BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Pilkada DKI, hasutan kekerasan seksual, dan tragedi Mei 98

Foto ilustrasi diambil dari momen aksi "One Billion Rising" di di Jakarta, Indonesia (14 Februari 2013).
Kelompok Perempuan Indonesia Anti-Kekerasan melaporkan status dari seorang pengguna Facebook ke Polda Metro Jaya, Senin (17/4). Status tersebut dianggap telah menghasut dan mengancam keamanan kaum perempuan.

Status yang dilaporkan berasal dari akun Facebook, Dwi Ardika. "Intinya yang dukung Ahok itu bodoh dan enggak bermoral. Halal darahnya dibunuh dan halal juga kalau wanita dirudapaksa rame-rame," demikian potongan status Dwi Ardika.

Kiriman Dwi Ardika sulit dilepaskan dari Pilkada DKI 2017. Pilkada DKI 2017 ditandai dengan menguatnya sentimen suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).

Isu SARA acap kali menerpa calon gubernur petahana, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama--seorang pemeluk Kristen dan keturunan Tionghoa. Terlebih, Ahok sedang berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.

Tangkapan layar status Dwi Ardika.
Namun, pegiat Perempuan Indonesia Anti-Kekerasan, Valentina Sagala, menyebut bahwa laporan mereka tak sekadar soal riuh-riuh Pilkada.

"Kami tidak mendukung salah satu kandidat (Pilkada DKI), kami berdiri untuk kaum perempuan," kata Valentina, dikutip The Jakarta Post.

Valentina Sagala mengatakan, pihaknya khawatir bila status Facebook Dwi Ardika berimbas pada kehidupan nyata. Ia pun merujuk pada kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998--terkhusus di Jakarta.

Hal yang sama disampaikan Koordinator Perempuan Indonesia Anti-Kekerasan, Ita Fadia Nadia. Status Facebook Dwi Ardika, kata Ita, mengingatkannya pada kondisi sebelum kerusuhan dan kekerasan seksual pada 1998.

"Kalau dulu, karena belum ada medsos, (pesan-pesan) itu lewat selebaran-selebaran, sopir-sopir bajaj, sopir taksi, dan lewat pager itu banyak," kata Ita, dikutip Tribun News.

Ita pun berharap agar negara memberikan rasa aman kepada perempuan, terutama saat tensi politik sedang meninggi. "Jangan perempuan menjadi objek permainan politik. Demokrasi tidak harus mengorbankan gender. (Tragedi) 98, trauma yang paling dalam untuk kami. Kami khawatir, kami takut itu terjadi kembali," kata dia.

Dalam laporan yang diterima kepolisian, pelapor diwakili oleh Ratna Bataramurni. Laporan bernomor LP/1905/IV/2017/PMJ/Ditreskrimum itu memuat dugaan pelanggaran Pasal 156 KUHP yang dilakukan pemilik akun Facebook, Dwi Ardika.

Pasal itu memuat larangan ujaran kebencian, permusuhan, dan penghinaan yang berdasar pada ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara. Pelanggaran atasnya, bisa diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp4,5 juta.

Di media sosial, kecaman atas status Dwi Ardika juga bermunculan. "Dengan menggunakan kata 'halal' untuk pemerkosaan, gua juga pengen tahu apa dia (Dwi Ardika) sosok yang memang 'separo-islami' atau blas enggak ada bau islamnya," tulis Savic Ali, pemimpin redaksi Islami.co, melalui Facebook.
Selintas peristiwa kelam Mei 1998
Sebagai informasi, temuan dan kesaksian korban perihal kekerasan seksual massal terhadap perempuan pada Mei 1998, antara lain bisa dilihat lewat dokumen Saatnya Meneguhkan Rasa Aman (Komnas Perempuan, 2008).

Kala itu, pemerkosaan tak sekadar aktivitas bersetubuh (baca: penetrasi) di bawah ancaman dan kekerasan. Pasalnya, kesaksian korban menyebut adanya pemaksaan aktivitas seksual lewat anal dan oral.

Pun terjadi penyiksaan organ-organ seksual dengan benda tumpul dan tajam. Kian banal, sebab kekerasan seksual dilakukan secara massal (gang rape).

Tim Gabungan Pencari Fakta menyebut ada 85 korban kekerasan seksual pada Mei 1998. Ita Fatia Nadia, yang juga mantan Koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK), menyebut jumlah korban (versi TRK) mencapai 152 orang--20 orang di antaranya meninggal.

"Jumlahnya bisa lebih besar dari itu karena banyak korban memilih diam," kata Ita, dikutip CNN Indonesia (19 Mei 2016). Pun, tidak sedikit korban yang memilih pergi dan tinggal di luar negeri, demi melupakan cerita kelam itu.

Dokumen Komnas Perempuan menyebut usia korban beragam, mulai dari anak-anak hingga dewasa--sampai usia 50. Ada yang masih lajang, ada pula yang sudah menikah. Mereka adalah pelajar, karyawan, dan ibu rumah tangga.

Kebanyakan dari mereka adalah perempuan etnik Tionghoa. "Korban memang dipilih dengan sengaja berdasarkan etniknya," demikian kesimpulan Komnas Perempuan.

Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa bahwa kekerasan seksual ini merupakan perpanjangan dari kerusuhan yang menyasar etnik Tionghoa pada Mei 1998. Kerusuhan dengan skala paling besar terjadi di Jakarta. Titik lain adalah Medan (Sumatra Barat) dan Surakarta (Solo, Jawa Tengah).



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...tragedi-mei-98

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Menjemput TKI ilegal dengan pesawat pribadi

- Permintaan Jokowi kepada ulama menjelang Pilkada DKI

- Investasi belum mampu angkat Papua

anasabila
tien212700
tien212700 dan anasabila memberi reputasi
2
33.5K
384
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.