fosil378Avatar border
TS
fosil378
Simbol Modernitas Kota Mangkunegaran Surakarta
Pengantar.
Satu segi penting yang kiranya perlu mendapat kajian mendalam tentang kota Surakarta adalah realitas bahwa terdapat perbedaan kharakteristik simbolisme yang sangat kontras antara Wilayah Mangkunegaran di Utara yang lazim disebut Kampung Lor dan Wilayah Kasunanan di Selatan yang disebut Kampung Kidul yang dibatasi oleh rel kereta api yang membentang dari Purwosari ke Wonogiri. Wilayah Selatan di mana pengaruh kasunanan sangat kuat telah menjadikan kharakteristik yang sifatnya tradisional. Sebaliknya Wilayah Utara ( Mangkunegaran ) sangat menampakkan wajah modern, tidak lain hal ini dikarenakan di wilayah ini juga merupakan Kampong Eropa ( Europeesche Wijk ). Beberapa tempat yang menunjukan hal itu seperti Loji Wetan, yang terletak di sebelah Timur Benteng Vastenburg, Jebres, dan Villapark. Hampir semua sifat fisik modern ada di kampong Lor ini, karena secara terang – terangan penguasa Mangkunegaran mendukung pengaruh Eropa. Seperti diketahui Mangkunegaran adalah penguasa sempalan dari kekuasaan Kasunanan ( melalui Perjanjian Salatiga 1757 ) yang secara tradisional kedudukannya lebih rendah daripada Sunan. Karena memisahkan diri dari kekuasaan Sunan, maka posisi penguasa Istana Mangkunegaran bukanlah seorang raja, melainkan hanya seorang pangeran merdeka, vrijeprins. Oleh karena secara tradisional kedudukan penguasa Mangkunegaran lebih rendah dibandingkan seorang Sunan, maka bagi penguasa Mangkunegaran tentu tidaklah aneh apabila ia mencari legitimasi atas eksistensinya melalui simbol budaya asing. Legitimasi itu sekalipun tidak sepenuhnya meninggalkan ciri – ciri tradisional Jawa, namun setidaknya cara pandang yang prakmatis dan peningkatan etos kerja, serta tingkat intelektual yang tinggi akan mendukung eksistensi atau citra penguasa Mangkunegaran yang terkesan tidak kalah dengan pangkat atau jabatan penguasa tradisional Jawa yaitu Sunan. Oleh karena itu tidaklah aneh apabila pengaruh budaya Eropa banyak muncul di Surakarta bagian Utara di mana kekuasaan Mangkunegaran berada, sebagaimana telah disinggung di muka.

Simbol Ekologi Perkotaan.
Simbol ekologi perkotaan secara khusus menitikberatkan kajian pada budaya kota yang sifatnya material. Sekalipun demikian target kajian ini adalah untuk menjelaskan lebih lanjut bentuk nilai dasar yang berlaku pada masyarakat kota. Dalam kaitan dengan klasifikasi simbol, apa yang terjadi di Kota Mangkunegaran posisi istana mempunyai makna penting sebagai pembawa simbol. Oleh karena itu konfigurasi simbol Kota Mangkunegaran selalu merujuk pada keberadaan istana terutama pada figure penguasa istana. Dengan demikian istana dapat diibaratkan berfungsi sebagai sarang dari sejumlah simbol ( nested simbolism ). Gambaran ini pada satu sisi, budaya material Kota Mangkunegaran dapat bersifat top-down simbolism, tetapi dalam konteks penguasa di atasnya yaitu Sunan, dapat dimaknai pula sebagai buttom-up simbolism.
Bentuk materi budaya sebagai simbol ekologi Kota Mangkunegaran yang akan diuraikan di sini adalah berupa beberapa bangunan arsitektur seperti Gedung Artileri dan Kavaleri, Dalem Prangedanan, Masjid Al Wustho, Kawasan Monumen Pers dan Dalem Kepatihan.
Pengaruh Modern.
Pengaruh modern atas Mangkunegaran terjadi akibat hubungan unik antara pihak Belanda dan Mangkunegaran yang dapat dilihat pada keberadaan Prajurit Mangkunegaran. Atas prestasi militer dan kesetiaannya kepada Daendels maka Pangeran Prangwadana berdasarkan Besluit 29 Juli 1808 no. 3 diizinkan untuk mempunyai pasukan terlatih dengan kekuatan pasukan sebanyak 1150 orang yang kemudian diberi nama Legion van Mangkoenegaran. Kemudian oleh Daendels beliau diangkat sebagai Kolonel dari Ratu Belanda, sehingga beliau mempunyai mempunyai gelar Kangjeng Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwadana Kolonel de Indische Staff tot de Koning van Holland. Dengan pengangkatannya sebagai kolonel tanpa persetujuan Sunan dan kemudian berhak memakai pakaian kebesaran bergaya Eropa, secara politis di mata Belanda kedudukan Pangeran Prangwadana telah setara dengan Sunan.
Dalam kaitan dengan masuknya pengaruh budaya Eropa pada istana dan masyarakat Mangkunegaran tampaknya keberadaan Legion merupakan entry point. Ternyata eksistensi Legion berdampak pada nama – nama kampong di Kota Mangkunegaran. Pasukan Legion terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri. Pasukan kavaleri mempunyai pos di dekat Balapan di wilayah alun – alun utara Mangkunegaran. Di situ lah kuda – kuda pasukan ditempatkan dalam istal. Dalam perkembangannya nama bekas istal itu dikenal sebagai Kampung Kestalan. Sebutan serupa juga dipakai untuk tempat pasukan serbu ( jager ) dari kesatuan infanteri Legion yang akhirnya dipakai untuk nama Kampung Jageran.
Pada era Raffles kesatuan Legion dibubarkan, tetapi kemudian diaktifkan kembali untuk membantu konflik antara Raffles dan Sultan Sepuh dari Yogyakarta pada 1812. Raffles juga memindahkan pasukan penjaga ( constable ) dari Benteng Vastenburg ke daerah utara Mangkunegaran. Tempat kesatuan itu kemudian tumbuh menjadi Kampung Setabelan.
Gedung Kavaleri.
Arsitektur modern sebagai symbol kemegahan legion adalah Gedung kavaleri. Gedung Kavaleri terletak di bagian Timur alun-alun Pamedan. Gedung ini berfungsi sebagai kandang kuda ( gedhiogan ) prajurit kavaleri dan tempat penyimpanan senjata artileri, yaitu meriam dan senjata api. Gedung ini dibangun pada masa Pemerintahan Mangkunegara IV. Peletakan batu pertama pembangunan gedung ini terjadi pada hari Selasa Kliwon, 6 Sura-Ehe 1804 atau 9 Maret 1874. Pembangunan gedung ini menelan biaya sebesar 3 Kathi ( f. 30.000 ). Kemegahan gedung Kavaleri sekaligus juga merupakan simbol kekuatan militer Mangkunegaran. Simbol yang mendukung kemegahan Gedung Kavaleri adalah jalan yang menghubungkan antara pos Legion di perempatan Pasar Pon dan pos induk legion di depan pura Mangkunegaran. Dinas penjagaan pos dimulai jam 05.00 dan diakhiri jam 20.00. Setiap mengawali dan mengakhiri dinas jaga selalu dibunyikan tambur dan terompet. Khusus setiap Senin dan kamis bunyi tengara/ musik iringan dilakukan dengan cara berbaris dari pos jaga perempatan Pasar Pon menuju pos jaga induk di depan Pura Mangkunegaran.
Keberadaan simbol – simbol Eropa terkait pasukan legion juga selalu hadir pada setiap upacara ulang tahun Pangeran Mangkunegaran, perkimpoian, sunatan, tetesan, dan sumpah pengangkatan gelar. Pada upacara – upacara semacam ini biasanya banyak pejabat hadir seperti Residen, Sunan, Patih, dan tidak ketinggalan pasukan Legion. Suasana upacara selalu diperdengarkan lagu Wien Nederlands Bloed dan Wilhelmus ketika menyambut keluarnya Pangeran Mangkunegaran dari Dalem Ageng, maupun kedatangan Residen. Selain itu hampir setiap saat terompet Legion maupun bunyi gendering selalu terdengar. Dalam setiap pesta, sebelum jeda makan selalu didahului dengan penghormatan melalui gelas minuman yang digerakkan sebanyak 3 atau 6 kali. Setelah itu para tamu dipersilahkan menikmati makanan dan minuman yang bermacam – macam. Pada saat pesta ulang tahun pangeran biasanya diakhiri dengan parade terompet Legion. Bagi peniup terompet yang baik biasanya dipuji pangeran dengan pemberian berupa sebotol Whisky yang berbentuk pipih. Hampir setiap peringatan selalu berlangsung berhari – hari, siang dan malam. Yang menarik dari setiap pesta upacara adalah bunyi khas meriam yang membahana yang terdengar sampai jauh. Meriam ini biasanya dibunyikan sebanyak 12 kali untuk menyambut kedatangan residen, dan 13 kali untuk Sunan. Hal yang sama juga untuk mengiringi kepulangan residen dan Sunan.
Dalem Prangwadanan.
Dalem Prangwadanan merupakan bangunan yang terletak di sebelah timur Pura. Di sebelah timurnya masih terdapat bangunan lagi dengan bentuk pendapa yang diberi nama Panti Putra. Fungsi Dalem Prangwadanan adalah untuk tempat tinggal putra mahkota, juga sebagai tempat tinggal putera mahkota setelah diangkat sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Prabu Prangwadana. Nama Prangwadana merupakan gelar kedua yang diberikan oleh Sunan Kuning kepada RM. Said ketika ia menyatakan diri bergabung dengan pasukan Cina melawan Kumpeni VOC pada 1741 di Kartasura. Peristiwa itu dalam sejarah Jawa biasa dikenal sebagai Geger Pacina. Sebelumnya dari Pakubuwana II RM. Said pernah mendapat gelar Pangeran Suryakusuma. Setelah Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 RM. Said memperoleh gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara. Sejak itu ditetapkan bahwa gelar bagi pengganti Mangkunegara I adalah Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara jika si pengganti sudah berumur 40 tahun. Jika belum gelar yang diberikan adalah Kangjeng Gusti Pangeran Prabu Prangwadana. Satu-satunya keturunan Mangkunegara I yang langsung memakai gelar Mangkunegara ketika naik tahta adalah Pangeran Dayaningrat, yang bergelar Mangkunegara VI, karena sewaktu mengganti Mangkunegara V sudah berusia 40 tahun.
Selain sebagai tempat tinggal putra mahkota, pada masa Mangkunegara VII, Dalem Prangwadana sangat berperan penting dalam melahirkan pemikiran-pemikiran modern. Gerakan Nasionalisme Jawa yang dipimpin oleh RM. Soetatmo Soeriokoesoemo sering difasilitasi tempat ini. Selain itu Dalem Prangwadana lah sebagai tempat berlangsungnya debat para pemikir filsafat dari berbagai etnis di Jawa yang berasal dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta yang tergabung dalam wadah Wijsgerig Studiekring (Kelompok Studi Filsafat). Tidak sedikit sumbangan pemikiran Mangkunegara VII dalam kelompok ini. Nantinya kelompok ini ditiru aktivitasnya di Surabaya dalam bentuk Kelompok Studi Kebudayaan, sebagai tempat melahirkan pemikiran nasionalisme.




kl berkenan kasih emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Blue Guy Cendol (L) yah agan2
0
4.7K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.