Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Sofyan Djalil: Tak ada domein verklaring dalam RUU Pertanahan

Massa yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengikuti unjuk rasa dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2019 di Taman Aspirasi Monas, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Pemerintah mengaku akan membuka ruang komunikasi dengan publik terkait pasal-pasal yang dipersoalkan dalam Revisi Undang-undang (RUU) Pertanahan.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil menyatakan, ruang komunikasi itu akan digelar untuk mensosialisasikan maksud dan tujuan dari pasal-pasal yang diundangkan.

Bukan untuk mengevaluasi, pun menganulirnya. Sebab menurut Sofyan, perdebatan yang muncul terjadi karena ketidakpahaman masyarakat akan isi pasal tersebut.

“Sebenarnya yang dikritik itu umumnya karena gak ngerti masalah,” kata Sofyan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Pertama, dalam penjelasan Sofyan, penerbitan hak pengelolaan (HPL) oleh pemerintah disebutnya tak berbasis pada konsep domein verklaaring yang berlaku pada zaman Belanda dahulu.

Dalam RUU Pertanahan mengatur ketentuan bahwa pemerintah dapat menerbitkan HPL tanah berbasis hak menguasai negara (HMN).

Padahal, jika merujuk Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), aturan itu sudah dihapuskan.

Sofyan lalu berkilah HPL sudah lumrah terjadi sejak tahun 1970-an. Namun, HPL bukan hak, melainkan fungsi kekuasaan negara yang diberikan kepada BUMN, pemerintah daerah, dan badan khusus.

“Itu Senayan HPL, terjadi sejak tahun 1960 loh. Seluruh kawasan industri BUMN juga HPL. Gak ada hal yang baru,” kata Sofyan.

Kedua, Sofyan menolak anggapan bahwa RUU Pertanahan bisa menghukum masyarakat yang menguasai tanah ketika digusur. Menurutnya, aturan itu justru mengincar orang-orang yang suka merebut tanah dengan paksa (land-grabbing).

“Banyak sekali mafia tanah. Organisasi itu land-grabbing tanah orang, tanah-tanah kosong itu diambil. Itu nanti kita atur,” katanya.

Ketiga, mantan Menteri BUMN era Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono ini turut memastikan bahwa RUU Pertanahan bakal mengakomodir kepentingan rakyat, salah satunya akses untuk lahan di tempat umum.

“Kalau you punya tanah di pinggir pantai, kalau you tidak berikan akses kepada rakyat itu kena pidana. Jadi, banyak sekali hal-hal yang gak diatur itu kita atur. Tapi, komunikasinya yang tidak sampai barang kali,” tukasnya.

Namun, Sekretaris Jenderal Komisi Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika berpendapat sebaliknya. Sejumlah pasal-pasal yang dimuat dalam revisi hanya akan merugikan petani dan juga pemilik lahan mandiri.

Pertama, Pasal 91. Pasal ini dianggapnya bisa memberi legitimasi bagi aparat untuk memidanakan masyarakat yang hendak membela hak tanahnya yang terkena gusuran.

Adapun bunyi pasal yang dimaksud adalah: “Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum bisa dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta”.

“Tentu ini akan ditafsirkan secara utuh untuk secara bebas menangkap siapa pun. Misalkan, warga yang menolak tanahnya untuk dijadikan bandara,” ucapnya.

Kedua, Pasal 95 yang berbunyi: “Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama melakukan dan/atau membantu permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar”.

Pasal ini diklaim Dewi bisa mengancam keberadaan aktivis organisasi agraria karena sifatnya yang merupakan hukum positif.

Pasal 46 ayat 8 juga. Klausulnya mengandung celah untuk menyembunyikan nama pemilik Hak Guna Usaha (HGU). Terakhir pada Pasal 26 yang menurutnya kepemilikan HGU bisa diperpanjang hingga 90 tahun.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejauh ini sepakat untuk menunda pembahasan RUU Pertanahan. Pembahasan, konon, akan dilanjutkan pada periode tugas DPR baru, setelah 1 Oktober 2019.

Keputusan itu disambut baik sejumlah kalangan. Keua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menyatakan penundaan pengesahan adalah keputusan yang sangat baik.

Banyak hal yang harus dipikirkan ulang pemerintah dan DPR terkait solusi yang adil, bukan hanya bagi investor melainkan juga masyarakat. Apalagi, selama ini kerap terjadi tumpang tindih kewenangan ketika menyangkut urusan tanah.

"Untuk tata ruang, yang ribet kan antara KLHK sama BPN. Kan susah dong LHK ngotot gak mau diukur, apalagi hutan lindung dan sebagainya. Perkebunan swasta kalau gak jelas garisnya di mana kan repot,” tukasnya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...ruu-pertanahan

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Komik: Demonstran bayaran, tak paham perjuangan

- Kartun: Kalau saja Jokowi dan DPR mau mendengar sejak awal

- Rizal Djalil tersangka, terjerat korupsi massal proyek air minum

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
292
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread733Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.