Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

afryan015Avatar border
TS
afryan015
AGRAPANA "NYAWA INGKANG DIPUN GANTOSAKEN"
     
Bab 1


“Bu pokoknya Tias maunya kamar di lantai dua ya, sepertinya disana kamarnya nyaman” ucap Tias kepada Ibunya.


“Iya terserah kamu, yang penting kita pindahkan dulu barang bawaan kita ini kedalam, dan nanti kita tata semua bersama sama biar cepat selesai” ucap ibunya sambil melangkah kedalam rumah membawa kardus berisi barang dari rumah lama.


“Pokoknya terserahkamu saja yas, yang penting kamu nyaman tinggal disini, apa lagi di lantai dua ada tempat yang bisa kamu gunakan buat ngerjain pekerjaan kamu kan” imbuh ayah Tiyas yang sedang menurunkan barang – barang dari mobil bak yang membawa perabotan rumah mereka.


Tias dan keluarganya baru pindah ke rumah kontrakan yang baru, karena rumah kontrakan mereka yang lama sudah tidak bisa diperpanjang lagi, dan hari ini mereka mulai memindahkan perabotan rumah ke kontrakan yang baru.


Ayah Tias merasa beruntung mendapatkan rumah kontrakan yang murah dengan luas rumah yang cukup lega dibandingkan dengan kontrakan sebelumnya, ditambah lagi halaman yang juga luas, apalagi kontrakan yang sekarang memiliki dua lantai, dimana dilantai satu memiliki fitur, satu ruang tamu, dua kamar dengan salah satunya kamar utama, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang keluarga yang terbilang cukup luas dan halaman belakang yang terbilang cukup luas untuk menjemur pakaian, sedangkan untuk di lantai dua memiliki firur satu kamar dengan balkon, satu ruangan yang cukup untuk digunakan bersantai atau digunakan sebagai ruang kerja, dan satu kamar mandi, dengan fasilitas seperti itu Ayah Tias mendapatkan harga yang cukup terjangkau, dan rumah itu pun belum lama ditinggalkan oleh penyewa sebelumnya.


Tias membantu orang tuanya membawa masuk barang barang yang berada diluar untuk dimasukan kedalam rumah, satu persatu box kardus mulai dibuka dan dikeluarkan isinya untuk ditata pada tempat yang mereka inginkan, suasana riang keluarga kecil itu terdengar saat mereka sedang beristirahat disiang hari untuk melepas lelah karena sejak pagi berberes dan menata rumah.


“Hahaha, Apa lagi waktu Tias masih kecil ya yah, manjanya bukan main, dikit dikit buk, dikit dikit buk, sampe mau beol aja harus ada ibu, pernah waktu itu ibu di panggil Tias yang katanya mau beol tapi ibu lagi repot masak, bukannya pergi ke WC sendiri malah lompat – lompat kecil dibelakang ibu sambil sambil megangin pantat haha” ucap ibu Tias bercerita sambil terkakak.


“Ah ibu ah, itu kan dulu waktu aku kecil bu, sekarang kan udah nggak” dengan wajah cemberut menahan malu Tias protes pada ibunya.


“Haha terus yah, pas mau ibu angkat Tias buat dibawa ke WC, eh dia malah nangis sambil bilang, udah keluar bu, ahahaha” ucap ibu Tias tidak bisa menahan tawanya.


“Haha, namanya juga masih kecil ya yas, sini nggak usah cemberut, sini ayah cium” ucap ayah Tias membujuknya supaya tidak cemberut.


“Ah ibu tuh, sukanya ngejek aku terus” sambil mendepet ayahnya seolah mengadu.


“Udah nggak papa, eh tapi kok bau apa gitu ya ada yang aneh, kamu nggak beol kan yas?” ucap ayah Tias menggodanya.


“Ah ayah ih, sama aja, nggak lah aku udah bukan anak kecil lagi, ah udah ah aku mau keatas dulu ngerapiin kamar aku” sambil melepaskan pelukan ayahnya, Tias lantas bangkit dari posisi duduknya dan langsung melangkah ke lantai dua dengan menutup wajahnya karena tersipu malu namun gengsi untuk menunjukan pada kedua orang tuanya.


“ih ih ih cemberut sambil cengar cengir itu, nggak usah di tutupin, ibu udah liat kok haha” ucap ibu Tias menggoda.


“Haha, jangan kelamaan ya Yas, habis ini kita keluar buat makan, nanti kalo ayah panggil turun ya” ucap ayah Tias.


“Iya yah” ucap Tias singkat.


Setelah sampai di lantai dua, Tias mengambil beberapa kardus yang berada di ruangan yang sepertinya akan digunakan Tias sebagai tempat bersantai sekalikus beraktifitas, satu box kardus diraihnya untuk kemudian diletakan didalam kamar yang akan ditempatinya, box kardus itu kemuda dibukanya dan dikeluarkannya lah isi – isi didalamnya kemudian diletakan di atas kasur yang sebelumnya sudah ditata bersama dengan ayahnya, beberapa box yang isinya merupakan barang barang milik Tias sudah terbuka, dan satu persatu ditata pada tempatnya, seperti pakaian, buku buku dan lainnya ditata dengan sangat cekatan oleh Tias, dan tidak lupa gorden penutup jendela pun dia pasang, setelah dirasa lelah, Tias memutuskan untuk berhenti sebentar untuk beristirahat sebelum nyelesaikan menata barang yang masih tergeletak bukan pada tempatnya.


Teringat dengan perkataan ayahnya kalau mereka akan pergi makan siang diluar, lantas Tias menuju ke arah anak tangga lalu bertanya dengan nada yang kencang supaya orang tuanya di bawah mendengar.


“Yah? mau keluar makan siangnya jam berapa?” ucap Tias berteriak dari lantai dua.


“Sebentar lagi ya, ini masih tanggung beresin ruang tengah, biar nanti bisa buat santai dulu, soalnya nggak bakal selesai satu hari ini” ucap ayah Tias menjawab dari bawah.


“Oh ya udah yah, aku dikamar ya, mau istirahat sebentar, capek banget, nanti kalau mau berangkat panggil aku jangan ditinggal” ucap Tias membalas jawaban dari ayahnya.


“Iya tenang aja, sana istirahat dulu” dengan suara sambil membersihkan dan menata ruangan ayahnya menjawab.


Tias pun kembali kedalam kamarnya dan langsung mengarah ke kasur yang sepertinya terlihat sangat nyaman untuk ditiduri sebentar, “Bruughhh” suara tubuh Tias beradu dengan kasur umpuk terdengar saat Tias menjatuhkan dirinya dalam kondisi terlentang.


“Hmmhhh nyamannya, rasanya enak banget” ucap Tias berbicara sendiri sembari tangannya merangsak masuk kedalam saku celananya untuk meraih ponsel yang dia simpan disaku.


Tias dengan asiknya mengadu ibu jarinya dengan ponselnya untuk membuka beberapa informasi dan hal hal menarik lainnya yang bisa dia kases dari dalam ponselnya itu, semua aplikasi Novel kemudian dia buka untuk melanjutkan bacaan yang sebelumnya belum selesai dia baca.


Tak lama setelah dia asik membaca Novel dari ponselnya, tiba – tiba mata yang sedang asik memandang layar ponsel itu menjadi sedikit berat untuk membuka matanya, rasa kantuk sepertinya mulai menyerang Tias, maklum lah karena merasa lelah setelah dari pagi hingga siang ini dia terus berberes rumah baru alisa pindahan, dan tanpa sadar ponsel itu pun terlepas dari genggaman tangan Tias yang akhirnya ponsel itu harus beradu dengan wajahnya.


“Aduh, sakit, sakit” sambil menggosok wajahnya untuk meredakan rasa sakit akibat hantaman ponsel itu, Tias kemudian merubah posisi nya menjadi miring kesamping dan berbicara pada batinnya “mungkin tidur sebentar nggak papa kali ya, kan ibu sama ayah masih bersih bersih”. tak perlu waktu lama akhirnya Tias pun terlelap dalam tidurnya karena kelelahan.


“srek, srek, skrek” suara sapu bergesekan dengan lantai terdengar di luar kamarnya, Tias berfikir itu adalah orang tuanya yang sedang membersihkan ruangan yang berada di depan kamarnya itu, karena memang ruangan itu belum dibersihkan karena masih digunakan untuk meletakan barang – barang yang akan ditata di lantai dua ini.


“Bu, udah siap belum, kita mau keluar jam berapa” dengan keadaan masih terpejam Tias berkata.


“......” namun sama sekali tidak ada jawaban dari luar kamarnya.


“Bu, ih jawab lah, aku udah lapar ini” ucap Tias sedikit kesal.


“......” namun kembali lagi pertanyaan yang di ucapkan Tias sama sekali tidak mendapat jawaban dari ibunya.


Karena tidak mendapat jawaban, Tias pun kemudian membuka matanya dan ternyata saat dia membuka matanya kondisi kamarnya sudah sedikit gelap karena adanya awan mendung diluar rumah yang menandakan akan turun hujan, melihat hal itu, Tias kemudian bergegas keluar kamar dan menghampiri suara itu, dan saat sampai diluar kamar, Tias tidak mendapati ibunya berada disana, hanya ada sapu yang bersadar pada tembok dengan bagian sisinya terdapat kotoran yang sudah terkumpul.


“Duk duk duk” suara langkah kaki terengar menuruni anak tangga menuju ke lantai satu, Tias kemudian segera mengejar kearah suara langkah kaki itu sambil bertanya “bu, kapan kita keluarnya ini? keburu hujan lho” namun pertanyaan itu sama sekali tidak dijawab, Tias melihat dari atas lanti dua bahwa ibunya itu turun dan berjalan menuju kearah dapur, karena merasa kesal tidak mendapat jawaban dan dicueki oleh ibunya, Tias kemudian mencoba untuk bertanya pada ayahnya, walaupun dia belum melihat ayahnya berada disana.


“Yah, kapan kita mau keluar buat makan, keburu hujan nih” Tias berkata sambil berjalan turun dan mengikuti ibunya.


Namun hal sama juga terjadi, tidak ada tanggapan atau jawaban dari ayahnya, yang mungkin memang sedang tidak berada disana, karena saat Tias sampai di lantai bawah pun, dia tidak melihat adanya sosok ayahnya disana, yang ada hanya keheningan rumah tanpa adanya aktifitas, namun sosok ibu Tias masih terlihat sedikit berbelok kearah salah satu sudut di ruang dapur, hingga akhirnya dia tidak melihat sosok ibunya lagi, dan karena butuh jawaban diapun mengejar ibunya ke dapur, berharap kalau dia bertanya secara langsung dengan jarak dekat akan langsung direspon.


Setelah Tias berjalan ke arah dapur, kini dia terkejut karena tidak mendapati ada seorangpun yang berada disana, padahal dia jelas jelas melihat kalau ibunya berjalan menuju kearah dapur ini, wajah bingung terlihat jelas pada raut muka Tias, otaknya seakan tidak bisa menerima apa yang baru saja dia liat, hal itu membuatnya berdiri mematung sambil memikirkannya.


Namun tak berselang lama, suara motor terdengar dari depan rumah dan berhenti disana, mendengar saura motor itu, Tias kemudian tersadar dari lamunanya karena memikirkan sosok yang tadi dia lihat, Tias kemudian berjalan menuju ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.


“Ceklek, ceklek” suara kunci pintu dibuka dari luar rumah.


“Assalamu’alaikum, buruan masuk yah, itu jangan lupa makanannya dibawa masuk, cepetan yah, keburu ujan nih, laper juga” ucap ibu Tias meminta suaminya untuk cepat masuk membawa makanan yang baru saja mereka beli.


“Wa’alaikum salam, loh ibu dari mana sama ayah?” tanya Tias keheranan melihat orang tuanya datang dari luar rumah.


“Ini, baru aja beli makanan buat kita makan siang, maaf ya kelamaan, abisnya lumayan antri tadi dipenjual nasi padangnya, kayaknya sih enak soalnya antri” ucap ibu Tias sambil membawa makanan yang baru saja diberikan ayah Tias padanya untuk segera dihidangkan.


“Loh ayah sama ibu udah dari tadi keluar, kok nggak bangunin aku sih?” dengan nada kesal Tias merajuk pada orang tuanya.


“Nggak tega ayah mau bangunin kamu yas, soalnya dari cara tidurmu kayaknya kamu capek banget, jadi ayah putusin buat biarin kamu tidur dan ayah sama ibu beli makanan buat dibungkus” sambil mengelus kepala Tias, ayahnya berlalu melewatinya.


“Jadi dari tadi aku sendirian dirumah?” tanya Tias pad orang tuanya.


“Iya, maaf ya, udah sekarang yang penting kita makan dulu, ini ibu siapun dulu ya di meja makan, eh iya ayah, tolong tutupi jendela balkon lantai dua ya, soalnya mau hujan, takut airnya nanti masuk kerumah” ucap ibu Tias.


Dengan ekspresi bingungnya, Tias hanya bisa terdiam, dia masih memikirkan sosok yang dia lihat tadi saat turun dari lantai dua, karena apa yang dia lihat itu perwujudannya sangat mirip dengan sosok ibunya.


Tidak mau berfikir macam – macam, Tias berusaha bersikap positif dan beranggapan apa yang dia lihat itu tidak benar, mungkin karena efek dari bangun tidur dimana nyawanya belum kembali seutuhnya.


Tias juga tidak menceritakan hal tersebut pada orang tuanya, dia tidak mau dianggap penakut oleh kedua orang tuanya, apalagi rumah ini baru saja akan dia tempati, tidak mungkin karena menganggap hal seperti itu serius membuatnya menjadi takut untuk tinggal disini.


Mencoba untuk melupakan hal yang baru saja dia lihat, Tias kemudian menyusul ibunya kedapur untuk menyiapkan makanan yang sudah dibeli tadi, sambil menyiapkan makanan, Tias terus melihat kesekeliling dapur, walaupun dalam pikirannya ingin melupakan hal tadi, namun bayangan itu terus muncul didalam otaknya, dengan kata lain otaknya masih belum menerima hal yang masih belum bisa masuk kedalam akal, karena Tias merasa setelah dia bangun tidur, dia merasa sudah sadar sepenuhnya.


Setelah semua makanan siap untuk disajikan, Tias diminta oleh ibunya untuk memanggil ayahnya turun kebawah supaya mereka bisa makan bersama, beberapa kali Tias mencoba memanggil dari arah tangga menuju lantai dua, ayahnya hanya menjawab sebentar, mungkin ayah Tias sambil mengecek barang – barang yang berada di lantai dua.


Karena terlalu lama, Tiaspun kemudian menyusul ke lantai dua dimana ayahnya berada, dan sesampainya di sana, ternyata ayahnya sedang asik melihat atau mengecek isi dari kotak yang belum dibuka, memastikan kalau semua barang sudah berada disini, jadi tidak perlu untuk kembali lagi ke kontrakan lama karena ada yang tertinggal.


“Ih ayah nih, udah ayo turun dulu, aku udah lapar lho, malah asik ngecek barang, kan bisa nanti” dengan sedikit kesal Tias meraih tangan ayahnya untuk segera turun kebawah.


“hehe iya, iya, ayo kita turun, ini ayah nyalain lampu sekalian, kayaknya mau ujan besar soalnya makanya gelap banget” ucap ayahnya sambil meraih saklar lampu dan menyalakannya.


Setelah itupun Tias turun bersama ayahnya menuju kearah meja makan, disana ibu Tias sudah menunggu sambil menonton TV yang kebetulan televisi masih bisa terlihat dari meja makan, Tias dan ayahnya pun kemudian duduk dikursi meja makan dan langsung menyantab makanan yang sudah tersaji.


Obrolan meja makan tak pernah mereka lewatkan, suasana keakraban mereka menandakan keluarga yang sangat harmonis, suasana hangat sangat nampak pada keluarga Tias ini, namun saat sedang asiknya ngobrol sambil menyantab makanan yang sudah dibeli tadi, hujan deraspun akhirnya turun, langit gelap sudah tidak bisa membendung volume air yang ditampungnya.


Suara gemricik air hujan beradu dengan genteng rumah terdengar sangat keras, angin berhembus dengan cukup kencang terlihat dari jendela yang menampakan dedaunan bergoyang dengan cepat karena tertiup angin.


Karena curah hujan yang cukup besar, ditambah petir mulai bergelegar di langit, TV yang tadinya menyala, terpaksa harus dimatikan karena takutnya TV itu akan tersambar petir, dan benar saja tak berselang lama setelah TV itu dimatikan oleh ibu Tias, “DIIIAARRR” suara petir menggelegar seolah tepat berada diatas rumah mereka, listrikpun padam, membuat rumah menjadi sedikit gelap karena masih ada cahaya yang masuk dari jendela.


Karena lampu padam, ibu Tias langsung berinisiatif mencari lilin untuk menerangi meja makan, soalnya tidak nyaman apabila makan namun dalam kondisi minim cahaya, disaat bersamaan dari arah lantai dua, tiba – tiba .....
Diubah oleh afryan015 12-03-2024 13:55
miftah9898
bebyzha
imron444
imron444 dan 26 lainnya memberi reputasi
27
5.5K
271
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
afryan015Avatar border
TS
afryan015
#39
Bab 11

Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba, Tias sekeluarga akhirnya menuju ke tempat pak Harjo untuk mencoba menyembuhkan Tias dari gangguan sosok wanita yang ada didalam tubuhnya, selama perjalanan menuju ke tempat pak Harjo, Tias terlihat diam namun diraut wajahnya terpancar rasa ketakutan, namun yang jelas diri Tias yang sebenarnya belum lah kembali, raga Tias kosong dan hanya bereaksi jika sosok wanita itu masuk kedalam tubuh Tias.


Saat memasuki wilayah daerah Kledung perbatasan antara Parakan dan Wonosobo, saat semua sedang dengan tenang melihat keindahan yang menyajikan penmandangan pepohonan dan perkebunan teh sekaligus perkebunan tembakau yang membentang begitu luas ditambah lagi gunung yang tersorot matahri terlihat keemasan saat sore hari itu, apalagi udara yang disajikan begitu segar, jendela mobil sengaja dibuka supaya udara segar itu bisa masuk, orang tua Tias begitu terpukau dengan keindahan alam yang tersaji disana.


Bu Indri yang ikut mengantarkan juga memberitahu tentang daerah yang sedang dilalui itu, maklum saja karena dia sudah sering bolak balik ketempat pak Harjo untuk sekedar berkonsultasi dan silaturahmi.


Namun saat sedang asik mereka ngobrol soal keindahan alam yang disajikan, perlahan kabut turun menutupi pemandangan yang sedang dinikmati, rintik air perlahan mulai membasahi kaca mobil, dan hingga akhrinya jalan ditutupi oleh kabut yang membuat jarak pandang menjadi hanya sekitar dua puluh meter, dan semakin lama jarak pandang itu semakin memendek, perjalanan yang tadinya terasa lancar kini harus diperlambat untuk keamanan, cuaca kabut ditambah dengan gerimis kecil kalau disini disebut Kremun membuat jarak pandang semakin pendek lagi.


Dengan keadaan yang seperti itu, kaca mobil kemudian ditutup kembali untuk menghalau air yang akan masuk membasahi bagian dalam mobil, Tias yang tadinya hanya diam saja, kini menggerakan badannya seolah sedang pegal dengan posisi duduknya.


“Kenapa yas? Kamu pegal?” tanya ibunya sambil membetulkan posisi duduk Tias.


“……” Tias hanya diam dengan tatapan kosong sambil memindah posisi duduknya.


“Minum dulu ya? Dari tadi kamu belum terisi apapun” ucap ibunya memberikan sebotol air mineral dan sebungkus wafer.


Namun saat diberikan, Tias hanya menerima pemberian ibunya itu tanpa ada tindak lanjut untuk meminum air mineral atau memakan wafer yang sudah berada ditangannya, melihat hal itu, ibunya berinisiatif untuk membukakan dan langusng menyodorkan kearah mulut Tias, karena ibu Tias beranggapan dia mau menerima berarti ada kemungkinan sebetulnya tubuhnya butuh, namun karena Tias sedang dalam kondisi seperti ini, tubuhnya tidak bisa dikontrol.


Saat ibu Tias akan menyuapkan wafer ke dalam mulut Tias, tiba tiba tangan tias memegang tangan ibunya dan berkata.


“Iki meh digowo nengndi?” ucap Tias menoleh kearah ibunya dengan bola mata yang memutih.


(Ini mau dibawa kemana?)


“Ya Allah, Astaghfirullah, Bu Indri ini Tias gimana bu, dia kerasukan lagi” ucap panik ibu Tias meminta tolong pada bu Indri.


Kebetulan Bu Indri dudu tepat didepan Tias, dengan sigap bu Indri kemudian berbalik arah menghadap ke arah Tias, dia bersiap untuk menenagkan tubuh Tias lagi, air doa yang menjadi andalannya sudah dipersiapkan sejak tadi, dan memang momen ini sudah diprediksi akan terjadi saat mereka akan sampai ketempat pak Harjo.


Bu Indri sebenarnya bukanlah ahli dalam mengusir sosok gaib dia hanya tau untuk menenangkan sementara orang yang kerasukan, untuk masalah mengusir makhluk itu dia belum bisa dan kata pak Harjo memang dia tidak ada bakat, untuk sampai kesana.


“Wes koe ra usah takon takon, gek ndang metu seko awak bocah iki “ ucap bu Indri meminta sosok itu keluar.


(sudah kamu tidak usah banyak tanya, cepat keluar dari tubuh anak ini)


“Ora bakal aku metu seko kene, iki wes dadi awaku, bocak iki wes ra ono neng kene, hahaha” ucap sosok itu yang merasuki tubuh Tias.


(Tidak akan aku keluar dari sini, badan ini sudah jadi miliku, anak ini sudah tidak ada disini, hahaha)


“Nek koe ra metu, bakal tak gawe panas awakmu” ucap bu Indri mengancam.


(Kalau kamu tidak keluar, akan ku buat panas badanmu)


Bu Indri lantas mengambil air yang sudah di persiapkan, lalu di cipratkanlah air itu ke beberapa bagian tubuh Tias, reaksi menggeliat tubuh Tias karena kepanas mulai terjadi, erangan dari mulut Tias mulai terdengar diselingi suara umpatan yang ditunjukan pada bu Indri, tak ada tanggapan dari bu Indri, dia terus mencipratkan air itu dan membaca doa suapaya sosok itu segera keluar walau untuk sementara.


Tak berselang lama, akhirnya tubuh Tias mulai melemas dan terdiam dengan mata terpejam, suara nafas kelelahan terdengar dari mulut Tias yang menandakan pada hakekatnya tubuh Tias merasa lelah dengan kondisinya saat ini, ditambah lagi jiwa yang merasuki tubuh itu bukanlah jiwa yang sebenarnyya, ibarat wadah, tubuh Tias harus menampun benda yang bukan semestinya, dan pasti akan ber efek pada wadah itu, sama juga dengan tubuh Tias yang memberikan efek kelelahan karena menampung beban yang lebih.


Singkat cerita akhirnya malam hari pun tiba, seperti biasa pak Harjo hanya mau ditemui pada malam hari karena disiang harinya dia ada urusan sendiri untuk kesibukannya.


Sebuah gerbang Loji terpampang berdiri kokoh menyambut keluarga Tias beserta bu Indri, karena pintu gerbang itu dalam keadaan tertutup rapat, bu Indri lantas turun dan hendak membuka pintu gerbang yang terbuat dari full kayu jati besar, saat bu Indri membuka pintu itu sendirian terlihat kesusahan karena memang pintu itu sangat berak untuk di buka oleh satu orang baik untuk laki laki maupun perempuan.


Meliha bu Indri kesusahan membuka pintu gerbang itu apalgi tidak ada gagang pintu yang memudahkan, maka ayah Tias kemudian ikut turun dari mobil dan membantu bu Indri membuka pintu itu, perlahan pintu itu didorong dan terbuka, sebuah suguhan taman yang dalam keadaan gelap gulita terpampang setelah pintu itu berhasil dibuka, saat sudah terbuka total, wajah seolah takut muncul di ekspresi orang tua Tias, mungkin ada perasaan ragu untuk masuk karena untuk yang pertama datang kesana pasti akan merasa tempat itu menakutkan.


“Sudah pak, tidak perlu takut, nggak ada yang mengerikan kok, emang sambutannya seperti ini, taman yang gelap minim cahaya, tapi nanti kalau sudah masuk kedalam loji, semuanya terang kok” ucap bu Indri meyakinkan orang tua Tias suapa tidak perlu takut.


Mobil pun dipersilahkan masuk duluan untuk selanjutnya pintu akan ditutup kembali dan tentu harus ditutup dengan dua orang. Dan setelah pintu tertutup, bu Indri dan ayah Tias kemudian masuk kembali kedalam mobil untuk masuk kedalam menuju ke Loji.


“Ini kok serem amat ya bu Indri, sekitaran banyak pohon tinggi tapi keadaannya gelap” ucap ibu Tias sambil mencoba melihat keluar jendela dan mengamati sekeliling walau dalam keadaan gelap.


“Ya seperti ini bu, tapi aman tenang aja, sebenarnya kalau terang dan ada sinar bulan, disekitar sini juga ada air mancurnya, ada tempat duduk ditaman itu, indah sebenarnya bu, Cuma ya karena ini mendung kan” jelas bu Indri mencoba menenagkan ibu Tias.


Samar samar dari kejauhan terlihat sebuah cahaya dari sebuah bangunan yang tentu saja itu adalah Loji yang dimaksud oleh bu Indri, orang tua Tias yang melihat bangunan itu mulai terkagum dengan bentuk bangunan yang begitu klasik khas peninggalan belanda, ditambah rasa takut itu mulai luntur karena lega melihat cahaya dari Loji.


“Nah itu bu tempatnya, kita berhenti didepan sana saja” bu Indri menunjuk ke arah tempat parkir disamping pohon yang begitu besar dan tinggi.


Setelah mobil berhasil diparkirkan, ibu Tias dan bu Indri kemudian turun dari mobil, sementara ayah Tias dan Tias tetap berada didalam mobil, karena saat mencoba untuk menurunkan tubuh Tias, entah bagaimana bisa tubuh Tias terasa sangat berat seolah ada yang menahannya supaya tidak bisa keluar dan tetap berada di dalam mobil. Bu Indri sama sekali tidak khawatir dengan hal itu, karena nanti pasti akan mudah jika pak Harjo yang mengangkatnya.


Pintu Loji yang sudah terbuka lebar menandakan pak Harjo sudah berada didalam, bu Indri dan ibu Tiaspun akhirnya masuk untuk menemui pak Harjo yang berada didalam.


“Assalamu’alaikum” ucap bu Indri sambil melangkah masuk menuju kursi jati panjang yang biasa diduduki pak Harjo untuk menyambut dan menerima tamu.


“Wa’alaikum salam, monggo monggo mriki melbet” ucap pak Harjo sambil menghisap rokok kesukaannya.


(Wa’alaikum salam, silahkan masuk).


“Pak, sugeng ndalu, niki kulo nganter rencang kulo sek kolo wingi kulo sanjang teng telfon” ucap bu Indri memberitahu pak Harjo bahwa dia mengantar orang kemari, sambil menyalami pak Harjo dan seorang laki laki.


(Pak, Selamat malam, ini saya ngantar temen saya yang kemari saya bicarakan di terlfon)


“Oalah iyo, iyo kene kene lungguh, Yan tolong gaweke wedang kanggo tamune” ucap pak Harjo mempersilahkan bu Indri dan meminta Ryan untuk membuatkan suguhan minuman untuk mereka.


(Oalah iya, iya, sini duduk, Yan tolong buatkan minuman buat tamu ya)


Ya Ryan alias aku juga membantu pak Harjo dalam kasus ini, akan ada tiga  pandangan cerita dalam kisah ini, dari sisi Tias, Orang Tua Tias, dan Aku bersama pak Harjo.


۩


Aku membuatkan minuman teh hangat untuk di sajikan pada tamu pak Harjo, aku sama sekali belum pernah melihat mereka datang kemarin, kemungkinan mereka lebih dulu mengenal pak Harjo dibandingkan aku, Bu Indri membawa temannya yang sepertinya memiliki keluhan yang sudah pernah di konsultasikan pada pak Harjo sebelum kemari.


Setelah selesai aku membuat Teh, lantas aku segera menyuguhkan minuman itu pada tamu pak Harjo, saat aku menyuguhkan minuman itu, tampak orang yang di antar oleh bu Indri ingin segera ditolong karena menurut perkataannya dia begitu merasa kasihan terhadap anaknya yang sering diganggu dan hingga sampai dalam perjalanan menuju Loji ini pun dia diganggu saat diperjalanan.


“Monggo bu niki unjukane” ucapku sambil meletakan gelas berisi teh diatas meja kayu jati itu.


(Silahkan bu, ini minumannya).


Setelah aku menyuguhkan minuman itu, lantas aku duduk di kursi yang agak sedikit berjauhan dari mereka, aku merasa itu urusan orang lai yang tidak perlu aku tahu, kecuali jika aku diminta untuk bergabung maka aku akan ikut duduk bersama mereka, awalnya aku hanya memperhatikan percakapan mereka saja.


“La niku, sakniki putrane panjenegan teng pundi, kok mboten di beto mriki sekalian” ucap pak Harjo menanyakan anak dari teman bu Indri itu.


(La itu, sekarang anak mu ada dimana, kok nggak di bawa kesini sekalian)


“Di beto kok pak, nanging wau kan sempet kesurupan malih, nah tapi sampun anteng, terus pas ajeng tak di medake mriki, larene niku mboten saget di angkat, sak niki teng mobil kalih bapake” ucap teman bu Indri itu menjelaskan.


(Di bawa kok pak, tapi tadi kan sempat kesurupan lagi, nah tapi sudah diam, terus pas mau dibawa turun kesini, anaknya itu tidak bisa di angkat, sekarang di mobil sama bapaknya)


“Oh nek ngono yo kuwi, Yan, tolong rewangi iki bu Indri nggowo anake melbu rene, tak siapke piranti sek nggo gawe meditasi” ucap pak Harjo memintaku membantu bu Indri menurunkan anak temannya untuk di bawa masuk.


(Oh kalau begitu ya itu, Yan, tolong bantu ini bu Indri bawa anaknya masuk kesini, tak siapkan alat yang buat meditasi)


“Nggih pak siap, monggo bu” ucapku dengan sigap langsung berdiri.


Aku kemudian keluar menuju mobil yang membawa mereka kemari, dan ternyata Shinta sudah berada diluar mobil tersebut, sambil memperhatikan sosok yang berada didekat tubuh anak yang sedang bersama dengan ayahnya itu, dari ekspresi Shinta sosok itu sebenarnya bukanlah sosok yang berbahaya, tapi sosok ini hanya sebuah kiriman dari seseorang yang ditugaskan untuk mengganggu keluarga ini.


Shinta melihat kehadiranku bersama bu Indri dan ibu anak tersebut, sebenarnya mudah untuk Shinta mengabisi sosok itu, tapi disini kita ikuti aturan dari pak Harjo untuk mengetahui darimana sosok ini dikirim, dan apa yang sebenarnya terjadi.


“Yan, iki makhluk sak jane biso tak pateni saiki, tapi gara gara aturane gurumu dadi kudu tak tahan” dengan nada kesal ditambah ekspresi imutnya yang menahan rasa ingin menghajar itu malah membuatku menjadi gemas.


(Yan, ini makhluk sebenarnya bisa aku bunuh sekarang, tapi gara gara aturan gurumu, jadi harus aku tahan)


Entah kenapa sejak berguru dengan pak Harjo, ekspresi Shinta yang dulu semakin sering aku jumpai lagi, dari manjanya dia, cemberutnya dia, dan keisengan dia menghadapi makhluk makhluk yang tidak boleh sembrangan di habisi membuat Shinta menjadikan makhluk itu sebagai mainan.


Aku hanya mendekat ke arah Shinta sambil sedikit tersenyum atas protesnya dia tidak bisa langsung menghajar sosok yang mengganggu anak dari teman bu Indri. sosok Wanita dengan postur badan sedang dengan rambut tergerai panjang hingga ke bahu bersender di samping tubuh anak yang di bawa oleh bu Indri, yang diketahui bernama Tias.


Sosok wanita itu melihat kearahku begitu sinis dan terus menggenggam tangan Tias dengan jari jari panjangnya, jari itu sama sekali tidak proposional karena memikiki panjang ruas ruas jari yang lebih panjang dibanding manusia normal, saat aku melihat ke tubuh Tias ternyata didalam tubuh Tias sudah benar benar hampir kosong dengan tanda sukmanya yang sudah begitu lama meninggalkan raga itu.


Shinta mencoba memisahkan sosok wanita itu dengan cara menarik rambut sosok itu hingga dia merasa kesakitan, dengan wajah geram Shinta terus memaksa sosok itu supaya lepas, namun disaat bersamaan jemari wanita itu yang terlihat panjang dan lancip justru malah semakin erat menggenggam tubuh Tias dan cenderung menusuk raga Tias dengan jari jari itu.


“Cukup Ta, melas awake bocah iki, sek ono malah tambah lara” ucapku pada Shinta untuk menghentikan usahanya.


(Cukup Ta, kasihan badan anak ini, yang ada malah tambah sakit)


“Aaahh, kurang ajar, ngangel ngangeli wae sih peraturane gurumu, penclas ndase lak yo uwes tho yan” ucap Shinta kesal  sembari memberi opsi.


(Aaahh, kurang ajar, buat susah saja sih peraturan gurumu, tebas kepalanya saja kan udah yan).


Aku hanya tersenyum saja sambil mencoba melepaskan cengkraman sosok itu, kubaca beberapa rapalan doa yang sudah diajarkan mbah Margono dulu untuk melepaskan cengkraman sosok itu, dan alhamdulillah perlahan sosok itu mulai merasa kepanasan dan melepaskan cengkramannya pada Tias.


Setelah lepas Shinta kemudian menarik kepala sosok itu dengan tangannya dan menyeret keluar menjauhi tubuh Tias, terlihat juga sosok itu terus memberontak untuk mendekat kembali pada Tias.


Aku meminta Ayah Tias untuk membantu ku mengangkat Tias masuk kedalam Loji....
merlianarian457
aguzblackrx
bebyzha
bebyzha dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.