Suasana Ducatus Cafe, cafe pertama non tunai yang menerima 'cryptocurrency' seperti Bitcoin, di hari pembukaan di Singapura, Kamis (21/12/2017).
Liburan akhir tahun seharusnya menjadi waktu yang menyenangkan bagi semua orang. Tapi tidak untuk para penambang maupun investor Bitcoin.

Setelah jatuh cukup keras--sekitar 40 persen pada pertengahan pekan kemarin, Bitcoin kembali jatuh 9,6 persen ke level US $13.151 (sekitar Rp178 juta), merujuk laporan CoinMarketCap.

Padahal, pada pekan kedua Desember 2017, Bitcoin sempat menyentuh level tertingginya di sekitar US $17.000 (sekitar Rp230 juta), dari keberangkatannya di posisi US $800 (Rp10,8 juta) pada awal tahun 2017.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan sejumlah analisis yang menyebutkan harga Bitcoin akan meroket pada akhir tahun sering masuknya pemain-pemain besar seperti perusahaan pengelola dana (hedge fund).

Peluang masuknya pemain-pemain besar itu menyusul dibukanya perdagangan berjangka bitcoin di Amerika Serikat (AS). Sebanyak tiga bursa AS yaitu Chicago Board Options Exchange (CBOE), The Chicago Mercantile Exchange (CME), dan Nasdaq bersiap membuka bursa berjangka bitcoin pada Desember ini.

Perdagangan pertama sudah dilakukan oleh CBOE pada Senin, 11 Desember 2017.

Sejumlah alasan melatarbelakangi jatuhnya nilai tukar Bitcoin. Laman situs Investodia menyebut beberapa di antaranya. Pertama, kebijakan dari banyak pemerintah di berbagai negara di dunia atas pembatasan Bitcoin membuat posisi mata uang digital ini menjadi sulit.

Selain itu, laporan Morgan Stanley yang menyebut Bitcoin tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran digital yang sah atau pun memberi nilai pada suatu barang. Laporan itu juga menyimpulkan bahwa harga Bitcoin bisa jadi nol--atau tak nyata.

Namun, prediksi lain menyebut adanya aksi pengambilan untung dalam perdagangan Bitcoin untuk menyambut liburan akhir tahun.

Alasan ini mungkin bisa benar, mengingat Bitcoin sempat begitu sangat perkasa dengan berada pada posisi US $17.000 dan membuat siapa pun yang bermain dalam bisnis ini tergiur untuk mengambil untung dari kondisi tersebut.

Investor milyuner, Mike Novogratz, yang 30 persen dari aset bersihnya diinvestasikan dalam bentuk mata uang kriptografi, mengatakan fenomena turunnya Bitcoin ini bukanlah akhir dari keperkasaannya, melainkan hanyalah bentuk rihat sejenak.

Kondisi ini pun menguntungkan Bitcoin Cash (BCH) yang naik lebih dari 140 persen dalam sepekan ke kisaran US $3.800 (sekitar Rp50 juta).

Bitcoin cash resmi meluncur pada 1 Agustus 2017, setelah sekelompok pengembang mencoba meningkatkan kecepatan transaksi dan menekan biaya transaksi Bitcoin. Belakang, Bitcoin Cash malah berubah menjadi rival Bitcoin.

Melansir CNBC, awalnya para pemilik Bitcoin direncanakan mendapat Bitcoin Cash dengan jumlah setara dengan kepemilikan Bitcoinnya. Namun, realisasi rencana ini baru akan diwujudkan pada Januari 2018. Hal ini lah yang kemudian memunculkan perbedaan nilai transaksi antara Bitcoin dengan Bitcoin Cash.

Salah satu hal yang perlu diwaspadai dari fluktuasi nilai tukar Bitcoin ini adalah risiko bubble atau gelembung yang terjadi saat nilai investasi bergerak pada nilai yang tak wajar.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara dalam Tempo.co mengatakan, salah satu cara memastikan risiko bubble tersebut adalah dengan menganalisis secara komprehensif perbandingan harga nilai tukar Bitcoin.

Kondisi bubble terjadi jika nilai Bitcoin merosot bersamaan dengan mata uang lainnya dengan angka yang relatif sama. Dalam hal ini bisa jadi karena investor melakukan aksi jual secara bersamaan.

Namun jika penurunan nilainya terjadi secara parsial, kondisi tersebut tak bisa disebut bubble.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...ur-akhir-tahun

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Realisasi pajak diprediksi meleset dari target

- Partai Idaman dan 6 parpol lain gagal penuhi administrasi

- Bergantung pada konsumsi, Indonesia rentan dengan daya beli