gan ini mau berbagi kisah dari seorang teman saja, ini mungkin bisa memicu teman-teman mahasiswa yang sekarang belum menemukan jati dirinya sebagai mahasiswa, yang mungkin masih asyik dengan gaming, sosial media, atau hal lainnya yang ada di layar komputer agan masing-masing, Dari pada kita cuma menulis 140 karakter saja yang tidak berguna, ayok coba kita menarik kencang 140 karakter menjadi sebuah kalimat gan, siapa tau jati diri agan-agan ada disini, seperti kisah kawan ni, banyak hal yang sudah dia lakukan bahkan hal-hal nakal yang mungkin agan2 juga belum pernah lakukan, tapi dengan niat yang kuat dia berani move on, sekarang si kawan sudah bisa di bilang penulis yang sukses gan, dengan puluhan kali tulisan tembus di media cetak, dan penghargaan lain.
bahkan dari menulis ini juga sikawan ini mendapat gelar sarjana dan berhasil mendapat nilai A, ayo cekidot gan...
Manik-manik keringat yang merembes dari telapak tanganku membuat kertas yang aku pegang lembap. Nadiku terasa lebih ligat dari biasa. Bahkan buhul dasi terasa tetap mencekik walau sudah aku renggangkan berkali-kali dengan ujung jari telunjuk. Di kursi ruang tunggu itu, aku mencoba menenangkan diri dengan komat-kamit berdoa dan mengenang masa-masa indah yang pernah aku lalui. Misalnya, ketika tulisan pertamaku terbit di Koran. Aku juga dendangkan bait lagu masa kecil seperti “ Pulo Samosir”, agar hatiku lebih rileks. Aku coba ingat-ingat bagaimana rasa “dekke naniarsik” buatan Omak (Ibu). Tapi aku masih saja tidak tenang. Di tengah lorong terpampang sebuah pintu yang sebentar lagi aku masuki. Ruang Sidang Skripsi.
Sidang untuk meraih gelar itu. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang ketika pintu itu terbuka. Seorang laki-laki berambut hitam, berdasi biru, melongokkan kepala ke luar. Dia melambaikan tangan, “Suryono, silakan masuk,” katanya.
“Silakan letakkan skripsimu,” katanya tapi belum mempersilakan aku duduk di kursi.
Setelah sang dosen pembimbingku membuka acara sidang tugas akhirku, barulah aku disuruh duduk. Mejaku menghadap meja panjang yang telah ditempati tiga orang yang memandangku dengan pandangan menyelidik.
Dan tanpa basa-basi berganti-ganti mereka melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepadaku. Aku seperti bisa mendengar debur jantungku setiap menjawab berondongan pertanyaan skripsi ini selama ½ jam.
Setelah dirasa cukup, aku dipersilakan untuk keluar. Diluar, pikiranku terus melayang-layang tak tentu. Kawan-kawan pada ikut bingung, koq cepat sekali kau keluarnya, ujar kawanku. Dari pengalaman teman-teman yang sudah pernah mengalami rasanya saat sidang, paling cepat mereka keluarnya 1 jam dan bahkan ada beberapa yang sampai 3 jam.
Aku semakin tak tenang saat ku ingat kembali jawabanku atas pertanyaan-pertanyaan para penguji tugas akhirku itu. Jawabanku semua amburadul dan aku tak yakin lulus. Mungkin karena jawabanku yang berantakan itulah menjadi alasan kenapa aku cepat disuruh keluar.
10 menit kemudian aku dipanggil kembali ke dalam ruangan itu. Ku pandangi pak Ferry Sihaloho (Pembimbingku), Ibu Joana Saragih (Penguji I), dan Pak A.Sitanggang (Penguji II) secara bergantian.
Seluruh badanku terasa lemas saat pak Ferry Sihaloho mengatakan kalau aku gagal. Awalnya memang aku tak terima kalau aku gagal tapi disisi lain aku mulai bisa menerima.
“Mungkin aku tak ditakdirkan untuk lulus hari ini” ujarku dalam hati.
Saat aku mulai bisa menerima kegagalan tersebut, tiba-tiba pak Ferry Sihaloho bertanya kepadaku.
“Jika seandainya kata gagal kita hilangkan, kita anggap kau lulus, kau mengharapkan dapat nilai apa?” Tanya pak Ferry.
Aku jadi bingung, dalam pikiranku timbul sejuta tanya yang kurang ku mengerti.
“Katanya tadi aku gagal, tapi sekarang koq dikasih pilihan dan diandaikan lulus?” tanyaku dalam hati.
Lamunanku buyar ketika ibu Joana mengulang kembali pertanyaan yang disampaikan pak Ferry.
“Jadi gimana Suryono , tapi Pemred Veritas Unika, koq jadi lemas?” kata ibu Joana.
“Mengingat jawaban-jawaban saya disaat sidang tadi. Saya memang mengakui bahwa saya tidak layak lulus dan saya pantas mengulang. Tapi jika dikasih pilihan. Harapan saya, lulus dengan nilai A,” jawabku.
“Baiklah, sesuai dengan jawabanmu atas skripsimu ini memang kamu tidak layak dapat nilai seperti harapanmu itu. Tapi kami mempertimbangkan hal lain. Kami melihat ada potensi lain dari dirimu dan juga kami sangat bangga memiliki mahasiswa sepertimu. Kau sudah berani menulis di Kompasiana dan mempromosikan unika lewat tulisan-tulisan, memiliki peran penting dalam melahirkan kegiatan kreatifitas mahasiswa yaitu Majalah. Jadi dengan ini kami memutuskan kau lulus dengan nilai sesuai harapanmu yaitu A” Kata pak Ferry.
Aku terdiam sejenak, serasa dalam mimpi. Aku tak percaya kalau aku lulus dan dapat nilai A pula. Aku pastikan kembali dengan bertanya.
“Ini serius pak, bu?” tanyaku.
“Iya seriuslah”kata ibu Joana.
Rasanya inilah hari terindah yang pernah aku rasakan dari sepanjang perjalanan hidupku selama ini. Aku salami pak Ferry, Ibu Joana dan Pak A Sitanggang. Tak henti-henti aku panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus.
Mungkin bagi orang lain kesuksesanku dalam sidang tugas akhir ini tidak ada apa-apanya. Tapi bagiku ini sangat berarti. Inilah hasil dari kurang lebih 5 1/2 tahun menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Kalau ku ingat masa-masa kelamku. Aku tak percaya ternyata aku bisa juga selesai.
Diawal kuliah, semangatku masih bergelora. Namun awal semester 3, aku terbawa arus ke lembah hitam yang menyuramkan hidupku. Aku mulai kenal yang namanya kantin tempat menghisap barang haram. Aku mulai kenal yang namanya main judi, Biliard. Aku mulai kenal yang namanya mabuk hingga pagi pulang ke kos dengan kondisi tidak stabil lagi karena pengaruh minuman. Aku mulai kenal yang namanya game online. Semester 4, 5 dan 6 aku cuti kuliah karena uang kuliah dan uang bulanan habis termakan.
Namun ternyata Tuhan tak membiarkan aku selamanya terjebak dalam kehidupan gelap itu. Tuhan menegurku. Kedua orang tuaku mengetahui apa yang aku lakukan di medan ini. Mereka tahu dari teman sekampung yang satu kampus denganku.
Orang tuaku pun menjatuhi hukuman kepadaku. Uang untuk keperluan sehari-hari mulai dikurangi dan pengirimannya pun sudah mulai telat. Aku sadar, aku terbangun dari mimpiku. Aku bayangkan gimana susahnya orang tuaku mencari duit, sementara aku dengan mudahnya menghabiskannya.
Aku diberangkatkan ke tempat ini untuk menimba ilmu dengan harapan nasibku bisa berubah, tak sama dengan nasib orang tuaku yang petani. Mereka mengharapkan anak-anaknya bisa meraih mimpinya dan lebih maju dari mereka.
Di awal perkuliahan semester 7 aku aktif kembali kuliah, aku tinggalkan kehidupan kelamku. Dengan IP-ku 1,2 di semester 3 sebelum cuti, aku hanya bisa membawa mata kuliah di semester 7 Cuma 12 sks dengan total mata kuliah yang lulus Cuma 30 sks. Jadi masih ada 100 sks lagi yang harus aku selesaikan biar bisa nyusun skripsi. Tapi aku tak mau bawa mata kuliah Cuma 12 sks. Aku coba minta tolong kepada dosen pembimbing akademikku, Pak P. Simanihuruk agar aku diperbolehkan membawa 20 sks, meski IP-ku tak memungkinkan untuk membawa mata kuliah sebanyak itu.
Bapak itu tak mengijinkanku membawa 20 sks, Cuma 15 sks yang diijinin. Aku pun menyerah membujuk bapak itu. Tapi semangatku tak pudar. Aku bertekad disemester berikutnya tak boleh lagi main-main, harus bisa dapat IP tinggi biar bisa bawa banyak SKSnya.
Tak sampai 2 tahun aku sudah menyelesaikan semua mata kuliahku yang 130 sks. Cuma aku hanya terkendala di skripsi yang 6 sks, karena 3 x ganti pembimbing. Di bulan Februari 2012 dosen pembimbing skripsiku bapak J. Pangaribuan. Di bulan September 2012 aku ganti pembimbing skripsi karena tak ada perkembangan skripsiku selama di bimbing pak J. Pangaribuan.
Sejak bulan September 2013 aku dibimbing almarhun pak A. Sitohang. Dari bapak itu, skripsiku mulai menemui titik terang. Dan pada bulan Maret tahun 2013, skripsiku disetujui untuk disidangkan. Tapi baru bulan juli aku sidangkan tugas akhirku, karena bulan april tahun 2013 almarhun A.Sitohang meninggal dunia.
Bulan April pembimbing skripsiku diganti menjadi pak Ferry Sihaloho. Namun karena kesibukan dan juga ada kendala yang menghambat, sehingga dengan terpaksa aku tunda sidang skripsiku hingga pada akhirnya bulan Juli aku resmi menjadi sarjana Ekonomi.
Meski sampai hari ini orang tuaku tak percaya karena mereka kira aku main-main. Dan bahkan sampai detik ini uang untuk menebus ijazah dan uang wisuda tak dikirim karena mereka tak mempercayaiku lagi. Gara-gara itulah orang tuaku tak mau mengirimkan uang ijazah dan uang wisudaku. Memang saat ini aku sudah membayar uang wisudaku, tapi hanya 20 % dari orang tuaku, 30 % dari gaji adikku dan 50 % dari honor tulisanku. Tapi karena ijasah itu telat ku ambil. Sehingga aku terkendala untuk melamar kerja. Beberapa kesempatan yang beberapa waktu yang lalu pun melayang, kesempatan yang jarang-jarang datangnya. Mimpiku untuk bisa berkarier di media pun menjadi tertunda. Saat ini aku hanya bisa bersabar dan tetap berusaha walau sekecil apapun itu demi mewujudkan mimpiku itu.
Meski saat ini aku belum menjadi apa-apa, setidaknya saat wisuda pada tanggal 2 November 2013 nanti. Aku sudah mempersembahkan puluhan karya-karyaku yang dimuat di media cetak, menang lomba menulis kepada orang tuaku sebagai minta maaf atas kesalahanku telat tamat. Dan aku sudah membuktikan aku bisa hidup dan tamat meski 1 tahun terakhir ini sudah jarang mengirimin duit untuk biaya kuliah dan biaya hidupku sehari-hari.
Yang pasti, walau saat ini aku masih belum menjadi apa-apa, tapi aku masih berpengharapan, kelak aku pasti berkarier di dunia jurnalistik. Hatiku telah bulat untuk berkarier di dunia jurnalistik. Jika orang berfikir kerja didunia jurnalistik itu banyak resiko dan gajinya rendah. Tapi bagiku, gaji dan resiko bukan jadi penghalang. Aku merasa nyaman dan menemukan arti hidupku yang sesungguhnya jika berkarier di dunia jurnalistik. Ibarat kata, bisa dibilang aku ingin berkarier di dunia jurnalistik karena panggilan jiwa, karena dengan menulis dan menulis lah aku merasa aku hidup.
Sumur gan
Dari Kisah Ini banyak Hal yang bisa kita dapat gan.... so ayo tarik sekencang-kencangnya 140 karakter itu...