Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Palu masih sulit bangkit setelah setahun duka berlalu

Kondisi Pantai Teluk Palu setahun setelah diterjang tsunami di pesisir Kampung Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (28/9/2019).
Waktu berlalu dengan segera, namun duka di Sulawesi Tengah tak kunjung mereda.

Warga di Palu, Sigi, dan Donggala, tiga kabupaten/kota yang paling terdampak mega-bencana, satu tahun silam, masih harus meratapi nasib buntung mereka tanpa tahu kapan situasi akan berbalik untung bagi mereka.

Sederet ibu masih mencari keberadaan anaknya yang hilang karena likuifaksi di Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi.

Satu per satu jenazah ditelusuri dengan lara, hingga sampai pada satu titik, air mata itu tak jatuh lagi. Mereka telah tegar, meski tak menyetujui kalimat “anak saya telah meninggal dunia”.

“Sampai hari ini tidak ada satu pun bukti atau saksi yang menyatakan langsung bahwa anak-anak kami sudah tiada,” kata Micha Matong, ibunda Windy Fransisca yang hilang, kepada BBC Indonesia.

Lain kisah ibu, lain pula kisah bapak. Napakareba dan istrinya dihantui ketakutan hunian sementara (huntara) yang ditempatinya setahun belakangan digusur. Bukan karena Napakareba membangunnya di atas lahan sengketa, tapi kontraktornya memang bermasalah.

Dari program pemerintah membangun 699 unit huntara dengan anggaran mencapai Rp417 miliar, sekitar sepertiganya dicurigai “digunting”.

Laporan investigasi Koran Mercusuar, huntara Napakareba di Mamboro, Palu Utara, harusnya jadi tanggung jawab PT Pembangunan Perumahan (PP). Tapi, proyek itu disubkontrakkan ke perusahaan lain, PT Unik Sejahtera Bersama (USB).

Oleh USB proyek itu disubkontrakkan lagi, beberapanya kepada CV Livbar Perkasa dan CV Karunia Nabelo. Di situ masalah terjadi. Subkontrak tak tercatat di atas kertas, hanya dengan prinsip kepercayaan.

Begitu juga duitnya. CV-CV itu diminta membangun dengan modal sendiri dulu, nanti diganti. Tapi, setelah 6 bulan huntara dibangun, janji penggantian tak kunjung terjadi.

Sudah itu, dari anggaran Rp450 juta per unit (untuk 12 huntara), anggaran yang disubkontrakkan dipotong hingga hanya Rp374 juta per unit. Penyakit korup lama, ketika CV-CV itu menuntut, PT USB maupun PTPP semuanya kompak mengelak.

Tak hanya soal pembangunannya saja, huntara yang ditempati 8.388 keluarga penyintas—sekitar 33 ribu orang, jauh dari kata layak.

Rekan kami, Andi Baso Jaya, yang keluarganya juga jadi penghuni huntara mengatakan kawasan yang terdiri dari bilik-bilik berukuran 3x4 meter itu seharusnya sudah diperbaiki. Tapi, kenyataannya tidak.

Atap bangunan yang terbuat dari seng membuat setiap penghuninya terasa seperti dipanggang hidup-hidup saat siang hari. Jangan lupakan juga ratusan persoalan pelecehan seksual yang terjadi di situ.

Jaminan hidup (jadup) yang terus-terusan dijanjikan akan dicairkan, hanya jadi omong kosong belaka.

“Pepesan kosong,” kata Ejha, sapaan akrab Andi.

Janji pemerintah soal hunian tetap seharusnya terwujud satu tahun lagi. Tapi, warga tak kunjung dapat kepastian kapan dan di mana mereka akan membangun kehidupan dari awal lagi.

Pendataan sudah dilakukan ribuan kali. Warga bahkan mengaku KTP dan KK mereka sampai hancur karena terus-terusan difotokopi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengakui masih banyak permasalahan penanganan pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan hunian tetap.

Dari hasil pengecekan lapangan, katanya, banyak ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dari perencanaan awal utamanya tentang lahan relokasi.

“Di lokasi relokasi Kelurahan Duyu misalnya. Ada warga mengklaim lahan itu seluas delapan hektare sebagai milik pribadi, belum lagi di lokasi itu telah berdiri bangunan hunian sementara (sumbangan) Malaysia,” kata Wiranto, dua pekan silam.
Pemerintah malah pasif
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi tengah (Walhi Sulteng) Abdul Haris Lapabira menyebut, kondisi penyintas, mau itu di kamp pengungsian maupun di huntara, sama terlantarnya.

Tak peduli siapa yang membangun shelternya, pemerintah maupun nongovernmental organization (NGO) dalam dan luar negeri.

“Mereka tetap saja terlantar karena tidak ada pekerjaan tetap. Sementara, pelayanan dasar tidak lagi didapatkan pascatanggap darurat berakhir,” kata Abdul dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/9/2019).

Pemerintah juga pasif karena tidak berbuat apa-apa dan cenderung memberikan tanggung jawab penanganan kepada sejumlah NGO internasional dan nasional untuk melakukan pemulihan.

"Pemerintah pusat apalagi daerah tahu persis kondisi yang dihadapi para korban, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak menyelesaikannya," kata Haris.

Koalisi masyarakat sipil Sulawesi Tengah yang tergabung dalam Pasigala (Palu, Sigi, Donggala) Center menuntut pemerintah pusat untuk membubarkan satuan tugas penanggulangan bencana Sulawesi Tengah dan melimpahkan tugas kepada pemerintah daerah.

“Bangun sentra informasi dan pusat pengaduan korban di setiap kabupaten/kota yang terintegrasi dengan layanan korban satu atap,” kata M. Khadafi Badjerey, Sekretaris Jenderal Pasigala Center kepada Beritagar.id.

Pemerintah juga harus merevisi seluruh mekanisme dan panduan pelaksanaan pembangunan hunian tetap yang lebih mudah dan cepat.

Paling penting, pemerintah daerah segera membuka ruang dialog di setiap titik pengungsian dengan menginformasikan tahapan penanganan bencana dan proses pemulihan korban.
Potensi bencana huntap
Lambatnya proses pencairan data stimulan untuk korban bencana; rumah rusak ringan sebesar Rp10 juta, sedang Rp25 juta, dan berat Rp50 juta; membuat sejumlah warga berinisiatif untuk membangun huniannya sendiri.

Namun ada persoalan lain dari pembangunan swadaya itu. Khadafi mengatakan, warga yang membangun rumahnya sendiri (khususnya untuk rusak berat) tidak bisa mengklaim ongkos yang dikeluarkan kepada pemerintah.

"Padahal, warga sudah melalui berbagai upaya, pinjaman ke bank atau ke keluarga," kata Khadafi.

Pemerintah, sebut Khadafi, mengklaim memiliki standar sendiri atas pembangunan rumah warga yang rusak berat. Kondisi ini dianggap berbanding terbalik dengan janji pemerintah di awal yang hendak menyerahkan langsung uang pengganti kepada korban.

Sementara, untuk mendapatkan uang itu warga harus memenuhi persyaratan yang berbelit, salah satunya adalah sertifikat lahan. Warga yang tidak memiliki sertifikat pun kendala lain diwajibkan membuat surat. Namun, keberadaan surat itu justru membuat warga tidak diprioritaskan.

Jika pun mereka memenuhi persyaratan, uang Rp50 juta yang dijanjikan tidak bisa semuanya dicairkan. Warga hanya akan menerima uang untuk "jasa tukang", sementara, untuk pembelian bahan bangunan diserahkan kepada otoritas lainnya.

"Kami khawatir akan terjadi pengalaman sama di Lombok. Tiga hari lalu, dari berita yang kami baca, ada sekitar 400 unit rumah yang akan dibongkar karena tidak sesuai standar pembangunan. Kami menangkap fenomena itu," tukas Khadafi.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...n-duka-berlalu

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- BMKG: Gempa berpusat di Melonguane berkekuatan M 6,7

- Jokowi, Lion Air, hingga para aktivis yang diincar polisi

- Kebakaran gudang kapas tak buat Sritex rugi besar

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
415
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread739Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.