- Beranda
- Melek Hukum
Sengketa Karena Berita? Ini Penyelesaiannya Gan!!
...
TS
hukumonline.com
Sengketa Karena Berita? Ini Penyelesaiannya Gan!!
Salam agan dan aganwati...
Buat nyambut Hari Pers Nasional yang peringatannya tiap 9 Februari, hukumonline ada thread yang erat kaitannya soal pers, terutama kalau ada sengketa gara-gara pemberitaan di media.
Nah, siapa tau agan pernah mengalami kasus serupa, atau sekedar pengen tau gimana alurnya proses penyelesaian sengketa karena pemberitaan, ini patut disimak gan!
CEKIDOT.
1. Bagaimana pengaturan tentang tanggung jawab media cetak menurut KUHPerdata dan menurut UU Pers?
2. Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain?
3. Bagaimana penyelesaian yang ditempuh apabila ada pemberitaan yang merugikan pihak lain?
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;
4. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
Penjawab: Letezia Tobing
Sumber: Mekanisme Penyelesaian atas Pemberitaan Pers yang Merugikan
Baca berita terbaru Hukumonline juga gan:
Nah, semoga informasi tadi membantu agan-aganwati sekalian.
Siapa tau agan-aganwati punya pengalaman soal pemberitaan yang merugikan, bisa dishare di sini gan!!!
Buat nyambut Hari Pers Nasional yang peringatannya tiap 9 Februari, hukumonline ada thread yang erat kaitannya soal pers, terutama kalau ada sengketa gara-gara pemberitaan di media.
Nah, siapa tau agan pernah mengalami kasus serupa, atau sekedar pengen tau gimana alurnya proses penyelesaian sengketa karena pemberitaan, ini patut disimak gan!
CEKIDOT.
Quote:
1. Bagaimana pengaturan tentang tanggung jawab media cetak menurut KUHPerdata dan menurut UU Pers?
Spoiler for Jawaban:
Informasi buat agan sekalian, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999tentang Pers (“UU Pers”) adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Jadi, kalau ada permasalahan yang terkait pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Kalau ada yang tidak diatur di UU Pers, baru merujuk pada ketentuan-ketentuan KUHPer atau KUHP.
Hal ini juga ditegaskan Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dalam buku yang judulnya Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers.
Mereka menulis bahwa UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers (hal. xvii).
Maka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
Jadi, kalau ada permasalahan yang terkait pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Kalau ada yang tidak diatur di UU Pers, baru merujuk pada ketentuan-ketentuan KUHPer atau KUHP.
Hal ini juga ditegaskan Hinca IP Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dalam buku yang judulnya Menegakkan Kemerdekaan Pers: “1001” Alasan, Undang-Undang Pers Lex Specialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers.
Mereka menulis bahwa UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik: mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers (hal. xvii).
Maka, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.
2. Siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain?
Spoiler for Jawaban:
Mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap pemberitaan yang merugikan pihak lain, Hinca dan Amir menjelaskan bahwa secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya, yang terdiri dari 2 (dua) bidang yaitu, penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi (hal. 147). Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambilalih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab itu.
Hal ini sesuai dengan Pasal 12 UU Pers: perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
Hal ini sesuai dengan Pasal 12 UU Pers: perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
3. Bagaimana penyelesaian yang ditempuh apabila ada pemberitaan yang merugikan pihak lain?
Spoiler for Jawaban:
Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hinca dan Amir dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai berikut (hal. 149-152, sebagaimana kami sarikan dan sesuaikan dengan adanya kode etik wartawan yang baru):
Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.
Pada praktiknya, penggunaan hak jawab ini dinilai berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, sebagaimana terdapat dalam artikel Hak Jawab Dimuat, Hendropriyono Tak Akan Tuntut The Jakarta Post.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan (perdata atau pidana). Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli ("SEMA 13/2008").
Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No. 13 Tahun 2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Sedangkan, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hinca dan Amir dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers adalah sebagai berikut (hal. 149-152, sebagaimana kami sarikan dan sesuaikan dengan adanya kode etik wartawan yang baru):
Quote:
1. Menggunakan pemenuhan secara sempurna pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hal ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara langsung kepada redaksi, yang wajib melayani kedua hak ini. Orang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan, harus memberikan data atau fakta sebagai bukti bantahan atau sanggahan pemberitaan .
Pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru).
Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik menyatakan, “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
2. Pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers), karena salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
3. Selain kedua cara di atas, masalah yang muncul dari pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.
Pelaksanaan Hak Jawab tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru).
Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik menyatakan, “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
2. Pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers), karena salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
3. Selain kedua cara di atas, masalah yang muncul dari pemberitaan pers dapat juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan atau dilaporkan kepada polisi. Namun, karena mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers diatur secara khusus di UU Pers muaranya adalah pada pemenuhan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka pengadilan (dalam kasus perdata) maupun penyidik atau jaksa atau hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut tetap menggunakan UU Pers dengan muaranya adalah pemenuhan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi.
Tanggapan dari pers atas Hak Jawab dan Hak Koreksi tersebut merupakan kewajiban koreksi berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Pers. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini juga merupakan bentuk tanggung jawab pers atas berita yang dimuatnya.
Pada praktiknya, penggunaan hak jawab ini dinilai berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, sebagaimana terdapat dalam artikel Hak Jawab Dimuat, Hendropriyono Tak Akan Tuntut The Jakarta Post.
Selain itu, Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Pada sisi lain, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers tetap punya hak untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan (perdata atau pidana). Dalam perkara pidana menyangkut pers, hakim yang memeriksa perkara tersebut harus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli ("SEMA 13/2008").
Sebagaimana ditulis dalam artikel Aparat Penegak Hukum Diminta Merujuk pada SEMA No. 13 Tahun 2008, berdasarkan SEMA No. 13 Tahun 2008 dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers, majelis hakim hendaknya mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktek.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;
4. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers.
Penjawab: Letezia Tobing
Sumber: Mekanisme Penyelesaian atas Pemberitaan Pers yang Merugikan
Baca berita terbaru Hukumonline juga gan:
Nah, semoga informasi tadi membantu agan-aganwati sekalian.
Siapa tau agan-aganwati punya pengalaman soal pemberitaan yang merugikan, bisa dishare di sini gan!!!
Spoiler for Disclaimer:
Seluruh informasi yang disediakan oleh tim hukumonline.com dan diposting di Forum Melek Hukum pada website KASKUS adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pengetahuan saja dan tidak dianggap sebagai suatu nasihat hukum. Pada dasarnya tim hukumonline.com tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia, sehingga hubungan klien-advokat tidak terjadi. Untuk suatu nasihat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang sedang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang advokat yang berpotensi.
(hot)
0
33.3K
Kutip
452
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Melek Hukum
7.6KThread•2.2KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya