- Beranda
- The Lounge
Dokter indonesia
...
TS
ronhidayatullah
Dokter indonesia
maaf gan klo masih compang-camping. ini tread pertama ane
Nasib dan SOP
Pada tahun 1914, meletus perang dunia pertama. Saat itu banyak korban manusia baik sipil maupun militer yang terkena serpihan bom dan proyektil peluru. Jika itu terjadi, maka dokter saat itu akan berusaha mengeluarkan metal yang bersarang, membersihkan bekas luka dengan cairan anti kuman. Jika dikemudian hari pasien menjadi demam tinggi dan infeksi didalam luka, yang bisa dilakukan hanya membersihkan luka sebisanya. Selanjutnya jika daya tahan tubuh tidak sekuat infeksinya maka kuman akan menyebar keseluruh tubuh(sepsis) dan kebanyakan akan meninggal. Jika hal itu terjadi masyarakat saat itu telah faham bahwa itu adalah “nasib dari yang Kuasa”.
Terimakasih kepada Alexander Fleming yang pada tahun 1928 menemukan jamur yang menghambat pertumbuhan kuman. Dan dengan segala penelitian dan kemajuan tehnik produksi baru pada tahun 1944 atau 26 tahun kemudian bisa beredar dimasyarakat luas dengan nama penisilin. Obat ini lah yang menyelamatkan jutaan korban perang dunia kedua dari kematian akibat infeksi. Sehingga berkembanglah ilmu kedokteran tentang pengendalian infeksi dengan pemberian antibiotik. Hal ini telah di ajarkan di semua mahasiswa kedokteran dan ditaati sebagai standart operasional prosedur di rumahsakit. Dan jika sampai hari ini ada dokter yang tidak memberikan antibiotic kepada pasien infeksi dan akhirnya pasien meninggal, hal ini bukan lagi “nasib dari yang Kuasa” tetapi sebuah kelalaian yang bisa dipidanakan.
Jadi apa yang dikatakan penyebab kematian “nasib dari yang Kuasa” zaman dahulu bisa berubah sesuai perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi. Jika saat ini pada sebuah operasi gawat darurat belum ditemukan tehnologi yang handal, akurat, cepat dan mudah untuk mendeteksi dan mengobati emboli udara dan karena itu menyebabkan pasien meninggal maka terimalah sebagai “nasib dari yang Kuasa” sama seperti masyarakat saat perang dunia pertama. Mungkin anda marah, memaki, dan mengungkit semua (yang anda anggap) mallpraktek dan segala kekecewaan saat berobat di Indonesia, ya silahkan. Tetapi itu tetap tidak mengubah bahwa itu diluar jangkauan kita.
Hukum
Misalnya sopir bus transjakarta dalam bertugas telah lulus ujian sim B(kompeten) dan terdaftar sebagai karyawan aktif(legal), Sudah mengenakan seragam dengan baik(sesuai etika), sudah bertindak hati-hati dengan mentaati semua rambu lalulintas(sesuai SOP). Kemudian dalam perjalanannya dihantam meteorit yang menyebabkan penumpangnya meninggal dunia. Apakah sang sopir bertanggung jawab? Apakah layak dipidana dengan pasal kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain? Logika keadilan saya menilai itu bukan tanggung jawab sopir dan tidak bisa dipidana.
Jika pun ternyata belum mengantongi surat ijin jalan yang mana adalah kesalahan dari perusahaannya, Apakah layak kesalahan administrasi diganjar pidana? Dan apakah adil jika dua kernet yang membantu sopir juga di pidana?
Anda tahukan maksud saya kan kalau sebetulnya ini sebuah analogi dari kasus dr. ayu cs.
Ada dua fakta yang diungkap dalam pengadilan negeri Manado. Yang pertama ada dokter yang mengoperasi sesuai prosedur, sesuai kompetensinya, sesuai jenjang pendidikannya sebagai chief jaga. Fakta kedua ditemukan emboli udara di jantung korban yang diduga kuat sebagai penyebab kematian. Mengenai SIP yang belum dibuatkan, tanda tangan di inform consent yang berbeda, keluarga yang belum diberitahukan tentang resiko terburuk dan belum dilakukannya pemeriksaan penunjang sudah pasti bukan penyebab kematian.
Yang belum dapat dibuktikan adalah apakah fakta pertama yang menyebabkan fakta kedua? Mengingat kesalahan dalam pemasangan infus atau penyuntikan intra vena, atau reaksi tubuh pasien sendiri, atau ada pembunuh profesional yang sengaja menyuntikkan udara diselang infus, atau luka di paru-paru akibat tekanan oksigen yang tinggi dari mesin anestesi, atau sebab yang bahkan belum diketahui didunia kedokteran. Kesemuanya berpotensi menyebabkan masuknya udara ke pembuluh darah yang selanjutnya menjadi emboli udara.
Dan menurut saya sangat sembrono jika hakim agung yang hanya melihat kertas dan hasil dari pengadilan negeri, tanpa bertanya jawab dengan saksi ahli, kemudian memutuskan dokter ayu cs. Bersalah. Pertanyaan saya apa yang menghubungkan kedua fakta itu?
Elemen
Sebagian masyarakat yang kecewa terhadap pelayanan rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya selalu mengalamatkan ke dokter. Jika ruang tunggu yang tidak nyaman yang diomeli dokter, padahal masalah bangunan jelas bukan bangiannya dokter. Jika waktu untuk bertatap muka dengan pasien atau visite yang singkat yang disalahkan dokter, padahal perbandingan dokter dan pasien sangat timpang. Sebetulnya keinginan kita ya bisa mendengarkan keluhan pasien, basa-basi sedikit, menjelaskan dengan detail tetapi apa daya jika yang mengantri sudah puluhan.
Jika pasien merasa tidak diobati padahal obatnya belum datang yang disalahkan dokternya, padahal penebusan obat itu prosedur farmasi bukan dokter. Jika pasien menunggu lama sebelum dilayani karena antri di loket asuransi yang disalahkan dokter karena menelantarkan. Jika pasien tidak kunjung dikamarkan yang di complain dokter padahal masih menunggu hasil laboratorium yang tenaganya terbatas. Jujur saja, tidak ada untungnya membuat pasien kesal ataupun terlantar bagi siapapun dirumah sakit.
Dokter adalah salahsatu elemen dirumah sakit. Ada bagian farmasi, perawat, bagian sterilisasi alat, manajemen, loket registrasi, juru masak, asuransi, sopir ambulan, cleaning service dan lain-lain. Jika ada salah satu yang tidak bekerja dengan baik pasti akan menganggu pelayanan pasien.
Moral
Ada dokter yang mata duitan, memeras pasien, menganjurkan operasi meskipun tanpa indikasi yang jelas hanya karena mengejar imbalan yang lebih besar. Ada juga dokter yang mau mengabdi ke daerah terpencil, sering menggratiskan pasiennya dan hidup pas-pasan. Lahirnya dokter bermoral atau tidak bukan dari pendidikan kedokteran. Karena pendidikan dokter hanya berkewajiban mencetak dokter yang baik, bukan orang yang baik.
Adalah kewajiban lingkungan, masyarakat dan utamanya orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Jika orang tuanya adalah koruptor, bermewah-mewahan, materialistis tanpa tersentuh nilai agama maka anak yang disekolahkan menjadi dokter hampir pasti kurang bermoral.
Apple to apple
Akhir-akhir ini marak diberitakan dengan timpang seolah-olah dokter Indonesia lebih buruk dibanding dokter negeri tetangga. Ada yang bilang di televisi bahwa dokter luar lebih punya waktu dengan pasiennya, bahkan sampai pasiennya khusus didoakan. Untuk perbandingan saja, menurut world health statistic tahun 2013, rasio dokter dan dokter spesialis per 10.000 penduduk di Indonesia adalah 2.0, Malaysia 12.0, Singapore 19.2 sedang rata-rata dunia 13.9. Dengan rasio sekian jangankan mengharap penjelasan yang memadai atau didoakan, dokternya saja sering terlambat solat.
Masih menurut sumber survey diatas, rasio jumlah tempat tidur dirumah sakit per10.000 penduduk di Indonesia adalah 6, Malaysia 18, Singapore 27 dan rata-rata dunia adalah 30. Maka jika anda ,terutamanya bagi yang berekonomi menengah kebawah dengan asuransi dari pemerintah, mengharapkan dilayani dirumah sakit dengan nyaman, tanpa antrian yang panjang, saat ini masih omong kosong belaka. Kita harus menerima sebagai “nasib dari yang Kuasa”.
*sumber: http://kff.org/global-category/healt...orce-capacity/
Nasib dan SOP
Pada tahun 1914, meletus perang dunia pertama. Saat itu banyak korban manusia baik sipil maupun militer yang terkena serpihan bom dan proyektil peluru. Jika itu terjadi, maka dokter saat itu akan berusaha mengeluarkan metal yang bersarang, membersihkan bekas luka dengan cairan anti kuman. Jika dikemudian hari pasien menjadi demam tinggi dan infeksi didalam luka, yang bisa dilakukan hanya membersihkan luka sebisanya. Selanjutnya jika daya tahan tubuh tidak sekuat infeksinya maka kuman akan menyebar keseluruh tubuh(sepsis) dan kebanyakan akan meninggal. Jika hal itu terjadi masyarakat saat itu telah faham bahwa itu adalah “nasib dari yang Kuasa”.
Terimakasih kepada Alexander Fleming yang pada tahun 1928 menemukan jamur yang menghambat pertumbuhan kuman. Dan dengan segala penelitian dan kemajuan tehnik produksi baru pada tahun 1944 atau 26 tahun kemudian bisa beredar dimasyarakat luas dengan nama penisilin. Obat ini lah yang menyelamatkan jutaan korban perang dunia kedua dari kematian akibat infeksi. Sehingga berkembanglah ilmu kedokteran tentang pengendalian infeksi dengan pemberian antibiotik. Hal ini telah di ajarkan di semua mahasiswa kedokteran dan ditaati sebagai standart operasional prosedur di rumahsakit. Dan jika sampai hari ini ada dokter yang tidak memberikan antibiotic kepada pasien infeksi dan akhirnya pasien meninggal, hal ini bukan lagi “nasib dari yang Kuasa” tetapi sebuah kelalaian yang bisa dipidanakan.
Jadi apa yang dikatakan penyebab kematian “nasib dari yang Kuasa” zaman dahulu bisa berubah sesuai perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi. Jika saat ini pada sebuah operasi gawat darurat belum ditemukan tehnologi yang handal, akurat, cepat dan mudah untuk mendeteksi dan mengobati emboli udara dan karena itu menyebabkan pasien meninggal maka terimalah sebagai “nasib dari yang Kuasa” sama seperti masyarakat saat perang dunia pertama. Mungkin anda marah, memaki, dan mengungkit semua (yang anda anggap) mallpraktek dan segala kekecewaan saat berobat di Indonesia, ya silahkan. Tetapi itu tetap tidak mengubah bahwa itu diluar jangkauan kita.
Hukum
Misalnya sopir bus transjakarta dalam bertugas telah lulus ujian sim B(kompeten) dan terdaftar sebagai karyawan aktif(legal), Sudah mengenakan seragam dengan baik(sesuai etika), sudah bertindak hati-hati dengan mentaati semua rambu lalulintas(sesuai SOP). Kemudian dalam perjalanannya dihantam meteorit yang menyebabkan penumpangnya meninggal dunia. Apakah sang sopir bertanggung jawab? Apakah layak dipidana dengan pasal kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain? Logika keadilan saya menilai itu bukan tanggung jawab sopir dan tidak bisa dipidana.
Jika pun ternyata belum mengantongi surat ijin jalan yang mana adalah kesalahan dari perusahaannya, Apakah layak kesalahan administrasi diganjar pidana? Dan apakah adil jika dua kernet yang membantu sopir juga di pidana?
Anda tahukan maksud saya kan kalau sebetulnya ini sebuah analogi dari kasus dr. ayu cs.
Ada dua fakta yang diungkap dalam pengadilan negeri Manado. Yang pertama ada dokter yang mengoperasi sesuai prosedur, sesuai kompetensinya, sesuai jenjang pendidikannya sebagai chief jaga. Fakta kedua ditemukan emboli udara di jantung korban yang diduga kuat sebagai penyebab kematian. Mengenai SIP yang belum dibuatkan, tanda tangan di inform consent yang berbeda, keluarga yang belum diberitahukan tentang resiko terburuk dan belum dilakukannya pemeriksaan penunjang sudah pasti bukan penyebab kematian.
Yang belum dapat dibuktikan adalah apakah fakta pertama yang menyebabkan fakta kedua? Mengingat kesalahan dalam pemasangan infus atau penyuntikan intra vena, atau reaksi tubuh pasien sendiri, atau ada pembunuh profesional yang sengaja menyuntikkan udara diselang infus, atau luka di paru-paru akibat tekanan oksigen yang tinggi dari mesin anestesi, atau sebab yang bahkan belum diketahui didunia kedokteran. Kesemuanya berpotensi menyebabkan masuknya udara ke pembuluh darah yang selanjutnya menjadi emboli udara.
Dan menurut saya sangat sembrono jika hakim agung yang hanya melihat kertas dan hasil dari pengadilan negeri, tanpa bertanya jawab dengan saksi ahli, kemudian memutuskan dokter ayu cs. Bersalah. Pertanyaan saya apa yang menghubungkan kedua fakta itu?
Elemen
Sebagian masyarakat yang kecewa terhadap pelayanan rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya selalu mengalamatkan ke dokter. Jika ruang tunggu yang tidak nyaman yang diomeli dokter, padahal masalah bangunan jelas bukan bangiannya dokter. Jika waktu untuk bertatap muka dengan pasien atau visite yang singkat yang disalahkan dokter, padahal perbandingan dokter dan pasien sangat timpang. Sebetulnya keinginan kita ya bisa mendengarkan keluhan pasien, basa-basi sedikit, menjelaskan dengan detail tetapi apa daya jika yang mengantri sudah puluhan.
Jika pasien merasa tidak diobati padahal obatnya belum datang yang disalahkan dokternya, padahal penebusan obat itu prosedur farmasi bukan dokter. Jika pasien menunggu lama sebelum dilayani karena antri di loket asuransi yang disalahkan dokter karena menelantarkan. Jika pasien tidak kunjung dikamarkan yang di complain dokter padahal masih menunggu hasil laboratorium yang tenaganya terbatas. Jujur saja, tidak ada untungnya membuat pasien kesal ataupun terlantar bagi siapapun dirumah sakit.
Dokter adalah salahsatu elemen dirumah sakit. Ada bagian farmasi, perawat, bagian sterilisasi alat, manajemen, loket registrasi, juru masak, asuransi, sopir ambulan, cleaning service dan lain-lain. Jika ada salah satu yang tidak bekerja dengan baik pasti akan menganggu pelayanan pasien.
Moral
Ada dokter yang mata duitan, memeras pasien, menganjurkan operasi meskipun tanpa indikasi yang jelas hanya karena mengejar imbalan yang lebih besar. Ada juga dokter yang mau mengabdi ke daerah terpencil, sering menggratiskan pasiennya dan hidup pas-pasan. Lahirnya dokter bermoral atau tidak bukan dari pendidikan kedokteran. Karena pendidikan dokter hanya berkewajiban mencetak dokter yang baik, bukan orang yang baik.
Adalah kewajiban lingkungan, masyarakat dan utamanya orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Jika orang tuanya adalah koruptor, bermewah-mewahan, materialistis tanpa tersentuh nilai agama maka anak yang disekolahkan menjadi dokter hampir pasti kurang bermoral.
Apple to apple
Akhir-akhir ini marak diberitakan dengan timpang seolah-olah dokter Indonesia lebih buruk dibanding dokter negeri tetangga. Ada yang bilang di televisi bahwa dokter luar lebih punya waktu dengan pasiennya, bahkan sampai pasiennya khusus didoakan. Untuk perbandingan saja, menurut world health statistic tahun 2013, rasio dokter dan dokter spesialis per 10.000 penduduk di Indonesia adalah 2.0, Malaysia 12.0, Singapore 19.2 sedang rata-rata dunia 13.9. Dengan rasio sekian jangankan mengharap penjelasan yang memadai atau didoakan, dokternya saja sering terlambat solat.
Masih menurut sumber survey diatas, rasio jumlah tempat tidur dirumah sakit per10.000 penduduk di Indonesia adalah 6, Malaysia 18, Singapore 27 dan rata-rata dunia adalah 30. Maka jika anda ,terutamanya bagi yang berekonomi menengah kebawah dengan asuransi dari pemerintah, mengharapkan dilayani dirumah sakit dengan nyaman, tanpa antrian yang panjang, saat ini masih omong kosong belaka. Kita harus menerima sebagai “nasib dari yang Kuasa”.
*sumber: http://kff.org/global-category/healt...orce-capacity/
0
2.4K
15
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925KThread•90.5KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya