Dari Bali, animator lokal memproduksi kartun-kartun terkenal Jepang.
Di ruangan Timeline Studio, Gusti Artana dan Dewa Widiarta sibuk di depan komputer mereka. Di atas drawing pad digital yang terkoneksi dengan komputer, tangan Artana asyik memberikan sentuhan warna terhadap salah satu latar belakang B-Daman, sebuah film animasi Jepang. Widiarta juga tak kalah serius memainkan fitur-fitur Photoshop untuk menyelesaikan animasinya.
Dari tangan-tangan mereka di Timeline Studio kartun-kartun Jepang dibuat. Mereka menerima proyek film animasi dari beberapa studio animasi Jepang. Sebut saja Crayon Sinchan dan Doraemon yang seri-serinya masih terus mereka kerjakan. “Bahkan, saking banyaknya permintaan, kami sempat menolak beberapa,” ungkap Agung Oka, salah satu animator Timeline.
Untuk pengerjaan animasi Crayon Sinchan dan Doraemon, Timeline Studio mendapat jatah menyelesaikan latar belakang animasi. Misalnya, detil-detil rumah beserta kelengkapannya, pohon-pohon, langit biru, halaman, dan segala macam suasana latar belakang animasi. Untuk satu seri Sinchan saja, Timeline mesti memproduksi 100 buah latar belakang animasi yang mesti dirampungkan dalam waktu seminggu.
Agung Oka yang juga salah satu pendiri Timeline Studio mengaku kalau beberapa studio Animasi di Jepang memang cenderung melimpahkan pengerjaan latar belakang animasinya kepada Timeline Studio. Meskipun pernah ditawari untuk mengerjakan karakter animasi, namun Timeline lebih tertarik bergabung dalam produksi latar belakang animasi saja.
Oka menambahkan studio animasi di Jepang itu memang sengaja melemparkan beberapa proyek animasinya ke negara-negara seperti Korea, Indonesia, dan Singapura. “Ini lantaran biaya untuk membayar animator di luar Jepang terbilang lebih murah,” terangnya.
Lebih dari 30 judul film animasi Jepang yang elemen latar belakangnya dikerjakan oleh Timeline Studio. Selain Sinchan dan Doraemon, ada serial animasi lainnya yang banyak digandrungi anak-anak, seperti One Piece, Prince of Tennis, Fairy Tale, B-Daman, dan lain-lain.
Tak hanya menerima proyek film animasi dari luar negeri, di dalam negeri pun Timeline sering mendapat tawaran. Misalnya mengerjakan film animasi pendek, iklan-iklan animasi dari produk makanan ringan, video klip musik hingga pengerjaan visual efek sebuah film lokal. Bahkan Timeline juga pernah diajak kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia untuk mengerjakan seri-seri dari animasi Cerita Rakyat Nusantara.
Belum Siap Pakai
Timeline Studio berdiri pada tahun 1990. Awalnya, studio ini memang sengaja untuk menangani segala tawaran proyek animasi dari Negeri Sakura. Lambat laun, studio ini tak hanya dilirik oleh industri animasi Jepang, melainkan industri kreatif dalam negeri hingga negara barat seperti Australia.
Namun, Agung Sanjaya salah satu pengagas berdirinya Timeline, masih pesimis dengan perkembangan industri animasi dalam negeri. Ini lantaran kurangnya sumber daya manusia yang bisa siap pakai untuk diterjunkan langsung ke industri animasi. Padahal, menurutnya, secara umum, industri animasi itu ada di Indonesia. “Sayangnya belum banyak generasi muda yang benar-benar berani dan serius terjun ke dunia industri,” kata Oka.
Serupa dengan Oka, W. Joniartha Siada animator sekaligus pengajar di New Media mengatakan masih sedikit animator Bali yang fokus menggarap film-film animasi sebagai peluang usaha. “Mereka lebih suka memproduksi animasi dalam bentuk visualisasi untuk kebutuhan sektor industrial. Misalkan visualisasi untuk keperluan properti, tutorial, hingga iklan,” jelas pria yang memiliki usaha animasi Digital Studio.
Agung Sanjaya mengungkapkan keprihatinannya terhadap pendidikan animasi yang diberikan di SMK maupun lembaga edukasi multimedia di Bali. Pria yang kini tengah merintis sebuah sekolah animasi ini menilai banyak lulusan tersebut belum memiliki kemampuan yang diharapkan industri animasi sesungguhnya. Kemampuan dalam pengaplikasian sebuah ide, teknik pergerakan animasi, editing, hingga teknik drawing pun ditengarai masih lemah. Banyak lulusan tersebut juga belum memikirkan animasi sebagai industri. Mereka hanya menganggap animasi hanya sebatas hobi yang masih dilapisi aneka idealisme.
“Banyak yang saya lihat belum punya etos kerja, tak bisa kerja tim, lemah dalam mempertahankan kualitas dan tak tepat deadline,” ucap pria asal Negara, Jembrana ini.
Maka, Timeline pun hingga saat ini belum berani menambah personil timnya lantaran belum mendapatkan animator yang cocok untuk bekerja secara industri kreatif. Dari awal pendirian hingga sesibuk sekarang, mereka masih tetap bertujuh. “Makanya kami masih keteteran kalau menerima banyak proyek animasi lantaran kekurangan tenaga,” tutup Oka. []
Sumber:
http://balipublika.com/animasi-jepan...-made-in-bali/
Tantangan dan peluang animasi dalam ekonomi kreatif
March 11, 2012 AuthorTeam 1
Pada seminar animasi tentang “tantangan dan peluang animasi” tanggal 10 Maret 2011 di Warung Tresni Denpasar dari Dapur Olah Kreatif Denpasar (DOK) dengan pembiacara dari Timeline Studio Bali. Pak Agung Sanjaya adalah pembicaranya dari timeline studio. Dalam seminar ini beliau membukakan Ekonomi kreatif kita dengan negara-negara di luar sana, tidak perlu jauh-jauh ambil saja contoh negera tetangga kita yaitu Malaysia.
Dari data yang kita liat dalam pemaparan pak Agung pada slide persentasinya, sungguh jauh berbeda. Mereka benar-benar mengutamakan ekonomi kreatif selain itu mereka juga memfokuskan pada suatu industri kreatif. Selain itu mereka di bandingkan negara kita sudah memfokuskan dengan membuat sebuah wadah pendidikan collage atau university.
Kenapa kita kalah dengan negara-negara diluar, mungkin itu kembali pada diri kita sendiri untuk kreatifitas kita sendiri. Ada peserta seminar bertanya kenapa negara kita kalah dengan negara Jepang dalam film animasi? jika 1 orang Indonesia melawan 1 orang Jepang, maka 1 orang Jepang akan kalah, tapi jika 3 orang Indonesia melawan 3 orang Jepang dalam industri kreatif, maka 3 orang Indonesia akan kalah, jawab pak Agung. Pak Agung menambahkan, team work orang Jepang lebih solid di bandingkan kita, karena SDM kita lebih menonjol dalam hal individu bukan team.
Kembali lagi dengan Perbedaan negara kita dengan Malaysia. Malaysia mereka mempunyai sebuah wadah khusus menampung perkembangan ekonomi kreatif, tapi sayangnya mereka tidak mempunyai konten sehingga mereka mengklaim milik kita. Sedangkan orang Indonesia begitu banyak mempunyai konten lokal, tapi belum ada wadah yang pas untuk menampung kreatifitas-kreatifitas para sumbernya, selain itu kita hanya sibuk membicarakan mereka (Malaysia) sebagi negara maling asian.
Pada dunia perfilman ambil saja contoh film “Hikayat Merong Mahawangsa” dengan dana sebesar 8juta ringgit Malaysia setelah beberapa bulan sudah bisa menghasilkan 12juta ringgit Malaysia, dan film ini sudah tayang di 70 negara di dunia, sedangkan negara kita hanya bisa membuat film berkaitan dengan hantu-hantu diindonesia. Terkadang film ini berisikan sedikit konten pornografi. Apa maksud dari sebuah film seperti ini? Mendidikkah? Dan apa gunanya ada undang-undang anti pornografi? Sekarang ini kembali kepada diri kita sendiri untuk bangsa kita ini.
“Orang kreatif tidak akan pernah melakukan yang menurutnya tidak berguna dan orang kreatif selalu bisa berpikir kritsi demi tercapainya ide dan tujuannya”
Sekian dulu artikel ini, sumbernya saya dapatkan beberapa dari seminar Animasi dari timeline studio.
Sumber:
http://www.berbagiyuks.com/stories/t...i-kreatif.html