BUKAN JUALAN GINJAL GINJUL NIH HEHEHE . . .
Quote:
Lelaki paruh baya itu sibuk mengulek petis. Para pelanggan sudah menunggu. Sore itu suasana warung ini ramai sekali. Banyak pelanggan datang. Dan Pak Subari, begitu nama si pemilik warung itu, dan sejumlah karyawannya terlihat kewalahan melayani para tamu.
Sembari tangan kiri mengulek, tangan kanannya bergegas ke kantong celemek. Handphone mungilnya berderit-derit. Si penelepon yang memesan makanan itu tampaknya adalah pelanggan tetap warung Pak Subari ini. Selama berada di warung itu, VIVAlife beberapa kali mendengar Subari menerima pesanan via telepon seluler itu.
Padahal antrean di warung itu sendiri sudah mengular. Kursi-kursi di juga sudah penuh. “Antre ya, kira-kira satu jam,” kata Subari kepada salah seorang pelanggan yang baru datang.
Semakin beranjak malam, para pelanggan kian bersesakan. Ada yang datang bersama keluarga, bersama teman-teman dan ada juga yang sorangan alias seorang diri. Mereka sibuk menyebutkan pesanan. Ada yang memesan tahu campur, tahu tek-tek, rujak cingur, gado-gado, atau nasi rawon.
Subari, yang malam itu berpeci cokelat, sudah cukup lama berusaha mempopulerkan sejumlah menu masakan khas Jawa Timur itu di Jakarta. Semenjak tahun 1994, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Seorang saudaranya yang tinggal di Bekasi, menawarkannya sebuah kesempatan kerja.
Kesempatan tak datang dua kali, pikir Subari. Di kampungnya,di Lamongan, ia sudah putus kuliah. Setelah menikah tahun 1991, dia tak punya pekerjaan tetap. Akhirnya, berbekal kemampuan membuat tahu campur yang dipelajarinya dengan singkat, ia mulai berjualan di Bekasi.
Empat tahun ia berjualan tahu campur di sana. Sekitar tahun 1998, ia dan sang istri, Kanisih, memutuskan pindah ke Jakarta Selatan. Subari membuka warung di depan Rumah Sakit Fatmawati. Usaha itulah yang ditekuninya hingga kini.
Dari seorang pekerja serabutan, lelaki 42 tahun itu kini bisa menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Anak pertamanya baru masuk kuliah jurusan Akuntansi Perpajakan di Universitas Trisakti, Jakarta. Anak keduanya duduk di bangku SMP, dan anak ketiganya masih TK.
Impian Subari kini hanya mengembangkan warungnya menjadi depot atau rumah makan permanen.
“Kalau buka cabang nggak mungkin, karena saya belum bisa percaya tangan orang lain untuk masak. Inginnya sih punya depot yang lebih bagus, tapi masih belum menemukan tempat strategis,” katanya.
komen TS : ni nih orang cerdas berakal g andalin ginjalnya buat sekolahin anak2nya berharap tradisi jualan ginjal g booming gan masih bnyak usaha lain drpd nongkrong di bundaran HI
Sumber gansss