban, Lalu Apa Tugas Dasar Seorang Istri?
Seorang wanita berhak untuk memiliki harta sendiri. Dan hak itu dijamin dalam syariat Islam. Demikian juga, seorang wanita berhak untuk melakukan aktifitas ekonomi yang menghasilkan harta, di luar dari apa yang telah menjadi hak nafkah dari suaminya.
Namun yang menjadi masalah seorang isri juga wajib berada di sisi suaminya bila memang suaminya memerlukan. Dalam hal ini sudah menjadi kewajiban istri untuk stand-by bila suaminya membutuhkan dirinya.
Namun perlu juga ditegaskan, bahwa posisi istri sama sekali bukan posisi pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga memang dibayar untuk mengerjakan semua urusan rumah tangga, mulai dari memasak, menyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, memberi makan anak, memandikan, memberi makan dan seabreg tugas lainnya.
Aneh bin Ajaib : Para Wanita Justru Tidak Terima
Segala urusan tetek bengek yang aslinya merupakan tugas PRT, tiba-tiba dan seoah-olah menjadi kewajiban istri. Namun karena otak para wanita negeri kita sudah diformat menjadi pembantu sejak kecil, maka berubah profesi jadi pembantu rumah tangga pun tidak mengapa. Tidak ada yang protes atas semua hal ini.
Malahan yang terjadi sebalikya. Ketika saya menyampaikan materi yang berjudul : 'Istri Bukan Pembantu' di berbagai tempat, dimana pesertanya kebanyakan ibu-ibu dan para wanita, kebanyakan mereka tetap tidak percaya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau ternyata istri itu bukan pembantu.
Dan tidak sedikit dari para wanita yang justru membantah keras apa yang saya utarakan. Padahal saya tidak mengarang dan juga tidak sedang melamun. Saya sedang membaca isi kitab-kitab fiqih karya para ulama, yang tentunya semua bersumber dari kitabullah dan sunnah rasulullah SAW.
Tetapi para wanita itu justru menolak kitab fiqih dan minta ayat Quran yang menyebutkan bahwa wanita bukan pembantu.
Fatwa Empat Mazhab Terkait Bahwa Istri Bukan Pembantu
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Kasani dalam kitab Badai'ush-Shanai' menyebutkan hal-hal berikut ini :
Masih dalam mazhab yang sama tetapi dalam kitab lainnya yaitu kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah juga disebutkan hal yang senada :
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan:
3. Mazhab As-Syafi'iyah
Al-Imam Asy-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskan :
4. Al-Hanabilah
Pendapat mazhab Al-Hanabilah pun sejalan dengan mazhab-mazhab lainnya, yaitu bahwa intinya tugas istri bukanlah tugas para pembantu rumah tangga.
Namun seperti yang saya katakan tadi, nyaris semua tulisan para ulama ini ditolak mentah-mentah justru oleh para wanita kita sendiri.
Padahal di Timur Tengah dan di Arab sana semua terbukti. Kita jarang menemukan para wanita bekerja di dapur sebagaimana lazimnya pembantu. Bahkan yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga pun bukan ibu-ibu seperti di negeri kita.
Bulan Ramadhan tahun 2008, Penulis diundang berceramah di Doha Qatar. Memang sangat kontras pemandangannya. Selama beberapa hari di Doha, Penulis memang sempat bertandang ke beberapa pusat perbelanjaan. Memang rata-rata yang belanja kebutuhan sehari-hari kebanyakan bukan ibu-ibu macam di Indonesia. Justru yang belanja di mall untuk kebutuhan sehar-hari kebanyakan bapak-bapak yang jenggotan dan brewokan.
Penulis juga sempat heran dan bertanya dalam hati, ini emak-emak pada kemana ya? Pasar kok isinya lanang kabeh (baca : lelaki semua). Oleh karena itulah maka Penulis kemudian membuka beberapa literatur yang original dari beberapa kitab turats yang ditulis oleh para ulama, khusus pada masalah yang ditanyakan tersebut.
Dan memang Penulis pun baru sadar, bahwa ternyata apa yang kita pikirkan selama ini tentang tugas para istri, lebih merupakan pemahaman lokal budaya bangsa kita saja.
Sementara kalau kita merujuk ke aturan yang asli dan original dari syariat Islam, setidaknya lewat apa yang ditulis oleh para ulama salaf, tugas para istri tidak seberat para pembantu rumah tangga.
Dalam format berpikir bangsa kita, posisi seorang istri memang lebih merupakan abdi atau pembantu buat suami. Secara tidak sadar, kita menganggap semua itu berasal dari ajaran agama Islam. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Islam telah mewajibkan para istri untuk melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, layaknya seorang pembantu.
Lalu apakah para wanita negeri kita harus menuntut dan mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaan sejak zaman nenek moyang?
Jawabannya tentu saja tidak. Kalau para wanitanya sendiri sudah merasa nyaman dengan pola kehidupan seperti itu, ikhlas, ridha dan bahagia, tentu saja semua itu menjadi hak mereka.
Kalau seorang istri merasa enjoy dengan semua tugas rumah tangga itu, maka bukan cuma boleh hukumnya, tetapi juga mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Sebab semua itu termasuk bagian dari amal shalih yang dikerjakan dengan tulus, walaupun bukan tugasnya.
Ibarat kita menumpang taksi, tetapi dapat pengemudi yang baik. Walau pun sebenarnya tugas sopir taksi cuma mengantarkan kita sampai tujuan, kalau dia mau mengangkat semua barang bawaan kita, juga mau disuruh nyapu, ngepel, masak dan cuci baju, ya kenapa harus dilarang? Asalkan semua dilakukan ikhlas tanpa pamrih, tentu sopir taksi itu dapat pahala di sisi Allah.
Kesimpulannya : menjadi pembantu rumah tangga di rumah sendiri tidak salah buat para istri, walaupun pada dasarnya Islam tidak mewajibkannya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sebenarnya syariat Islam sangat unik dalam mengatur tugas dan kewajiban para istri. Tidak seperti yang umumnya kita saksikan di negeri kita, ternyata baik mengasuh anak atau pun mencari rizqi untuk kehidupan rumah tangga, pada dasarnya dalam akad nikah tidak termasuk bagian dari tugas dan kewajiban istri.
Menafkahi Keluarga Bukan Tugas Istri
Jumhur ulama seluruhya sepakat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wali dan menantunya adalah akad yang selain terkait dengan kehalalan persetubuhan, juga merukapan akad yang mewajibkan si menantu atau suami untuk menanggung beban kehidupan istri dan anak-anaknya nanti.
Akad nikah bukan akad kerjasama antara suami dan istri untuk menanggung bersama rumah tangga itu. Akad nikah hanya membebani suami saja, dan tidak ada beban apa pun di pihak istri. Dari situlah datangnya kepemimpinan suami atas istri, sebagaimana sudah ditetapkan Allah SWT di dalam Al-Quran.
Quote:
الرجَالُ قَوامُونَ عَلَى النسَاءِ بِمَا فَضلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Akad nikah itu mewajibkan suami memberi mahar (mas kimpoi), dan memberikan hak kepada istri untuk menerimanya. Istri sama sekali tidak pernah diwajibkan memberi mahar kepada suami.
Akad nikah itu mewajibkan suami memberi nafkah kepada istri, dan memberikan hak istri untuk menerimanya. Istri sama sekali tidak pernah dianjurkan, apalagi diwajibkan, untuk memberi nafkah kepada suami. Tidak ada kamusnya dalam Islam bahwa seorang istri harus 'bantu-bantu' suami dalam urusan menghidupi keluarga. Seratus persen kewajiban itu adanya di pundak suami.
Quote:
Bahkan kalau suami tidak mampu memberi nafkah dan membiayai kehidupan rumah tangga, istri berhak mengundurkan diri dari ikatan pernikahan, dengan jalan fasakh. Hak itu 100% dijamin oleh syariat Islam.
Kalau Bukan Kewajiban, Lalu Apa Tugas Dasar Seorang Istri?
Seorang wanita berhak untuk memiliki harta sendiri. Dan hak itu dijamin dalam syariat Islam. Demikian juga, seorang wanita berhak untuk melakukan aktifitas ekonomi yang menghasilkan harta, di luar dari apa yang telah menjadi hak nafkah dari suaminya.
Namun yang menjadi masalah seorang isri juga wajib berada di sisi suaminya bila memang suaminya memerlukan. Dalam hal ini sudah menjadi kewajiban istri untuk stand-by bila suaminya membutuhkan dirinya.
Namun perlu juga ditegaskan, bahwa posisi istri sama sekali bukan posisi pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga memang dibayar untuk mengerjakan semua urusan rumah tangga, mulai dari memasak, menyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, memberi makan anak, memandikan, memberi makan dan seabreg tugas lainnya.
Quote:
Akad nikah yang terjadi antara mertua dan menantu sama sekali tidak ada kaitannya dengan segala tugas pembantu itu. Jumhur ulama sepakat bahwa satu-satunya kewajiban seorang istri dari akad nikah itu semata-mata hanya memberikan pelayanan seksual kepada suami.
Quote:
Kalau istri itu rela dan suka melakukan semua tugas pembantu, maka hal itu sekedar menjadi 'added vallue' atau nilai tambah alias bonus. Ibarat kita beli HP dapat gelas dan cangkir. Kadang nlai tambah itu ada, tetapi kadang tidak ada.
Aneh bin Ajaib : Para Wanita Justru Tidak Terima
Quote:
Yang menurut saya rada aneh atau lucu, tetapi juga menarik untuk diperhatikan, ternyata para wanita di negeri kita sejak masih lahir sudah ditanamkan 'nilai tambah' ini oleh orang tua dan lingkungannya, bahkan oleh para guru dan ustadznya. Sehingga ketika akad nikah terjadi, seorang wanita resmi menjadi 'pembantu rumah tangga' buat suaminya.
Segala urusan tetek bengek yang aslinya merupakan tugas PRT, tiba-tiba dan seoah-olah menjadi kewajiban istri. Namun karena otak para wanita negeri kita sudah diformat menjadi pembantu sejak kecil, maka berubah profesi jadi pembantu rumah tangga pun tidak mengapa. Tidak ada yang protes atas semua hal ini.
Malahan yang terjadi sebalikya. Ketika saya menyampaikan materi yang berjudul : 'Istri Bukan Pembantu' di berbagai tempat, dimana pesertanya kebanyakan ibu-ibu dan para wanita, kebanyakan mereka tetap tidak percaya. Mereka sama sekali tidak menduga kalau ternyata istri itu bukan pembantu.
Dan tidak sedikit dari para wanita yang justru membantah keras apa yang saya utarakan. Padahal saya tidak mengarang dan juga tidak sedang melamun. Saya sedang membaca isi kitab-kitab fiqih karya para ulama, yang tentunya semua bersumber dari kitabullah dan sunnah rasulullah SAW.
Tetapi para wanita itu justru menolak kitab fiqih dan minta ayat Quran yang menyebutkan bahwa wanita bukan pembantu.
Fatwa Empat Mazhab Terkait Bahwa Istri Bukan Pembantu
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Kasani dalam kitab Badai'ush-Shanai' menyebutkan hal-hal berikut ini :
Quote:
Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap (Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai‘).
Masih dalam mazhab yang sama tetapi dalam kitab lainnya yaitu kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah juga disebutkan hal yang senada :
Quote:
Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan:
Quote:
Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat Bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya. (kitab Asy-Syarhul Kabir oleh Ad-Dardir)
3. Mazhab As-Syafi'iyah
Al-Imam Asy-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskan :
Quote:
Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.. (kitab Al-Muhadzdzab oleh Asy-Syirozi)
4. Al-Hanabilah
Pendapat mazhab Al-Hanabilah pun sejalan dengan mazhab-mazhab lainnya, yaitu bahwa intinya tugas istri bukanlah tugas para pembantu rumah tangga.
Quote:
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual.
Dan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
Dan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
Namun seperti yang saya katakan tadi, nyaris semua tulisan para ulama ini ditolak mentah-mentah justru oleh para wanita kita sendiri.
Padahal di Timur Tengah dan di Arab sana semua terbukti. Kita jarang menemukan para wanita bekerja di dapur sebagaimana lazimnya pembantu. Bahkan yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga pun bukan ibu-ibu seperti di negeri kita.
Bulan Ramadhan tahun 2008, Penulis diundang berceramah di Doha Qatar. Memang sangat kontras pemandangannya. Selama beberapa hari di Doha, Penulis memang sempat bertandang ke beberapa pusat perbelanjaan. Memang rata-rata yang belanja kebutuhan sehari-hari kebanyakan bukan ibu-ibu macam di Indonesia. Justru yang belanja di mall untuk kebutuhan sehar-hari kebanyakan bapak-bapak yang jenggotan dan brewokan.
Penulis juga sempat heran dan bertanya dalam hati, ini emak-emak pada kemana ya? Pasar kok isinya lanang kabeh (baca : lelaki semua). Oleh karena itulah maka Penulis kemudian membuka beberapa literatur yang original dari beberapa kitab turats yang ditulis oleh para ulama, khusus pada masalah yang ditanyakan tersebut.
Dan memang Penulis pun baru sadar, bahwa ternyata apa yang kita pikirkan selama ini tentang tugas para istri, lebih merupakan pemahaman lokal budaya bangsa kita saja.
Sementara kalau kita merujuk ke aturan yang asli dan original dari syariat Islam, setidaknya lewat apa yang ditulis oleh para ulama salaf, tugas para istri tidak seberat para pembantu rumah tangga.
Dalam format berpikir bangsa kita, posisi seorang istri memang lebih merupakan abdi atau pembantu buat suami. Secara tidak sadar, kita menganggap semua itu berasal dari ajaran agama Islam. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Islam telah mewajibkan para istri untuk melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, layaknya seorang pembantu.
Lalu apakah para wanita negeri kita harus menuntut dan mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaan sejak zaman nenek moyang?
Jawabannya tentu saja tidak. Kalau para wanitanya sendiri sudah merasa nyaman dengan pola kehidupan seperti itu, ikhlas, ridha dan bahagia, tentu saja semua itu menjadi hak mereka.
Kalau seorang istri merasa enjoy dengan semua tugas rumah tangga itu, maka bukan cuma boleh hukumnya, tetapi juga mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Sebab semua itu termasuk bagian dari amal shalih yang dikerjakan dengan tulus, walaupun bukan tugasnya.
Ibarat kita menumpang taksi, tetapi dapat pengemudi yang baik. Walau pun sebenarnya tugas sopir taksi cuma mengantarkan kita sampai tujuan, kalau dia mau mengangkat semua barang bawaan kita, juga mau disuruh nyapu, ngepel, masak dan cuci baju, ya kenapa harus dilarang? Asalkan semua dilakukan ikhlas tanpa pamrih, tentu sopir taksi itu dapat pahala di sisi Allah.
Kesimpulannya : menjadi pembantu rumah tangga di rumah sendiri tidak salah buat para istri, walaupun pada dasarnya Islam tidak mewajibkannya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
bagaimana pendapat agan-agan sekalian? ane ga setuju sama artikel ini, terutama bagian ini: Bahkan kalau suami tidak mampu memberi nafkah dan membiayai kehidupan rumah tangga, istri berhak mengundurkan diri dari ikatan pernikahan, dengan jalan fasakh. Hak itu 100% dijamin oleh syariat Islam. jadi kalo suaminya dah tua, dah ga bisa apa2 lagi gpp ditinggal gitu?? atau suaminya sakit keras smp ga bisa ngasih nafkah lagi gpp ditinggal begitu saja??
ane tunggu komen dari agan-agan kalo agan ga bisa ngasih cendol tolong jangan ngasih ane bata minimal di rate 5 lah biar agan-agan yg lain bisa baca juga..hehe
walaupun thread ini masih banyak kekurangannya, tapi ane tetap berharap thread ini bisa jadi Hot Thread..hehe aamiiin
sekian dari ane gan, kurang lebihnya mohon maaf. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Quote:
Quote:
Original Posted By rega07►ane nggak berani berspekulasi lebih jauh. takut kesasar bid'ah. tapi coba agan2 semua dan TS, terutama aganwati baca tentang kisah ummu mutiah. silahkan cari di google. bagaimana pendapat agan semua
oke gan
Quote:
Ummu Mutiah, Perempuan Pertama Penghuni Surga
Quote:
Fatimah Az-Zahra, walaupun putri kesayangan Rasulullah SAW, namun tidak pernah manja. Pantang baginya meminta sesuatu kepada sang ayah. Hidupnya sederhana, dan taat beribadah.
Sebagai seorang istri, serta ibu dari Hasan dan Husein, Fatimah selalu sabar dan ikhlas. Tugas kesehariannya dijalani sendiri, seperti menggiling gandum sampai tangannya lecet. Tidak ragu mengangkut air untuk kebutuhan keluarga hingga alasnya berbekas di dadanya. Rumah Fatimah selalu bersih, dan rapi berkat keuletannya mengurus perabotan di rumah.
Suatu hari Fatimah menanyakan kepada ayahnya, siapakah perempuan yang pertama kali masuk surga? Rasulullah menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama masuk surga, selain Ummul Mukminin, dia adalah Ummu Mutiah.”
“Siapakah Mutiah itu, ya Rasulullah? Di manakah dia tinggal?” tanya Fatimah penasaran. Karena tidak ada yang mengenal Mutiah. Rasulullah menjelaskan, Ummu Mutiah yang dimaksud adalah perempuan yang tinggal di pinggiran Kota Madinah.
Jawaban itu membuat Fatimah tercengang. Ternyata bukan dirinya perempuan yang masuk surga pertama kali. Padahal Fatimah sebagai putri Rasulullah, dan telah menjalankan ibadah, amalan, serta bermuamalah dengan baik.
Untuk memenuhi rasa penasaran, Fatimah berkunjung ke rumah Mutiah di pinggiran Madinah. Dia ingin menyelidiki amalan dan ibadah apa yang dilakukan Mutiah hingga Rasulullah menyebut namanya sebagai perempuan terhormat.
Keesokan harinya, Fatimah pamit kepada suaminya mengunjungi kediaman Mutiah. Dia mengajak putranya Hasan. Setelah mengetuk pintu, memberi salam, terdengar suara dari dalam rumah. “Siapa di luar?” tanya Mutiah.
Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.”
Mutiah belum mau membuka pintu, malah balik bertanya, “Ada keperluan apa?”
Fatimah menjawab, ingin bersilaturahim saja. Dari dalam rumah Mutiah kembali bertanya, “Anda seorang diri atau bersama yang lain?”
“Saya bersama Hasan, putra saya,” jawab Fatimah dengan sabar.
“Maaf, Fatimah,” kata Mutiah, “Saya belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”
“Tetapi Hasan anak-anak,” balas Fatimah.
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami saya,” timpal Mutiah.
Fatimah tidak bisa menolak. Setelah mengucapkan salam ia bersama Hasan meninggalkan kediaman Mutiah.
Keesokan harinya, Fatimah kembali mengunjungi rumah Ummu Mutiah. Kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, Husein pun ingin ikut ibunya. Tiba dikediaman Ummu Mutiah, terjadi lagi dialog dari balik pintu.
Menurut Mutiah, suaminya telah mengizinkan Hasan masuk ke rumahnya. Sebelum pintu dibuka, Fatimah mengatakan, kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, melainkan bertiga bersama Husein. Mendengar jawaban Fatimah, Mutiah urung membukakan pintu.
Mutiah menanyakan, apakah Husein seorang perempuan? Fatimah meyakinkan Mutiah bahwa, Husein cucu Rasulullah, saudaranya Hasan. “Dia seorang anak laki-laki.”
“Saya belum meminta izin kepada suami kalau Husein mau berkunjung ke rumah ini,” kata Mutiah.
“Tapi Husein masih anak-anak,” tegas Fatimah.
“Walaupun anak-anak, Husein laki-laki juga. Maafkan Fatimah, bagaimana kalau kembali besok, setelah saya meminta izin kepada suami,” kata Mutiah.
Fatimah tidak bisa memaksa Mutiah. Dia bersama Hasan dan Husein kembali pulang, namun besok berjanji untuk datang lagi.
Keesokan harinya, Mutiah menyambut kedatangan Fatimah bersama Hasan dan Husein dengan gembira. Kali ini kehadiran Hasan dan Husein telah mendapat izin dari suaminya. Fatimah pun bersemangat ingin segera ‘menyelidiki’ ibadah, amalan, dan muamalah apa saja yang dilakukan perempuan pertama masuk surga ini.
Keadaan rumah Mutiah jauh dari yang dibayangkan Fatimah. Rumahnya sangat sederhana, tanpa perabotan mewah. Namun, semuanya tertata rapi dan bersih. Tempat tidur beralaskan seprai putih yang harum. Setiap sudut ruangan tampak segar dan wangi membuat penghuninya senang berlama-lama di rumah. Hasan dan Husein pun merasa betah bermain di kediaman Ummu Mutiah.
Selama berkunjung, Fatimah tidak menemukan sesuatu yang istimewa dilakukan Mutiah. Namun, Ummu Mutiah kelihatan sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. “Maaf Fatimah, saya tidak bisa duduk tenang menemanimu, karena saya harus menyiapkan makanan untuk suami,” ungkap Mutiah yang terlihat sibuk.
Mendekati waktu makan siang semua masakan sudah tersedia. Mutiah menuangkan satu per satu makanan di wadah khusus untuk dikirim ke suaminya yang bekerja di ladang. Yang membuat Fatimah heran, selain makanan, Mutiah membawa bekal sebuah cambuk.
“Apakah suamimu penggembala?” tanya Fatimah. Menurut Mutiah, suaminya bekerja sebagai petani, bukan penggembala.
“Lalu, untuk apa cambuk tersebut?” tanya Fatimah semakin penasaran.
Mutiah menjelaskan, cambuk ini sangat penting fungsinya. Jika suami Mutiah merasa masakan istrinya tidak enak, dia ridha cambuk yang ‘bicara’.
Mutiah akan menyerahkan cambuk kepada suaminya untuk dipukulkan ke punggungnya. “Berarti aku tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya,” kata Mutiah.
“Apakah itu kehendak suamimu?” tanya Fatimah.
“Ini bukan kehendak suami. Suamiku orang yang penuh kasih sayang. Semua ini kulakukan karena keinginanku sendiri, agar jangan sampai menjadi istri durhaka kepada suami.”
Jawaban Mutiah menjadi jawaban atas misteri yang selama ini dicari Fatimah. Masya Allah, demi menyenangkan suami, Mutiah rela dicambuk.
“Aku hanya mencari keridhaan dari suami, karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan suami ridha kepada istrinya,” ujar Mutiah.
“Ternyata ini rahasianya,” gumam Fatimah.
Mutiah kini balik heran, “Maksudnya rahasia apa, Fatimah?”
Fatimah menjelaskan bahwa Rasulullah mengatakan dirinya (Ummu Mutiah) adalah perempuan yang diperkenankan masuk surga pertama kali.
“Pantas saja kelak Mutiah menjadi perempuan pertama masuk surga. Dia menjaga diri dan sangat tulus berbakti kepada suami,” ujar Fatimah dalam hati.
Apa yang dilakukan Mutiah bukan simbol perbudakan suami kepada istrinya. Melainkan cermin ketulusan, dan pengorbanan istri yang patut mendapat balasan surga.
Sebagai seorang istri, serta ibu dari Hasan dan Husein, Fatimah selalu sabar dan ikhlas. Tugas kesehariannya dijalani sendiri, seperti menggiling gandum sampai tangannya lecet. Tidak ragu mengangkut air untuk kebutuhan keluarga hingga alasnya berbekas di dadanya. Rumah Fatimah selalu bersih, dan rapi berkat keuletannya mengurus perabotan di rumah.
Suatu hari Fatimah menanyakan kepada ayahnya, siapakah perempuan yang pertama kali masuk surga? Rasulullah menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama masuk surga, selain Ummul Mukminin, dia adalah Ummu Mutiah.”
“Siapakah Mutiah itu, ya Rasulullah? Di manakah dia tinggal?” tanya Fatimah penasaran. Karena tidak ada yang mengenal Mutiah. Rasulullah menjelaskan, Ummu Mutiah yang dimaksud adalah perempuan yang tinggal di pinggiran Kota Madinah.
Jawaban itu membuat Fatimah tercengang. Ternyata bukan dirinya perempuan yang masuk surga pertama kali. Padahal Fatimah sebagai putri Rasulullah, dan telah menjalankan ibadah, amalan, serta bermuamalah dengan baik.
Untuk memenuhi rasa penasaran, Fatimah berkunjung ke rumah Mutiah di pinggiran Madinah. Dia ingin menyelidiki amalan dan ibadah apa yang dilakukan Mutiah hingga Rasulullah menyebut namanya sebagai perempuan terhormat.
Keesokan harinya, Fatimah pamit kepada suaminya mengunjungi kediaman Mutiah. Dia mengajak putranya Hasan. Setelah mengetuk pintu, memberi salam, terdengar suara dari dalam rumah. “Siapa di luar?” tanya Mutiah.
Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.”
Mutiah belum mau membuka pintu, malah balik bertanya, “Ada keperluan apa?”
Fatimah menjawab, ingin bersilaturahim saja. Dari dalam rumah Mutiah kembali bertanya, “Anda seorang diri atau bersama yang lain?”
“Saya bersama Hasan, putra saya,” jawab Fatimah dengan sabar.
“Maaf, Fatimah,” kata Mutiah, “Saya belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”
“Tetapi Hasan anak-anak,” balas Fatimah.
“Walaupun anak-anak, dia lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami saya,” timpal Mutiah.
Fatimah tidak bisa menolak. Setelah mengucapkan salam ia bersama Hasan meninggalkan kediaman Mutiah.
Keesokan harinya, Fatimah kembali mengunjungi rumah Ummu Mutiah. Kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, Husein pun ingin ikut ibunya. Tiba dikediaman Ummu Mutiah, terjadi lagi dialog dari balik pintu.
Menurut Mutiah, suaminya telah mengizinkan Hasan masuk ke rumahnya. Sebelum pintu dibuka, Fatimah mengatakan, kali ini bukan hanya Hasan yang ikut, melainkan bertiga bersama Husein. Mendengar jawaban Fatimah, Mutiah urung membukakan pintu.
Mutiah menanyakan, apakah Husein seorang perempuan? Fatimah meyakinkan Mutiah bahwa, Husein cucu Rasulullah, saudaranya Hasan. “Dia seorang anak laki-laki.”
“Saya belum meminta izin kepada suami kalau Husein mau berkunjung ke rumah ini,” kata Mutiah.
“Tapi Husein masih anak-anak,” tegas Fatimah.
“Walaupun anak-anak, Husein laki-laki juga. Maafkan Fatimah, bagaimana kalau kembali besok, setelah saya meminta izin kepada suami,” kata Mutiah.
Fatimah tidak bisa memaksa Mutiah. Dia bersama Hasan dan Husein kembali pulang, namun besok berjanji untuk datang lagi.
Keesokan harinya, Mutiah menyambut kedatangan Fatimah bersama Hasan dan Husein dengan gembira. Kali ini kehadiran Hasan dan Husein telah mendapat izin dari suaminya. Fatimah pun bersemangat ingin segera ‘menyelidiki’ ibadah, amalan, dan muamalah apa saja yang dilakukan perempuan pertama masuk surga ini.
Keadaan rumah Mutiah jauh dari yang dibayangkan Fatimah. Rumahnya sangat sederhana, tanpa perabotan mewah. Namun, semuanya tertata rapi dan bersih. Tempat tidur beralaskan seprai putih yang harum. Setiap sudut ruangan tampak segar dan wangi membuat penghuninya senang berlama-lama di rumah. Hasan dan Husein pun merasa betah bermain di kediaman Ummu Mutiah.
Selama berkunjung, Fatimah tidak menemukan sesuatu yang istimewa dilakukan Mutiah. Namun, Ummu Mutiah kelihatan sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. “Maaf Fatimah, saya tidak bisa duduk tenang menemanimu, karena saya harus menyiapkan makanan untuk suami,” ungkap Mutiah yang terlihat sibuk.
Mendekati waktu makan siang semua masakan sudah tersedia. Mutiah menuangkan satu per satu makanan di wadah khusus untuk dikirim ke suaminya yang bekerja di ladang. Yang membuat Fatimah heran, selain makanan, Mutiah membawa bekal sebuah cambuk.
“Apakah suamimu penggembala?” tanya Fatimah. Menurut Mutiah, suaminya bekerja sebagai petani, bukan penggembala.
“Lalu, untuk apa cambuk tersebut?” tanya Fatimah semakin penasaran.
Mutiah menjelaskan, cambuk ini sangat penting fungsinya. Jika suami Mutiah merasa masakan istrinya tidak enak, dia ridha cambuk yang ‘bicara’.
Mutiah akan menyerahkan cambuk kepada suaminya untuk dipukulkan ke punggungnya. “Berarti aku tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya,” kata Mutiah.
“Apakah itu kehendak suamimu?” tanya Fatimah.
“Ini bukan kehendak suami. Suamiku orang yang penuh kasih sayang. Semua ini kulakukan karena keinginanku sendiri, agar jangan sampai menjadi istri durhaka kepada suami.”
Jawaban Mutiah menjadi jawaban atas misteri yang selama ini dicari Fatimah. Masya Allah, demi menyenangkan suami, Mutiah rela dicambuk.
“Aku hanya mencari keridhaan dari suami, karena istri yang baik adalah istri yang patuh pada suami yang baik dan suami ridha kepada istrinya,” ujar Mutiah.
“Ternyata ini rahasianya,” gumam Fatimah.
Mutiah kini balik heran, “Maksudnya rahasia apa, Fatimah?”
Fatimah menjelaskan bahwa Rasulullah mengatakan dirinya (Ummu Mutiah) adalah perempuan yang diperkenankan masuk surga pertama kali.
“Pantas saja kelak Mutiah menjadi perempuan pertama masuk surga. Dia menjaga diri dan sangat tulus berbakti kepada suami,” ujar Fatimah dalam hati.
Apa yang dilakukan Mutiah bukan simbol perbudakan suami kepada istrinya. Melainkan cermin ketulusan, dan pengorbanan istri yang patut mendapat balasan surga.
Quote:
sumber: Ummu Mutiah
Diubah oleh dark5ID3 22-01-2014 03:43
0
21.6K
Kutip
124
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
924.5KThread•88.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok