JAKARTA, KOMPAS.com - Nurdin Prianto (25) masih ingat penyiksaan yang dialami saat menjadi korban salah tangkap oleh polisi pada 2013 silam. Nurdin dituduh menjadi pelaku pembunuhan Dicky Maulana, pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Nurdin mengungkapkan sekitar pukul 10.00 WIB, ia hendak beristirahat di sekitar Pasar Cipulir. Saat itu, di tempat istirahatnya sudah ada seseorang dalam keadaan badan penuh lumpur dan terluka.
Belakangan diketahui bahwa orang tersebut adalah Dicky. Melihat kondisi tersebut, Nurdin beserta teman lainnya menawari makanan dan minuman. Namun Dicky menolak.
"Enggak lama berapa jam kemudian nafasnya (Dicky) enggak ada," kata Nurdin.
Merasa tak bersalah, Nurdin pergi ke rumah pacarnya di Parung. Saat malam tiba, polisi mendatangi Nurdin yang tengah terlelap di warung internet.
"Tiba-tiba dibangunin dijambak dibawa sampe depan warmet diseret-diseret dan diinjek. Posisi buka baju. Sampai saat itu dimasukin ke mobil dan dipukulin dan disiksa," cerita Nurdin.
Ia langsung dibawa ke Polda Metro Jaya. Di sana, Nurdin bertemu dengan teman-temannya. Ia pun dipaksa untuk mengaku.
"Terus disuruh ngaku, mata saya diplakban, (badan) disetrum, ditendangi, dipukuli sampai saya enggak kuat. Capek dipukulin terus, kami mengakui terpaksa pembunuhan," kata Nurdin.
Nurdin kemudian ditetapkan tersangka dan divonis tujuh tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia bersama Andro, korban salah tangkap lainnya banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan dinyatakan bebas.
Mahkamah Agung juga menguatkan putusan bebas Nurdin dan Andro di tingkat banding pada tahun ini.
Saat ini, Andro dan Nurdin, tengah menempuh gugatan kepada Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Kementerian Keuangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Keduanya mengugat negara untuk ganti rugi senilai Rp 1 miliar.