Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mixolydianumAvatar border
TS
mixolydianum
"Langit Makin Mendung" (1968)


Judul thread ini adalah judul cerpen kontroversial karya Hans Bague Jassin(atau yang lebih dikenal H.B. Jassin) yang diterbitkan dalam Majalah Sastra Edisi Agustus 1968 dengan nama pena "Ki Pandji Kusmin". Cerpen yang berjudul "Langit Makin Mendung" adalah cerpen berbentuk analog yang intinya mendukung gerakan Anti-Komunis, mengutuk ide-ide Soekarno, dan yang membuat kontroversi adalah secara satirik, beliau meletakkan Allah dan Muhammad dalam kharismatisme dan romantisme seperti tokoh dongeng, hanya saja tergambar secara sarkastik.

Tugas Allah dan Muhammad, serta nabi-nabi lain dalam cerpen tsb adalah menjadi penonton panggung politik tanah air di masa kejayaan Nasakom. Dan yang menjadi polemik adalah H.B. Jassin secara tidak langsung menjustifikasi ummat Muslim Indonesia yang menurutnya ummat Muslim-lah yang telah melakukan pembiaran terhadap otoritas Orde Lama, sehingga meletusnya Gerakan 30 September adalah imbas dari degenerasi dan degradasi moral Islami dalam diri ummat Muslim sendiri. Sebenarnya apa yang hendak disampaikan beliau adalah positif, tetapi kita sebagai orang awam memang tidak memiliki perbekalan yang cukup untuk memahami seni dan sastra yang ditelurkan sastrawan sehingga diksi (pemilihan kata) yang sensitif terhadap SARA dapat membuat nalar masyarakat awam "terguncang". "Langit Makin Mendung" banjir kritik karena penggambaran Allah yang memiliki sifat-sifat humanistis.

PLOT
Alur ceritanya, dimulai dari alam ukhrawi, dimana Nabi Muhammad SAW sedang merasa bosan di "jannah" (surga) karena beliau (SAW) di surga kerjanya hanya memuji-muji Allah. Beliau meminta izin kepada Allah untuk kembali ke Bumi. Namun Allah menolaknya dan meminta beliau untuk menjelaskan alasan mengapa ia ingin kembali ke Bumi, padahal Allah sudah memberinya banyak kenikmatan yang tidak ada di Bumi.

Nabi Muhammad menjawab bahwa ia ingin mencari tahu sebab-sebab mengapa jumlah ummat Muslim yang masuk surga begitu sedikit. Setelah melepaskan kacamata-Nya, Allah menjawab bahwa ummat Muslim di suatu belahan Bumi yang bernama Indonesia telah diracuni oleh konsepsi Nasakom Soekarno. Dan akhirnya, Allah memberi izin kepada Nabi untuk kembali ke Bumi.

Sang Nabi SAW berangkat dari bandara "jannatunna'im" menggunakan buraq ditemani oleh ajudannya, Jibril. Di tengah jalan, mereka menemukan sebuah wahana antariksa Uni Soviet. Karena Nabi pernah mendengar di surga kalau Uni Soviet adalah orang-orang kafir, beliau pun berusaha menyelidikinya. Sayangnya, ia menabrak wahana tersebut, menghancurkan wahana dan buraqnya, serta menewaskan tiga kosmonot Russia komunis.

Muhammad dan Jibril berhasil mendarat di awan. Mereka kemudian melewati Jakarta. Jibril menyebut Jakarta sebagai tempat paling berdosa di muka Bumi. Jibril menyatakan bahwa dari 90 juta ummat Muslim Indonesia, tidak sampai satu juta orang yang tergolong Muslimin kaffah (penganut Islam yang sejati). Muhammad marah karena ternyata da'wah-nya selama 14 abad diselewengkan. Namun Jibril menegaskan, "inilah belahan Bumi dimana Nasakom lahir!" Mendengar hal itu, Nabi bersikukuh bahwa Islam tidak akan pernah mati dan beliau bersama Jibril pun mengamati dari awan.

Di saat itu, penduduk di Jakarta sedang terjangkit wabah flu. Mulai dari pedagang lemang sampai pejabat sipil. Bahkan, salah satu penderita penyakit ini adalah Presiden Soekarno. Soekarno menyurati Sekjen Partai Komunis Tiongkok, Mao Zedong, agar mengirimkan dokter yang paling ahli ke Indonesia. Mao mengirim dokter yang kemudian meracuni Soekarno untuk melumpuhkannya dan membantu Gerakan 30 September untuk menggulingkan Pemerintahan Orde Lama. Racun yang diberikan adalah dosis tinggi, tapi lambat reaksi, sehingga membuat Soekarno pingsan setelah ia dan menteri-menterinya berpesta pora secara haram, mengonsumsi daging babi dan kodok, serta melakukan zina.

Nabi Muhammad dan Jibril berubah menjadi elang supaya bisa melihat Jakarta keseluruhan dari langit. Mereka melihat maraknya prostitusi, perselingkuhan, pencurian, dan minum-minum di Jakarta. Beliau terkejut melihat zina dan pencurian tidak dihentikan. Ia meminta Jibril untuk membantu merajam para pelaku perselingkuhan dan memotong tangan para pencuri. Jibril mengatakan bahwa batunya tidak cukup untuk merajam semua orang yang selingkuh dan pedang-pedangnya sudah diganti dengan senjata yang dibeli oleh para "kafir" Uni Soviet dan Amerika Serikat yang "memuja-muja dolar". Mereka melihat seorang menteri bernama Togog yang berupaya memanfaatkan Dokumen Gilchrist untuk menjatuhkan Soekarno. Nabi Muhammad pun menyerah menghadapi Indonesia dan berencana memasang televisi saja di "jannah" untuk mengamati Jakarta dari sana.

Akhir cerita, Soekarno akhirnya sembuh dari racun tsb dan Sang "Paduka Jang Mulia" itu diberitahu soal Dokumen Gilchrist oleh Menlu Soebandrio. Ia juga diberitahu bahwa Tiongkok hendak menegosiasikan ulang perjanjian mereka untuk menyuplai senjata militer demi membantu konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Soekarno memakai Dokumen Gilchrist untuk menyebarkan rumor dan menumbuhkan rasa tidak percaya di kalangan penduduk, memecat komandan militernya, dan memulangkan Dubes RI Tiongkok. Jadi, masih dalam cerpen tsb, biang keladi Gerakan 30 September adalah Soekarno sendiri.

AFTERMATH

Cerpen ini akhirnya mengundang reaksi sejumlah ummat Muslim Indonesia yang menganggapnya sebagai tindakan penistaan dan pelecehan terhadap Islam. Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah personifikasi Allah secara antropomorfik, serta penggambaran Muhammad dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang secara satirik dirasa "kurang dihormati". Selain itu, pihak redaksi Majalah Sastra enggan membuka identitas nama pena "Ki Pandji Kusmin". H.B. Jassin yang menjabat sebagai Pimred Majalah Sastra menerangkan bahwa "Ki Pandji Kusmin" lahir dari keluarga Muslim namun mengenyam pendidikan di sekolah junior Katholik sebelum masuk akademi kelautan. Segera publik menyarangkan kekesalannya kepada H.B. Jassin yang enggan membuka identitas "Ki Pandji Kusmin" (dimana sebenarnya Ki Pandji Kusmin adalah nama pena yang digunakan beliau sendiri).

Cerita ini dilarang terbit di Sumatera Utara pada 12 Oktober 1968 dan beberapa kelompak Remaja Islam dari berbagai masjid menyerang kantor Sastra di Jakarta. Setelah berkali-kali diancam, sekaligus pembredelan oleh Pemerintah, H.B. Jassin dan Rachman (editor pendamping beliau) mengeluarkan pernyataan maaf ke publik lewat Majalah Ekspres. Meskipun begitu, majalah ini tetap dilarang terbit. Tanggal 22 atau 25 Oktober 1968, "Ki Pandji Kusmin" ikut meminta maaf lewat surat kabar Kami. Namun, kata maaf tidak menghentikan proses hukum. Pada bulan April 1969 atau Februari 1970, kantor Jaksa Agung di Medan menuntut Jassin dengan pasal penistaan agama karena menolak mengungkapkan nama asli Ki Pandji Kusmin.

Di pengadilan, Jassin berpendapat bahwa cerita ini adalah hasil imajinasi penulis dan tidak bisa dianggap melecehkan Islam. Beliau juga mengutip beberapa personifikasi Allah secara fisik juga terdapat di dalam Al-Qur'an dan literatur Sufisme, ditambah pengaruh Kristen dari "Ki Pandji Kusmin". Seorang saksi dalam sidang ini, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), mengatakan bahwa penggambaran Allah yang memakai kacamata menandakan Allah tidak sempurna. Beliau (Hamka) menjelaskan bahwa personifikasi Allah versi Al-Qur'an bertentangan dengan personifikasi Allah versi Jassin. Buya Hamka juga menyatakan bahwa tak ada satupun orang yang mampu memunculkan rasa kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW selain "Ki Pandji Kusmin" sejak era Perang Salib.

Segera sanggahan kepada Buya Hamka dikeluarkan H.B. Jassin bahwa personifikasi yang dilakukan beliau dalam cerpen tsb memang sengaja bertentangan, karena cerpen itu memang satir yang bernuansa sarkastik. Beliau mengambil contoh filsuf Eksistensialisme asal Pakistan yang juga dikenal sebagai pemikir filsafat Islam kontemporer, Allama Muhammad Iqbal, yang membuat novel "Jawa-eid Namaa" (Javid Nama, kitab keabadian). Muhammad Iqbal membuat novel itu tidak lama setelah menerbitkan magnum opus-nya, "Reconstruction of Islamic Thought".

Walau polemik antara beliau dengan Buya Hamka berlangsung agak panas, H.B. Jassin tetap divonis hukuman percobaan selama satu tahun.

H.B. Jassin bukan sekali ini saja menelurkan karya kontroversial. Sastrawan lulusan Universitas Indonesia dan Yale University (AS) ini memang sastrawan yang terkenal menelurkan berbagai karya kontroversial. Yang paling fenomenal adalah "Bacaan yang Mulia". Bacaan yang Mulia adalah terjemahan Al-Qur'an secara harfiah (letterlijk) menurut frasa bahasa Indonesia. Kalimat "bacaan yang mulia" juga merupakan arti harfiah dari "al-qur'anul karim" dan merupakan frasa yang tepat untuk menggambarkan kitab suci ummat Muslim ini. Pada terjemahan itu, beliau mengganti berbagai istilah-istilah Islami dalam bahasa Arab ke bahasa Indonesia, contoh "nabi/anbiya" diganti pengabar, malaikat diganti "punggawa/pembantu". Pengecualian untuk frasa, beliau tidak menerjemahkan frasa bahasa Arab secara harfiah, melainkan mengganti dengan frasa yang lebih cocok dengan bahasa Indonesia, semisal kalimat "baynana wa baynakum" (harfiah: di antara kami dan di antaramu" diganti "di antara kita". Menurut beliau, Al-Qur'an memiliki kekuatan alegoris yang senantiasa bersesuaian dengan pengertian setiap bahasa manusia, termasuk bahasa Indonesia.


Sumber: Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka.

Yang mau baca cerpennya, silahkan di klik link dari agan IRL di bawah ini:
Quote:
Diubah oleh mixolydianum 12-04-2014 23:26
nona212
nona212 memberi reputasi
1
7.6K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.