TS
erwin.parikesit
Memoar VENTJE H.N. SAMUEL
Artikel dibawah ini aslinya dikutip dari Buku Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Sdr. Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta 2009, kemudian saya sendiri turut menambahkan hasil kutipan daripada berbagai sumber dan pelaku sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
INTEGRASI KRIS DALAM TRI
Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak kahir Januari 1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje H.N Sumual.
Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan adalah orang daripada partai yang berseberangan.
Bagaimanapun, faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen. Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi DetasemenStoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.
Bagi pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi integrasi dilangsungkan sebagai proses reoganisasi, restrukturisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi inilah ynag konsekuannya berupa pengurangan jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero, namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada. Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.
Brigade XII Divisi 17 Agustus
Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera disesuaikan. Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati meyebut Panglima lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan kemudian Rapar, dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon maupun kompi jumlahnya tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor kesamaan suku maupun sub-etnis.
Penyesuaian lain adalah soal kepangkatan, saya ingat antara lain Empie Kanter. Karena sering berhubungan dengan pimpinan di MBT (Markas Besar Tentara), terutama Mayjen Djokosujono yang kemudian pegang staf teritorial, Empie dan Henk Lumanuw lebih cepat naik pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah Mayor dalam Laskar KRIS. Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan lagi menjadi Kapten dalam Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan kami.
Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS. Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar, Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan Operasi. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.
Dengan status dan posisi sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan kami. Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Tugas inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan sudah menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya, Laskar Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak personil, bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang personilnya mencapai dua ribuan.
Divisi kami ini mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya Kolonel Evert Langkai. Segera diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus 1947. Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan yang bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini terkenal dengan nama Pasukan Seberang.
Agustus 1947 kami bukan saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri. Suatu hari di akhir Agustus itu, mendadak ada perintaah dari Kolonel Evert Langkai untuk upacara. Semua bingung, bertanya-tanya, upacara apa? Hari itu tidak ada perayaan atau peringatan apapun. Juga tidak ada acara yang berhubungan dengan pemerintah maupun MBT. Kalaupun ada, sayalah yang seharusnya lebih tahu dulu.
Upacara militer digelar di halaman Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara, tiba-tiba maju seorang Bintara membawa nampan, yang biasa dalam kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur sebelumnya oleh Kolonel Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade XII Kolonel Evert Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua lencana, tanda komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di nampan itu. Setelah bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi terlantar, karena dialah inspektur upacaranya.
Wadan Brigade XII Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga persaingan dengan Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan mengundurkan diri itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang mungkin Langkai kecewa divisi batal dibentuk.
Brigade Seberang
Bulan-bulan akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah sangat jelas mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3 divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI. Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya, Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru adalah sebagai berikut, :
Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual
Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak pasukan-pasukan lainnya.
Quote:
INTEGRASI KRIS DALAM TRI
Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk memperjuangkan laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak kahir Januari 1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar urusan adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya membereskan internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan pasukan, tegas dan keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada upaya-upaya khusus pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian Pertahanan. Di Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian inilah yang menangani urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS dan Laskar KRIS menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi ini kepada saya, Ventje H.N Sumual.
Sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk Lumanuw. Saya seperti biasanya, selalu bersama Empie Kanter. Adakalanya kami pergi bersama-sama dengan Henk. Namun sering juga saya dan Henk pergi sendiri-sendiri, tergantung keperluan, tak jarang pula Empie yang saya minta pergi bersama Henk. Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah dalam integrasi ini. Beda dengan umunya satuan laskar lain, kami tidak berada dalam partai politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan apa-apa kalau berhadapan dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan adalah orang daripada partai yang berseberangan.
Bagaimanapun, faktor terpenting yang membuat sulit bagi pemerintah untuk menghalangi integrasi Laskar KRIS kedalam TRI adalah prestasi Laskar KRIS sendiri yang sedemikian menonjolnya. Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan sekitarnya, ketika bersama beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi dalam TRI, sampai berani minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk menyatakan kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan pimpinan TRI mengakui itu. Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution meresmikan Kesatuan Pelopor Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen. Pasukan dan Laskar KRIS Bandung ini kemudian menjadi DetasemenStoottroepen Garuda, salah satu andalan Divisi Siliwangi.
Bagi pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua badan kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi musuh. Tapi integrasi dilangsungkan sebagai proses reoganisasi, restrukturisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi inilah ynag konsekuannya berupa pengurangan jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak untuk menjadi tentara resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak integrasi secara antero, namun hanya diterima secara individual atau dalam satuan-satuan kecil terpilih saja, atau juga dilebur dalam kesatuan resmi yang sudah ada. Salah satu ukuran terbilang jelas mengenai faktor persenjataan. Jumlah senjata dalam pasukan harus 1 berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam hal ini pimpinan TRI sudah cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh pilih kasih. Pasukan Siliwangi saja diciutkan menjadi setengahnya.
Brigade XII Divisi 17 Agustus
Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal segera disesuaikan. Pucuk pimpinan adalah Komandan. Tidak boleh sesuka hati meyebut Panglima lagi. Walau sehari-harinya masih sering Langkai, dan kemudian Rapar, dipanggil Panglima. Jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya batalyon maupun kompi jumlahnya tak teratur, karena hanya tergantung pada faktor kesamaan suku maupun sub-etnis.
Penyesuaian lain adalah soal kepangkatan, saya ingat antara lain Empie Kanter. Karena sering berhubungan dengan pimpinan di MBT (Markas Besar Tentara), terutama Mayjen Djokosujono yang kemudian pegang staf teritorial, Empie dan Henk Lumanuw lebih cepat naik pangkatnya. Saya masih Kapten, Empie sudah Mayor dalam Laskar KRIS. Tapi, setelah restrukturisasi Empie diturunkan lagi menjadi Kapten dalam Brigade XII. Mayjen Djokosujono kemudiannya terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun, padahal dia sangat baik dengan kami.
Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS. Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar, Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw. Saya sendiri, Staf Intelijen dan Operasi. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap merasa ini pasukan KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII KRIS.
Dengan status dan posisi sebagai tentara reguler, kami semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan kami. Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Tugas inipun kami lakukan. Sejumlah pasukan sudah menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII. Diantaranya, Laskar Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin, juga pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak personil, bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang personilnya mencapai dua ribuan.
Divisi kami ini mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya Kolonel Evert Langkai. Segera diresmikan pada HUT II RI 17 Agustus 1947. Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17 Agustus batal berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan yang bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang orang-orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini terkenal dengan nama Pasukan Seberang.
Agustus 1947 kami bukan saja mengalami batalnya rencana Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri. Suatu hari di akhir Agustus itu, mendadak ada perintaah dari Kolonel Evert Langkai untuk upacara. Semua bingung, bertanya-tanya, upacara apa? Hari itu tidak ada perayaan atau peringatan apapun. Juga tidak ada acara yang berhubungan dengan pemerintah maupun MBT. Kalaupun ada, sayalah yang seharusnya lebih tahu dulu.
Upacara militer digelar di halaman Markas Brigade XII. Ditengah-tengah upacara, tiba-tiba maju seorang Bintara membawa nampan, yang biasa dalam kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ini rupanya sudah diatur sebelumnya oleh Kolonel Evert Langkai. Namun kali ini bukan untuk kenaikan pangkat atau penyematan tanda jasa. Ternyata Komandan Brigade XII Kolonel Evert Langkai mencopot-copot dari seragamnya sendiri semua lencana, tanda komando, bahkan pangkatnya, dan langsung ditaruh di nampan itu. Setelah bicara sedikit, lalu pergi begitu saja. Upacara jadi terlantar, karena dialah inspektur upacaranya.
Wadan Brigade XII Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara. Dan sejak itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. Umunya kami menduga persaingan dengan Rapar lah yang menjadi penyebab Langkai “merajuk” dan mengundurkan diri itu. Mereka sering bertentangan, ada juga yang bilang mungkin Langkai kecewa divisi batal dibentuk.
Brigade Seberang
Bulan-bulan akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu kebutuhan utamanya adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-besaran Belanda. Sudah sangat jelas mereka ingin merebut langsung jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI. Akhir Oktober rencana reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak sama dengan 3 divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi sekarang, semua pasukan masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17 Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI. Empat Divisi baru itu membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya, Brigade XVI dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution. Komandan Brigade XVI Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F Warouw. Kemudian terjadi perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan untuk menjadi Atase Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru adalah sebagai berikut, :
Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas’ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual
Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung Kawi. Di Yogyakarta saya diangkat menjadi Komandan Sektor Barat, membawahi sebagian besar pasukan Brigade Seberang, ditambah sangat banyak pasukan-pasukan lainnya.
Diubah oleh erwin.parikesit 01-06-2013 02:10
baikgaring memberi reputasi
1
80K
Kutip
163
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer
20.1KThread•7.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok